Dwiyani Fitranti: Saat Menari Jawa Harus Perhatikan Wiraga, Wirama, dan Wirasa

Selama Pandemi, Peminat Tari di Sanggar Budaya Ambarrukmo Justru Meningkat

0 429

Katolikana.comTari tradisional Yogyakarta masih memiliki banyak peminat. Salah satunya, di Sanggar Budaya Ambarrukmo di Pendopo Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta.

Sanggar Budaya Ambarrukmo merupakan sanggar tari klasik Jawa gaya Yogyakarta yang dikelola oleh Dwiyani Fitranti (65), akrab disapa Fifi. Selain menjadi koordinator, Fifi menjadi pelatih tari di sanggar tersebut.

Fifi berasal dari Jawa Barat. Ia mengaku tertarik Tari Jawa sejak Sekolah Menengah Pertama.

Dwiyani Fitranti (Fifi). Foto : Candhik Ayu

“Sejak SMP saya sudah menari, tapi tari Bali, sampai kuliah pertama. Kuliah kedua, saya pindah ke ISI Jogja, di situ saya  mulai belajar tari Jawa,” ujar Fifi kepada Katolikana, pertengahan April 2022 lalu.

Fifi mulai melatih tari karena menggantikan guru tari sebelumnya. Sejak itu ia menjadi pelatih sanggar tari di Sanggar Budaya Ambarrukmo Yogyakarta.

“Saya itu kecemplung. Dulu menggantikan Bu Ning, guru tari sanggar ini juga. Bu Ning sibuk di Keraton dan saya yang menggantikannya hingga sekarang. Saya hanya mengajar tari di sini,” ujar Fifi.

Fifi menyadari dunianya dan kesenangannya dengan tari tradisional. Hal itu disadari saat ia tekun latihan menari.

“Dulu saya sempat vakum, 15 tahun. Tapi saya merasa kangen ingin menari lagi. Saat mulai menari lagi, saya senang karena banyak banget yang latihan saat itu,” ujarnya.

Fifi mengaku senang karena masih banyak orang yang berminat bergabung berlatih tari tradisional Jawa.

Pandemi, Peserta Meningkat

Peserta di Sanggar Budaya Ambarrukmo berasal dari berbagai usia. Mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Atas (SMA), mahasiswa, hingga Ibu-Ibu.

Di masa pandemi ternyata jumlah murid makin bertambah sehingga jadwal latihan harus dibagi.

“Awalnya seminggu sekali, hari Selasa. Tahun 2017 jadi seminggu dua kali, Selasa dan Kamis. Waktu pandemi bertambah lagi, lalu dibagi beberapa kelas,” ujar Fifi.

Fifi mengatakan ada yang membedakan dalam setiap kelas yang dijalankannya dari pukul 16.00-18.00 WIB.

“Karena Sari Tunggal itu ada 51 gong, kami memutuskan untuk membagi dalam tiga bagian: Sari tunggal 1, Sari Tunggal 2, dan Sari Tunggal 3,” ujar Fifi.

Menari Jawa sangatlah tidak mudah untuk bisa dilakukan. Gerakan yang lambat dan halus harus memperhatikan dan menerapkan beberapa hal untuk dapat menarikan tari tradisional dengan rasa dan penampilan terbaik.

Menurut Fifi, saat menari Jawa itu harus ada yang diperhatikan, yaitu wiraga, wirama, wirasa. Tari Sari Tunggal 1 fokus pada wiraga. Jadi, tarian yang lambat hitungannya dilakukan satu-satu. Tari Sari Tunggal 2 fokus pada wirama. Mulai ada permainan iramanya dan menggunakan aba-aba satu, dua, dan seterusnya. Tari Sari Tunggal 3 fokus pada wirasa yang telah harus mengeluarkan rasa untuk menari.

“Tari Jawa itu kan susah, tariannya lambat jadi harus dimulai dengan dasar seperti pengenalan nama gerakan, baru nanti dicoba pakai musik, dan hitungan dikit demi dikit. Di situ kita harus bisa menyinkronkan gerakan, musik, dan rasa biar sesuai,” papar Fifi.

Bayu Pratiwi Evarani (Eva). Foto: Candhik Ayu

Sanggar Budaya Ambarrukmo juga memiliki sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh anggota sanggar tari untuk makin mengenal kebudayaan.

“Biasanya di minggu terakhir ada latihan sanggul dan latihan dandan (make up) tari. Tiap tahun sekali ada menari di alam untuk eksplorasi gerak,”  ujar Fifi.

Sanggar Budaya Ambarrukmo menggelar pentas setiap tahun. Tahun 2022 ini akan ada pentas namun belum ditentukan waktunya.

Mereka pernah menari di Museum Sonobudoyo dan di Bukit Paralayang yang viewnya langsung ke pantai.

Bayu Pratiwi Evarani, anggota tari di Sanggar Budaya Ambarrukma, mengatakan ia sejak lama tertarik tari tradisional Jawa.

“Keluarga saya rata-rata orang seni. Jadi mungkin bawaan, jadi tertarik untuk bisa latihan tari Jawa,” ujar Eva.

Bagi Eva, mencintai budaya sendiri sangatlah penting. “Siapa lagi yang bisa mengembangkan budaya kalau bukan diri sendiri?” ujar Eva.

Menjadi penari tradisional Jawa membuat Eva senang dan bangga bisa ikut serta mencintai budayanya sendiri.**

Kontributor: Candhik Ayu (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.