Oleh T.H. Hari Sucahyo
Katolikana.com—Ketika Tuhan terasa jauh, yang sering kita rasakan adalah kekosongan yang sunyi dan tak terjelaskan. Doa-doa seakan memantul di dinding ruang kosong; tak ada gema, tak ada jawaban. Kita menatap langit, tetapi langit diam.
Di tengah keheningan itu, muncul keraguan, bukan hanya tentang keberadaan Tuhan, tetapi juga tentang makna dari semua yang sedang kita jalani.
Mengapa Tuhan yang dulu terasa begitu dekat kini tampak menghilang? Mengapa iman yang dulu hangat kini terasa seperti beban yang dingin dan berat?
Mungkin, keterjauhan itu bukan sekadar tanda bahwa Tuhan pergi, tetapi undangan halus agar kita memikirkan kembali apa artinya percaya, apa artinya bebas, dan apa maknanya ketika Tuhan memilih untuk bersembunyi.
Ketersembunyian Tuhan bukanlah hal baru dalam sejarah iman manusia. Para nabi, mistikus, dan orang-orang yang mencari kebenaran telah lama berbicara tentang saat-saat ketika Tuhan tampak diam.
Dalam Kitab Mazmur, Daud berteriak, “Ya Tuhan, mengapa Engkau bersembunyi di waktu kesesakan?” Dalam penderitaan Ayub, Tuhan tampak absen.
Bahkan Yesus di salib pun berseru, “Eloi, Eloi, lama sabaktani?”—seruan manusia yang merindukan kehadiran yang tak kunjung datang.
Keheningan ini bukan tanda ketiadaan, melainkan bagian dari misteri hubungan antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya. Ada momen ketika Tuhan tidak menampakkan diri justru agar manusia belajar mengenal cinta tanpa bergantung pada rasa nyaman, belajar percaya tanpa perlu selalu melihat bukti.
Ketika Tuhan terasa jauh, kita cenderung memeriksa kembali hidup kita. Kita bertanya-tanya: apakah kita telah berdosa, apakah kita telah lalai berdoa, atau apakah kita sedang diuji? Tapi mungkin jarak itu tidak selalu tentang kesalahan, melainkan tentang pertumbuhan.
Seperti seorang anak yang harus berjalan tanpa digandeng lagi agar bisa belajar berdiri sendiri, demikian pula Tuhan kadang menarik diri sedikit agar kita belajar melangkah dengan iman, bukan dengan penglihatan.
Dalam keheningan itu, manusia diberi ruang untuk memilih, apakah ia akan tetap mencari, atau menyerah pada kegelapan yang menyesakkan.
Kebebasan dan Risiko Kasih
Kebebasan adalah bagian penting dari kisah ini. Tuhan yang menciptakan manusia dengan kehendak bebas sebenarnya sedang mengambil risiko besar. Dengan kebebasan, manusia bisa memilih untuk mencintai Tuhan, tetapi juga bisa memilih untuk berpaling.
Jika Tuhan selalu hadir dengan keajaiban yang nyata dan bukti yang tak terbantahkan, maka iman tak lagi menjadi pilihan bebas; ia akan berubah menjadi paksaan logis.
Semua orang akan percaya bukan karena cinta, tetapi karena tak ada alasan untuk tidak percaya. Justru dalam ketiadaan bukti itulah iman memperoleh maknanya. Tuhan bersembunyi agar manusia dapat sungguh-sungguh memilih untuk mencari-Nya dengan hati yang bebas.
Namun, kebebasan itu juga menakutkan. Kita hidup di dunia yang penuh dengan kebisingan, kesibukan, dan distraksi. Dalam hiruk-pikuk modernitas, kita begitu sibuk berusaha menjadi sesuatu yang berhasil, diakui, dicintai, hingga tak sempat hening dan menyadari bahwa mungkin Tuhan sedang berbicara dalam diam.
Kita mencari Tuhan di luar sana: di tempat ibadah, dalam ritual, dalam nasihat rohani, padahal sering kali Ia menunggu di ruang terdalam hati, di tempat yang paling sunyi dan paling jujur. Ketika hati kita penuh dengan kebisingan dunia, kehadiran Tuhan memang tampak jauh. Bukan karena Ia pergi, melainkan karena kita sendiri tidak lagi diam untuk mendengarkan.
Ketersembunyian Tuhan juga bisa menjadi cermin yang memantulkan diri kita apa adanya. Saat Tuhan terasa jauh, semua topeng keagamaan dan kepastian intelektual runtuh.
Kita tidak lagi bisa bersandar pada rutinitas doa yang otomatis atau pada argumen teologis yang kaku. Yang tersisa hanyalah diri yang rapuh, terbuka, dan penuh tanya.
Di titik itu, iman menjadi sesuatu yang sangat manusiawi; bukan sekadar sistem kepercayaan, melainkan jeritan hati yang rindu dipeluk oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Mungkin di sinilah letak makna terdalam dari ketersembunyian Tuhan: Ia membiarkan kita kehilangan segala hal yang palsu agar kita menemukan yang sejati.
Lompatan Iman
Dalam filsafat eksistensial, terutama pada pemikiran Kierkegaard, ketersembunyian Tuhan dilihat sebagai ujian keaslian iman. Iman sejati tidak lahir dari kepastian, melainkan dari lompatan ke dalam ketidakpastian.
Ketika Abraham diperintahkan untuk mengorbankan Ishak, tidak ada penjelasan, tidak ada alasan logis yang bisa memuaskan akal sehat. Tuhan diam. Namun justru dalam diam itulah iman Abraham diuji dan dimurnikan.
Iman bukan sekadar pengetahuan tentang Tuhan, melainkan keberanian untuk percaya bahkan ketika segala tanda menunjuk pada ketiadaan.
Dalam konteks ini, ketika Tuhan terasa jauh, mungkin Ia sedang mengundang kita untuk melompat—melompat dengan percaya, bukan karena kita tahu hasilnya, tapi karena kita percaya kepada Dia yang tak kelihatan.
Ada juga sisi emosional yang tak bisa diabaikan. Rasa jauh dari Tuhan kadang datang bersamaan dengan kehilangan, kesedihan, atau trauma.
Dalam situasi seperti itu, kata-kata teologis sering kali tak membantu. Namun justru dalam kesunyian penderitaan itulah kita perlahan belajar bahwa Tuhan tak selalu hadir untuk menjawab, tetapi untuk menyertai.
Ia mungkin tak menyingkirkan penderitaan kita, tapi Ia tetap ada di tengah-tengahnya; tidak selalu terlihat, namun nyata bagi hati yang mau bertahan dalam kepercayaan. Terkadang, kasih sejati tidak berbentuk tangan yang menolong, melainkan kehadiran yang diam namun setia.
Mungkin, rasa jauh itu juga menguji pemahaman kita tentang siapa Tuhan sebenarnya. Banyak orang mengenal Tuhan sebagai sosok yang selalu memberi jawaban, memenuhi kebutuhan, dan melindungi dari bahaya.
Tapi bagaimana jika Tuhan tidak sesuai dengan ekspektasi itu? Apakah kita masih mau percaya ketika doa tak terkabul, ketika hidup tak adil, ketika kejahatan tampak menang?
Di sinilah iman diuji; bukan dalam kemakmuran, melainkan dalam ketidakpastian. Tuhan yang tersembunyi memaksa kita untuk mengakui keterbatasan kita sendiri: bahwa kita tidak tahu segalanya, bahwa kita tidak bisa mengendalikan segalanya, bahwa kita butuh sesuatu yang lebih besar daripada diri kita.
Dalam kebisuan Tuhan, manusia sering kali justru menemukan kedalaman yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Ia belajar untuk mendengarkan bukan dengan telinga, tapi dengan hati. Ia belajar bahwa doa bukan sekadar permintaan, melainkan kehadiran.
Ia belajar bahwa cinta kepada Tuhan bukan hanya tentang rasa bahagia ketika segalanya baik-baik saja, tetapi juga kesetiaan di tengah kegelapan.
Dalam diam, Tuhan mengajar dengan cara yang tak terucap. Ia membentuk jiwa dalam keheningan, seperti benih yang tumbuh dalam gelapnya tanah sebelum akhirnya menembus terang.
Berjalan dalam Misteri
Ketika kita berani menerima bahwa Tuhan bisa tampak jauh, kita juga belajar bahwa iman bukan tentang kepastian, melainkan tentang kepercayaan yang teguh di tengah misteri. Kita mulai memahami bahwa Tuhan tidak selalu harus hadir dalam bentuk yang kita inginkan.
Kadang Ia hadir dalam kesabaran yang tumbuh tanpa kita sadari, dalam kekuatan yang muncul di saat kita hampir menyerah, dalam belas kasih yang datang melalui orang lain.
Jarak itu, yang tadinya terasa menyakitkan, perlahan menjadi ruang di mana kita belajar mengenal cinta yang lebih murni; cinta yang tidak menuntut balasan, cinta yang tetap percaya meski tak melihat.
Mungkin, ketersembunyian Tuhan bukanlah tanda bahwa Ia pergi, melainkan cara-Nya untuk mengajar kita menjadi lebih manusiawi. Ia tahu bahwa iman yang matang tidak lahir dari kemanjaan spiritual, melainkan dari keheningan dan ketidakpastian.
Ia tahu bahwa kebebasan sejati hanya bisa tumbuh ketika kita berani mencari dengan jujur, tanpa paksaan dan tanpa jaminan. Ia tahu bahwa cinta sejati hanya dapat teruji ketika kita mau tetap percaya bahkan ketika segalanya terasa hampa.
Jadi, ketika Tuhan terasa jauh, mungkin bukan karena Ia meninggalkan kita, melainkan karena Ia sedang mengundang kita untuk berjalan lebih dalam. Mungkin Ia sedang menunggu kita berhenti berteriak dan mulai mendengarkan.
Mungkin Ia ingin kita berhenti mencari tanda dan mulai mencari makna. Dan mungkin, di tengah keheningan itu, di saat kita merasa paling sendiri, justru di sanalah Ia sedang paling dekat—bukan dalam bentuk yang bisa kita lihat, tetapi dalam kedalaman yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang tetap percaya.
Rasa jauh itu, bukan akhir dari iman, tetapi awal dari pengenalan yang lebih sejati. Sebab iman yang dewasa bukanlah iman yang selalu merasa, melainkan iman yang tetap berjalan bahkan ketika tak merasakan apa-apa.
Tuhan memang tersembunyi, tetapi ketersembunyian itu adalah ruang suci di mana cinta diuji, kebebasan dipraktikkan. Manusia diajak untuk menjadi lebih dari sekadar makhluk pencari bukti, menjadi makhluk pencinta yang berani percaya pada yang tak kelihatan.
Dan mungkin, di titik itulah, kita akhirnya menyadari bahwa Tuhan tidak pernah benar-benar jauh. Ia hanya menunggu kita menyadari bahwa Ia telah ada di sini sejak awal; diam, setia, dan penuh kasih. (*)
Penulis: T.H. Hari Sucahyo, Umat Gereja Santo Athanasius Agung, Paroki Karangpanas Semarang
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.