Buruh Bukan Barang, Ia Adalah Imago Dei
Penghormatan martabat kaum buruh dalam terang ajaran iman Katolik.

0 24
Fransiskus Momang

Oleh Fransiskus Momang

Katolikana.com—Di tengah riuhnya demonstrasi massa menolak sikap arogan DPR, ada persoalan kemanusiaan yang kerap luput dari sorotan publik, khususnya di tanah Kalimantan: nasib para buruh.

Kaum buruh masih sering diperlakukan tidak manusiawi oleh sebagian perusahaan. Kita harus jujur mengakui, perusahaan pada dasarnya memiliki tujuan baik: membangun stabilitas ekonomi bangsa, menekan angka pengangguran, dan memberdayakan sumber daya manusia. Namun, yang patut dikritisi adalah manajemen yang keliru dan oknum yang bersikap tidak adil terhadap buruh.

Buruh adalah Pribadi Bermartabat

Kaum buruh bukanlah barang atau komoditas yang bisa diperjualbelikan demi keuntungan. Mereka adalah pribadi yang memiliki martabat manusiawi.

Menurut The Grolier International Dictionary, “martabat” (dignity) berasal dari bahasa Latin dignus, yang berarti pantas, layak, mulia. Dalam ajaran moral Katolik, martabat manusia adalah nilai luhur yang melekat karena anugerah Allah. Gereja percaya manusia ditempatkan Allah di atas ciptaan lain dan diberi kehormatan sebagai gambar dan rupa-Nya (bdk. Kej 1:26-27; Mzm 8:5-6).

Sayangnya, paradigma kapitalisme sering mereduksi manusia menjadi objek produksi. Karl Marx sudah mengkritik pandangan ini. Begitu pula Immanuel Kant yang menekankan bahwa manusia adalah tujuan, bukan alat, dan Søren Kierkegaard yang menggarisbawahi pentingnya eksistensi individu. Semua mengingatkan kita bahwa manusia tidak boleh diperlakukan hanya sebagai sarana ekonomi.

Relasi Kuasa dan Profesionalisme

Relasi kuasa antara atasan dan bawahan dalam dunia kerja memang tidak terhindarkan. Namun, relasi ini harus dikelola secara sehat: bukan dominasi, melainkan struktur profesional yang adil. Tujuannya agar tercipta hubungan saling menguntungkan—bukan hanya secara ekonomis, tetapi juga secara emosional dan spiritual.

UUD 1945 pasal 28D dengan jelas menegaskan: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Artinya, konstitusi negara pun menuntut penghormatan terhadap martabat buruh.

Filsuf Jerman, Hegel, melihat pekerjaan sebagai sarana manusia menemukan dirinya. Frans Magnis-Suseno merumuskan tiga fungsi kerja: reproduksi material, integrasi sosial, dan pengembangan diri. Dengan bekerja, manusia memenuhi kebutuhan, memperoleh status sosial, dan mengembangkan kreativitasnya (Reza A.A. Wattimena, 2011).

Buruh Adalah Imago Dei

Setiap buruh adalah imago Dei—gambar Allah. Karena itu, mereka pantas dihormati kapan dan di mana pun mereka bekerja. Martabat ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar (conditio sine qua non).

Kitab Suci menegaskan bahwa meski manusia kecil, Allah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat (Mzm 8:5-6). Ajaran Sosial Gereja dalam Gaudium et Spes pun mengingatkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah, sehingga memiliki kualitas kodrati yang luhur.

Menghargai buruh berarti menghormati Allah sendiri yang menciptakan mereka. Diskriminasi, pelecehan, atau eksploitasi demi keuntungan ekonomi bertentangan dengan kehendak Allah.

Sikap Gereja Katolik

Menghadapi persoalan kemanusiaan ini, Gereja tidak boleh netral atau bungkam. Gereja dipanggil mengambil sikap tegas: option for the poor, keberpihakan pada kaum kecil dan tertindas, termasuk para buruh.

Konstitusi Gaudium et Spes (Art. 1) menegaskan: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.”

Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (No. 49) bahkan berkata: “Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar ke jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena menutup diri.” Gereja, dengan demikian, mesti berpihak kepada buruh sebagai bagian dari kaum miskin yang menderita ketidakadilan.

Soal Iman

Buruh bukanlah alat produksi atau komoditas. Mereka adalah pribadi dengan martabat luhur, ciptaan Allah yang diciptakan segambar dengan-Nya. Menempatkan buruh sebagai imago Dei berarti memperjuangkan hak-hak mereka, menciptakan relasi kerja yang adil, dan menolak perlakuan yang merendahkan.

Gereja, negara, dan masyarakat mesti bergandengan tangan memastikan buruh dihormati sebagai manusia seutuhnya. Sebab memperjuangkan buruh bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga soal iman—sebuah pengakuan bahwa mereka adalah gambar Allah yang hidup di tengah dunia. (*)

Penulis: Fransiskus Momang, Alumnus IFTK Ledalero, Tinggal di Kaltim

Leave A Reply

Your email address will not be published.