Henri Nouwen dan Pengkhotbah yang Membebaskan

Pengkhotbah yang membebaskan: pengkhotbah yang mendialogkan sikap hidupnya secara terbuka

0 694

Katolikana.com – Khotbah, bagi umat Kristiani sebagai medium bagi pewartaan kabar baik dalam pesan-pesan Injil. Agar isi khotbah punya makna mendalam, penting memperhatikan sisi spiritualitas dari pengkhotbah.

Satu aspek penting yang diperhatikan oleh pengkotbah adalah persiapan hati, jiwa, dan roh. Ketiganya menentukan kualitas khotbah yang mampu menyentuh hari umat. Salah satu persiapan yang tak boleh diabaikan adalah doa.

Henri Nouwen punya pandangan menarik tentang doa, yaitu sebagai jembatan dua sisi kehidupan atau penghubung antara dunia dan Allah. Bagi Nouwen, doa itu suaru perjalanan ‘pekerjaan jiwa’, karena jiwa kita adalah pusat sakral di mana semua menyatu, Allah dengan kita dalam hubungan yang sangat intim.

Bagaimana menyelami sisi spiritualitas peng-kothbah? Perspektif Henri Nouwen ini menarik untuk didalami.

Henri Nouwen

Henri Jozef Michel Nouwen, seorang Pastor Diosesan Belanda, kelahiran Nijkerk, Belanda pada 24 Januari 1932. Nouwen telah menulis lebih dari 30 buku rohani yang digemari oleh umat Kristiani. Ia mengajar di banyak universitas kelas dunia salah satunya Universitas Harvard. Namun, setelah dua puluh tahun mengajar, ia mengabdikan hidupnya kepada orang-orang cacat di Toronto.

Nouwen banyak melakukan karya pelayanan pada orang-orang miskin Amerika Latin. Sifatnya yang rendah hati dan terbuka telah menginspirasi banyak orang dan menjadi katalisator bagi orang lain.

 

Henri Nouwen saat di ruang kerjanya di apartemen New Haven pada 1981/Foto: Jim Forest

 

Satu hal yang menarik dalam dirinya adalah ia mempercayai bahwa spiritualitas akan bertumbuh seiring dengan perjalanan hidupnya. Baginya, hidup merupakan sumber pembelajaran yang tak pernah habis untuk dipelajari.

Nouwen yang meninggal di Hilversum, Belanda pada 21 September 1996 ketika umurnya 64 tahun, memandang bahwa berkhotbah merupakan satu sumber pembelajaran yang baik bagi setiap orang.

Ada beberapa hal yang ditegaskan oleh Henri Nouwen untuk seorang pengkhotbah.

Berkhotbah Sebagai Sebuah Dialog

Sederhananya, berkhotbah merupakan usaha untuk menyampaikan tafsiran konsep pada orang lain. Pada Kristiani, seorang penginjil mempunyai tugas mengkomunikasikan lebih jelas pada jemaatnya. Sebelum berkhotbah ia harus memahami makna terhadap teks yang akan disampaikan. Nouwen menyebut keadaan ini sebagai pra-khotbah.

Tugas pengkhotbah itu hanya menyampaikan teks yang telah dipahami. Namun, agar tidak terlihat membosankan dan monoton saat berkhotbah, proses modifikasi boleh dilakukan tetapi tidaklah berlebihan. Jika berlebihan akan mengarah pada keinginan subjektif pengkhotbah saja, padahal tujuannya agar pesan yang sesungguhnya dapat tersampaikan.

Maka, dapat dikatakan bahwa dialog bukan sebuah teknik melainkan suatu sikap seorang pengkhotbah yang mampu menyatukan korelasi antar umat dan membawa efek yang baik. Dialog yang tersampaikan dengan baik akan membuat umat masuk dan merasa terlibat langsung dalam penyelesaian pergumulan hidup secara umum dan ikut dirasakan semua umat.

Nouwen menegaskan dialog pengkhotbah itu bukanlah dialog pada umumnya tetapi sebuah “sikap hidup”. Saat berdialog, pengkhotbah harus bersikap lebih terbuka pada jemaatnya, inilah inti spiritualitas pengkhotbah bagi Nouwen.

Spiritualitas yang Membebaskan

Konsep spiritulitas yang membebaskan ini oleh Nouwen dapat dimaksudkan bahwa seorang pengkhotbah harus sudah merasa terbebas dari adanya rasa takut, khawatir akan kehidupannya, sehingga mampu untuk membawa umat lainnya untuk bebas juga dari problematika dirinya.

Bagi Nouwen, konsep khotbah bukan lagi sebagai pembahasan ulang mengenai teks yang telah dipahami namun lebih mengarah kepada kebebasan untuk berdialog antara pengkhotbah dan umat Allah.

Bagaimana cara agar pengkhotbah dapat memiliki spiritualitas yang membebaskan? Menurut Nouwen, pengkhotbah yang membebaskan memiliki sifat sangat terbuka. Keterbukaan itu dapat membuat pemahaman yang lebih luas dan terbuka.

Dialog tidak dapat berjalan jika keadaan diri pengkhotbah tertutup. Sikap pengkhotbah yang tertutup itu akan memperlihatkan kegelapan, dan bisa fatal karena dapat menyesatkan umat.

Pengkhotbah harus mampu berjumpa dengan realitas diri dalam keterbukaan sehingga ia mampu melihat kuasa Allah dalam hidupnya untuk kemudian disaksikan pada orang lain.

Pengkhotbah yang telah menghayati kehidupannya dengan penuh rasa syukur dan baik pasti mampu untuk menyentuh hati umatnya yang sangat beragam. (Bas)

(Fransisca Stella, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Airlangga)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.