Fatherless Nation? Saat Anak Kehilangan Figur Ayah
Indonesia Darurat Peran Ayah dan Pentingnya Perempuan Berdaya

0 7

Oleh Caecilia Stella

Katolikana.com—Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah menyentil kenyataan getir yang jarang mau kita akui: Indonesia tengah menghadapi darurat peran ayah. Banyak laki-laki yang secara biologis hadir sebagai ayah, tetapi secara emosional absen. Mereka ada secara fisik, namun tidak benar-benar hadir bagi anak-anaknya.

Fenomena ini populer disebut fatherless. Data dari World Bank dan berbagai lembaga psikologi keluarga menunjukkan, fatherless bukan hanya soal ketidakhadiran ayah karena perceraian atau kematian, melainkan juga hadirnya ayah yang tidak menjalankan fungsinya. Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa figur maskulinitas yang sehat, tanpa kehangatan, teladan, maupun dukungan emosional.

Film tersebut menampilkan adegan sederhana namun kuat: anak-anak di rumah acuh terhadap ayahnya yang hanya merokok dan tidur. Gambaran yang mungkin terlalu nyata bagi sebagian keluarga di negeri ini.

Alkitab Menyentil Para Ayah

Kitab Kolose 3:21 mengingatkan, “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” Sayangnya, banyak ayah yang justru mengabaikan pesan ini. Anak-anak tumbuh dengan hati yang pahit, karena sosok yang seharusnya melindungi dan menuntun, justru gagal menjalankan perannya.

Seorang ayah tidak hanya diminta bekerja mencari nafkah, melainkan juga membangun relasi emosional, memberi teladan, serta mendampingi anak dalam pertumbuhan iman dan karakter. Tanpa itu, anak-anak kehilangan akar, merasa tidak dihargai, dan mencari figur pengganti di luar rumah—yang kadang menjerumuskan.

Perempuan: Jangan Korbankan Diri

Pesan kuat lain dari film ini adalah bagi kaum perempuan. Tidak salah jika perempuan ingin memiliki pendidikan tinggi atau berkarier. Justru dari rahim perempuan cerdas, akan lahir generasi cerdas. Pernikahan bukan solusi instan dari semua persoalan hidup.

Kita perlu mengubah cara pandang bahwa perempuan hanya “lengkap” bila menikah. Perempuan harus berdaya, punya pijakan finansial sendiri, dan berani mengejar versi terbaik dirinya. Seorang istri dan ibu yang mandiri secara mental maupun ekonomi tidak hanya melindungi dirinya, tetapi juga memberi teladan bagi anak-anak.

Kisah ibu dalam film yang tetap berjuang meski sakit kanker, yang rela memberi sandalnya untuk anak, yang bekerja apa saja demi nafkah keluarga—menjadi potret kasih yang heroik. Cinta seorang ibu memang buta, tetapi justru karena cinta itulah keluarga tetap bertahan di tengah keterpurukan.

Lelaki, Berhentilah Lari dari Tanggung Jawab

Pesan penting lainnya ditujukan bagi kaum pria. Menjadi laki-laki sejati bukan sekadar soal gengsi atau kuasa, tetapi keberanian memikul tanggung jawab. Jangan mudah mengumbar janji, lalu mengkhianatinya. Jangan biarkan pasangan hidup dalam penderitaan fisik, mental, maupun finansial.

Film ini bahkan menampilkan kalimat menohok: “Ayah kamu bukan orang jahat, dia hanya orang yang kalah.” Kalimat ini menggugah: banyak pria yang kalah oleh keadaan, menyerah pada keterpurukan, dan enggan bangkit. Padahal, menjadi suami dan ayah adalah panggilan untuk berdiri teguh, bukan bersembunyi di balik kelemahan.

Membaca Tanda Zaman

Fenomena fatherless adalah tanda zaman yang serius. Ia menyumbang pada berbagai persoalan sosial: kenakalan remaja, kekerasan, pernikahan usia dini, hingga rendahnya kualitas generasi muda. Gereja dan masyarakat tidak boleh menutup mata.

Kita perlu menumbuhkan kesadaran baru: ayah harus terlibat penuh dalam pengasuhan; perempuan harus berdaya dan tidak kehilangan identitasnya; anak-anak harus dikelilingi kasih dari kedua orang tuanya.

Kasih yang Membebaskan

Pada akhirnya, baik pria maupun wanita dipanggil untuk saling menghargai. Lelaki yang takut akan Tuhan tidak akan pernah terlintas menyakiti perempuan. Perempuan yang menyadari dirinya dikasihi Tuhan tidak akan merendahkan martabatnya demi sekadar status sosial.

Kita semua—ayah, ibu, anak, laki-laki, perempuan—berhak dihormati. Sebab sebelum kita lahir, Allah sudah lebih dahulu mengasihi kita. Dari kesadaran inilah kita bisa membangun keluarga yang sehat, Gereja yang kuat, dan bangsa yang bermartabat. (*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.