
Katolikana.com—Sore itu cuaca sangat terik. Keadaan lapangan sepakbola Seminari berkerikil dengan rumput yang tidak penuh sehingga lumayan berdebu. Namun, kami paling bersemangat jika bermain sepak bola. Apalagi sore itu Romo Rektor juga ikut bermain bola.
Dia memakai kacamata. Tinggi perawakannya. Kalau bermain senang jadi penyerang. Bersemangat sekali, meski sering kehabisan nafas.
Baca juga: Ketawa Ala Seminari (1) ‘Bellboy’ Favorit di Seminari Biasanya ‘Mr. Sleep’
Kenapa saya senang bermain dengan Romo Rektor?
Karena tadi malam kelas kami baru dimarahi lumayan Romo Rektor. Sebenarnya wajar kami dimarahi. Kelas kami memang sangat gaduh dan ribut.
Saat dimarahi, tentu kami diam saja, tidak bisa melawan apalagi membalas. Saat main sepak bola, jadi semacam kesempatan untuk bisa sedikit ‘membalas’ Romo Rektor.

Kelas kami ada empat orang yang bermain sore itu. Selebihnya, pemain dari kelas yang lain.
Empat orang teman sekelas kami bagi dua. Dua orang masuk timnya Romo Rektor, dua orang lagi masuk tim lawan.
Saya dan teman saya, sebut saja Togek, mendampingi Romo Rektor. Sedang dua lagi sengaja memilih menjadi pemain belakang tim lawan karena badannya lumayan besar dan sporty.
Togek paling jago men-dribble bola. Jika menggiring bola, si bola seperti lengket di kakinya.
Jika saya mendapat bola, meski posisi Romo Rektor bagus, tentu dia tidak mendapat operan bola.
Saya mengoper bola ke Togek. Reaksinya marah-marah atau teriak-teriak. Saya dan Togek saling melihat dan senyum-senyum.
Demikian juga terjadi saat teman-teman yang jadi pemain belakang. Mereka sangat senang menjaga Romo Rektor.
Jika punya kesempatan yang bagus pasti ditekelnya. Kalau Romo Rektor jatuh, dia juga pura-pura jatuh dan merasa sakit.
Setelah lari beberapa jauh, kami saling pandang dan senyum senyum.
Sore itu Bruder Odulphus van Gisbergen SCJ menjadi wasit. Meski usianya sepuh (65 tahunan), mantan pemain Ajax tetap semangat memimpin pertandingan.
Jika ada seminaris yang menggiring bola terlalu lama tanpa dioper ke tim dia akan berteriak: “Ojo dhewe-dhewe!” dengan logat Belandanya.
Dia bersemangat menjadi wasit kami. Meski sering salah dalam melihat kesalahan, kami bersenang-senang dan berolah raga bersama.
“Priiiiiiiit”, suara peluit yang besar dari Bruder berbunyi. Terjadi pelanggaran. Kali ini Romo Rektor jatuh ditekel oleh temanku di area penalti.
Dua duanya jatuh merasa kesakitan. Yang satu benar-benar sakit. Yang lain pura-pura sakit.
Setelah bangun, Romo Rektor mau mengambil tendangan penalti ke titik sebelas meter dari gawang.
“Tidak, tidak di situ, tapi di sini,” kata Bruder Odolphus dengan logat Belandanya.
Ia menunjuk titik pinalti dengan jarak satu meter di depan gawang. Teman-teman dari tim yang berlawanan protes. Bruder tetap pada pendiriannya.
Romo Rektor juga protes, menendangnya kok dekat sekali. Dengan kebijakannya, Bruder tetap pada pendiriannya, penalti satu meter berjalan terus.
Tim lawan protes dengan duduk di lapangan sembari melihat proses pinalti oleh Romo yang berhadapan dengan kiper lawan.
Golkah? Tentu saja gol. Romo Rektor tersenyum, karena akhirnya dia mencetak gol.
Kami pun tertawa. Kami tertawa lepas. Ya, misi kami sukses hari itu. Sore yang sempurna. **

Alumnus Seminari Santo Paulus Palembang angkatan 1989, guru di Lampung.