Katolikana.com—Seminaris identik dengan dunia olah raga, khususnya sepak bola. Di seminari dulu ada Tabloid Bola, koran olah raga yang bisa dibaca di perpustakaan.
Saya dan kebanyakan teman seminaris di Seminari Santo Paulus Palembang pun senang bermain bola dan juga menonton bola.
Bermain bola dijadwal seminggu sekali bila beruntung dapat dua kali. Kalau menonton bola, kami paling dapat melihat di berita saja.

Bagi seminaris tahun 1990-an, menonton televisi adalah mewah bagi kami. Kami menonton televisi ukuran sekitar 29 inci bersama sekitar 80 orang di aula.
Kami boleh menonton televisi pun setelah belajar malam. Kami hanya bisa menonton Dunia Dalam Berita pukul 21.00-21.30 WIB. Setelah itu doa malam dan tidak ada acara menonton lagi.
Tentu kasihan bagi mereka yang hobi menonton bola. Mereka tentu tidak bisa menonton permainan klub favoritnya.
Dari ngobrol-ngobrol akhirnya kami bersepakat ‘mencuri waktu’ menonton bola jam dua dini hari.
Jika ketahuan resikonya bukan main-main! Kami harus siap mendapat hukuman dari Romo Perfect Discipline. Bisa saja membersihkan WC, bersih kebun, atau bahkan dikeluarkan dari seminari.
Tapi kami sudah bersepakat. Nekat dan ngobrol hanya dengan teman teman yang bisa dipercaya dan punya hobi yang sama. Hobi nonton bola.
Kami saling membangunkan dan menuju ke aula sekitar enam orang. Pelan-pelan kita memasang kabel televisi. Sebelum dihidupkan tombol volume suara dipastikan posisi terkecil, tanpa suara.
Akhirnya televisi hidup, kami menonton. Suara aman. Jika gol pun kita tidak bisa bersuara, apalagi teriak. Tahu rasanya mononton bola sunyi senyap, kami sudah merasakannya.
Yang paling repot bukan suara televisi dan suara kami. Suara televisi dapat dinolkan. Suara kami dapat tidak berisik, walaupun tersiksa tidak dapat teriak ketika hampir gol atau ketika gol.
Kami menonton berenam membawa sarung untuk menutupi cahaya dari televisi yang paling merepotkan. Gimana caranya supaya cahaya televisi tidak terlihat keluar, agar tidak ketahuan Romo Prefect Discipline?
Kami mengitari dengan rapat untuk mengurung televisi sembari menonton dengan jarak yang amat dekat dengan televisi. Harapannya, dengan menutup membuat pagar sarung agar cahaya tidak berpendar.
Begitulah asyiknya menonton bola di seminari. Sembunyi-sembunyi tanpa suara dan mengurung cahaya televisi untuk menghindari hukuman jika kami ketahuan. Asyik, kan!**

Alumnus Seminari Santo Paulus Palembang angkatan 1989, guru di Lampung.