Gadis yang saleh ini mendapat rahmat vision kala lumpuh karena penyakit irreversible. Yesus memanggilnya untuk ikut dalam penderitaan-Nya.
Dari lantai dua rumahnya setinggi lima meter tubuh Alexandrina Maria da Costa terhempas ke tanah kering nan tandus. Ia sengaja melompat lewat jendela untuk lolos dari upaya perkosaan mantan majikan dan dua pengawal.
Dengan sisa tenaga, Alexandrina berjuang untuk bangun. Ia sadar, di dalam rumah masih ada Deolinda, kakaknya dan Rosalina, temannya. Tanpa pikir panjang, ia berdoa, “Tuhan, tolong aku!” Tuhan mendengarkan doanya. Ia beroleh keberanian menghadapi tiga lelaki hidung belang itu. Perlahan-lahan ia bangun, mempersenjatai diri dengan sebatang kayu, lalu mengusir mantan majikan bersama dua pengawalnya.
Insiden tersebut berlatar relasi buruh dan majikan yang tidak harmonis. Kala Alexandrina masih bekerja, majikannya kecewa. Ia menilai, Alexandrina tidak serius bekerja. Gadis itu sering meninggalkan pekerjaan dan mengikuti Misa atau pengakuan dosa. Kekecewaan sang majikan dilampiaskan dengan berbagai kekerasan. Mendengar itu, Ana Maria da Costa, ibunya meminta Alexandrina keluar dari tempat bekerja. Ia menuruti nasihat sang ibu.
Akibat melompat dari ketinggian, Alexandrina mengalami infeksi serius pada tulang punggungnya. Penyakit itu lazim dikenal dengan nama irreversible, penyakit yang disebabkan keretakan tulang punggung dan mendatangkan nyeri hingga membuat penderitanya tak bisa berjalan atau lumpuh.
Karena penyakit ini, Alexandrina terpaksa berdiam di kampung halamannya di Balasar, Keuskupan Porto, Portugal. Ia hanya bisa tidur di atas ranjang selama 10 tahun sampai akhir hidupnya, pada 13 Oktober 1955.
Beriman Teguh
Keluarga Alexandrina hidup sederhana di tengah masyarakat pedesaan yang miskin. Ayahnya, Antonio da Costa meninggal kala Alexandrina dan Deolinda masih kecil. Sang ibu menggantikan peran ayah sebagai kepala keluarga. Meski demikian, teladan rohani dan keutamaan hidup keluarga ini layak diacungi jempol.
Ana gigih mengajarkan nilai-nilai dan teladan kekatolikan pada dua buah hatinya. Keluarga yatim ini tak pernah absen berdevosi kepada Bunda Maria. Tradisi kesalehan seolah menjadi nafas keluarganya. Sampai akhir hidupnya, Alexandrina menaruh perhatian khusus terhadap devosi kepada Bunda Maria.
Sejak kecil, Alexandrina sudah terbiasa menekuni hidup doa dan aktif dalam kegiatan pelayanan di parokinya, Póvoa de Varzim, Porto, Portugal. Kelembutan sikapnya membuat pastor paroki, Pater A.G. de Azevedo kagum padanya. “Kelak anak ini akan menjadi orang suci,” Pater Azevedo bersaksi.
Meski demikian, gadis kelahiran Balasar, 30 Maret 1904 ini tak bisa mengenyam pendidikan di kampung halamannya. Semua sekolah di Balasar – milik Keuskupan Agung Braga, Portugal, – hanya untuk laki-laki. Ana tak mau dua putrinya tertinggal dalam pendidikan. Lantas, ia mengirim Deolinda dan Alexandrina ke Sekolah St Monika di sebuah pedesaan dekat Póvoa de Varzi. Di sini Alexandrina mengasah sisi intelektual dan ketrampilan, serta memperdalam keutamaan kristiani. Ia belajar banyak dari Emilia de Fretes Alvarez, ibu asramanya.
Setelah 18 bulan tinggal di sana, Alexandrina dan Deolinda boleh menerima Sakramen Krisma dari Uskup Porto, Mgr António Barbosa Leão (1860-1929).
Rahmat Vision
Alexandrina menderita irreversible. Ia berhenti bekerja total. Tiap hari, nyeri tak tertahankan menyerang sekitar punggung. Berbagai upaya penyembuhan ia jalani, tapi hasilnya nihil. Menurut dokter yang merawatnya, Gomez de Araujo, kondisinya tak bisa disembuhkan lagi. Ia mengalami lumpuh total.
Masa mudanya dihabiskan dengan terbaring di ranjang. Namun, Alexandrina tetap berpengharapan. Ia membangun kerjasama dengan para katekis yang mengajarkan pendidikan iman pada kaum muda di Balasar. Saban hari ia mendaraskan Rosario dan menjalani puasa, matiraga, meditasi serta kontemplasi. Memasuki usia 19 tahun, kerinduan terbesarnya ialah melihat bekas-bekas luka Yesus dan mengalami penderitaan bersama-Nya.
Tahun 1928, sebuah peristiwa iman mengejutkan wilayah Cova da Iria di Vila de Ourem, Keuskupan Leiria-Fátima. Bunda Maria menampakkan diri pada tiga anak penggembala, Lucia de Jesus, Fransisco dan Jasinta Marto. Umat Keuskupan Agung Braga, sekitar 200 kilometer dari Fatima, berbondong-bondong berziarah ke sana.
Alexandrina pun ingin ikut berziarah. Sayang, niatnya urung karena sakit. Ia kecewa dan sedih. Pastor paroki datang menghibur dengan membawa hadiah Patung Bunda Maria Tak Bernoda, Rosario, dan air suci dari Fatima. Tak disangka, hadiah itu memantik semangat doanya. Ia minta pada ibunya agar menyediakan sebuah altar kecil di dalam kamar dan dihiasi bunga. Tiap malam, keluarga Costa berkumpul di sekeliling tempat tidur dan menyalakan dua lilin di depan patung Bunda Maria, lalu mendaraskan Rosario dan ditutup doa malam. Siang hari, bila tak ada sahabat yang berkunjung, ia akan berkanjang dalam doa dan berharap Bunda Maria menyembuhkannya.
Tepat Hari Raya Maria Diangkat ke Surga tahun 1933, Pater Mariano Pinho SJ merayakan Misa di Paroki Eulalia, Balasar. Mendengar kehadiran sang imam, Alexandrina minta Deolinda agar Pater Pinho berkenan merayakan Misa di kamarnya sekaligus menjadi Bapa Rohaninya. Pater Pinho menerima undangan itu. Sukacita pun menyelimuti hati Alexandrina.
Usai Misa, peristiwa ajaib terjadi. Alexandrina mendapat vision. Ia melukiskan, “Yesus seolah-olah baru saja turun dari salib. Luka-luka di tangan, kaki dan lambung-Nya terbuka. Darah mengalir keluar dari luka itu. Yesus mendekat ke tepi tempat tidurku. Dengan cinta, aku mencium luka-luka itu. Yesus membalas memelukku penuh kasih. Aku melihat luka-luka itu dan berkata, “Ya Yesusku, sudah berapa lama Engkau menderita untukku?” Lalu, Alexandrina tersadar dan tiba-tiba Yesus menghilang dari pandangan.
Kemenangan Iman
Tahun 1934, peristiwa yang sama terulang lagi. Kali ini, Yesus minta kesanggupannya untuk mengikuti jejak-Nya. Yesus berpesan pada Alexandrina, “Beri Aku tangan, kaki, kepala dan hatimu, karena Aku ingin semua penderitaan-Ku menjadi penderitaanmu. Kuduskanlah tubuhmu dan berikanlah sepenuhnya pada-Ku. Bantu Aku dalam penebusan umat manusia.” Ia menyanggupi perintah Yesus menderita bersama-Nya demi keselamatan manusia.
Setelah vision itu, tubuhnya makin hari makin kesakitan. Tulang punggungnya kian nyeri. Berat badannya merosot dari 73 kilogram menjadi 33 kilogram. Melewati sisa hidupnya, ia bergabung dengan Kelompok Awam Salesian yang menawarkan diri menderita bagi keselamatan jiwa dan pengudusan kaum muda tahun 1944.
Sebelum bersatu dengan Kristus untuk selamanya, Alexandrina berpesan pada Bapa Rohaninya, “Saya ingin salib di makam saya dan di dekatnya, gambar Bunda Maria. Jika mungkin, saya ingin sebuah mahkota duri diletakkan di kayu salib. Salib akan menjadi simbol penderitaan saya dari lahir sampai mati.” Setelah itu, ia mencium salib dan Medali Maria Bunda Dukacita, lalu berujar, “Selamat tinggal, kita akan bertemu lagi di surga.” Dan, ia pun wafat.
Bapa Suci Yohanes Paulus II mengesahkan dekrit keutamaan hidupnya dan menggelarinya venerabilis pada 12 Januari 1996. Lalu pada 25 April 2004, Takhta Suci membeatifikasinya. Dalam kotbahnya saat Misa Beatifikasi, Bapa Suci mengatakan, “Alexandrina berani menjawab pertanyaan Yesus kepada Simon Petrus, ‘Apakah engkau mengasihi Aku?’ Dan ia menjawab, “Ya Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mencintai-Mu.” Alexandrina di angkat menjadi pelindung bagi orang-orang yang berjuang melawan Euthanasia. Gereja memperingatinya tiap 13 Oktober.
Yusti H. Wuarmanuk
Sumber artikel: http://majalah.hidupkatolik.com/2017/08/14/6599/santa-pelindung-bagi-orang-orang-yang-berjuang-melawan-euthanasia/
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.