Asyiknya “Passegiata” di Roma

"Passegiata", jalan-jalan sore ala Italia. Kesan di Minggu pertama dengan kota Roma.

0 405

Katolikana.com, Italia — Pada hari kedua kursus Bahasa Italia. Saya terkejut. “Pope? I don’t know,” kata Abigail, seorang enterpeneur muda asal Amerika Serikat, salah satu peserta kursus. Meskipun ia orang Amerika, saya agak heran bahwa ia tidak mengenal Paus. Apalagi Paus sepopuler Fransiskus yang oleh majalah TIME dinobatkan sebagai Person of The Year pada tahun 2013. Saya tertarik bertanya kepadanya lebih lanjut. Hal apa yang menurutmu paling menarik dari Roma, Italia?” “It’s just a lovely place.”

Pertanyaan yang sama pernah ditanyakan kepada saya oleh Malika Amarielo, resepsionis tempat saya kursus yang juga orang Italia asli. Saya katakan kepadanya bahwa menurut pengamatan saya setelah seminggu berada di Italia, hal yang paling menarik bagi saya ialah betapa orang Italia begitu menikmati hidup. Dan hidup mestinya begitu. Ia tertawa dan berkata, “Tu e non Italiano. It’s difficult for us lately, katanya dalam Bahasa Italia yang segera disambung dengan Bahasa Inggris karena menyadari baru hari pertama saya kursus dan lebih banyak bertanya dalam Bahasa Inggris.

Bagi Malika dan kebanyakan orang Italia, sekarang adalah masa yang berat. Pemerintahan lowong, birokrasi yang amat ribet, pajak yang tinggi, aturan imigrasi yang amat longgar hingga kota dibanjiri para imigran, angka kelahiran yang amat rendah hingga lebih banyak generasi tua, kota yang kotor serta penuh sampah jadi alasannya. “For You as a tourist or just stay a while here, Italia like a dream come true. Like a heaven. But that’s not for us,” pungkasnya.

Cerita Abigail dan Malika membuat saya sedikit memahami situasi politik, sosial dan budaya di Roma, Italia. Tentunya setelah saya berjalan-jalan melihat-lihat sebagian besar kota Roma. Jalan-jalan sore ala orang Italia atau yang sering disebut Passeggiata. Kebiasaan ini tidak terlepas dari kebiasaan orang Italia untuk menikmati hidup yang dikenal dengan istilah Dolce far Niente atau kenikmatan tak melakukan apapun.

Basilika San Giovanni Laterano. Tampak bagian dalam. Foto: Xandro/Katolikana

 

Sepintas orang Italia kelihatan malas. Namun sesungguhnya mereka menikmati hidup setelah bekerja menuaikan tanggungjawabnya masing-masing. Ada yang jalan-jalan sore sepanjang Via San Giovani hingga Piazza Venezia, ada yang duduk-duduk sambil makan es krim atau minum bir dan anggur di Bar yang tersedia hampir di sepanjang jalan di Roma. Situasi hidup yang berat tidak mengurangi pilihan untuk tetap menikmati hidup. Kebiasaan ini tidak hanya dilakukan pada akhir pekan tetapi hampir setiap hari.

Selama sepekan ini saya berkesempatan mengunjungi beberapa tempat wisata yang ada di kota Roma seperti Basilika San Giovani Lateran, Colloseum, Faro Romano hingga Vatikan. Tempat pertama yang dikunjungi ialah Basilika San Giovani Lateran. Basilika ini merupakan salah satu dari Basilika Kepausan di samping Basilika Santo Petrus, Basilika Santo Paulus dan Basilika Maria Maggiore. Sebagaimana tempat-tempat wisata lainnya di kota Roma, bagian luar tampak kuno. Akan tetapi bagian dalam terawat baik. Kubah Basilika ini ditaburi emas dan dihiasi dengan patung kedua belas rasul dengan ukuran besar.

Lalu Colloseum, tempat kedua yang saya kunjungi. Di Colloseum, pengunjungnya ramai sekali, sehingga saya hanya mengambil beberapa gambar dari bagian luar sambil berkata; “yang penting saya sudah sampai di tempat ini, meskipun belum sempat masuk ke dalamnya.” Dari situ, saya mengunjungi Foro Romano. Foro Romano merupakan kota tua Roma yang merupakan pusat Kerajaan Romawi Kuno. Saya melihat puing-puing, sisa-sisa bangunan, di tempat ini. Dan, tempat terakhir yang saya kunjungi ialah kota suci Vatikan. Tampak banyak pengunjung mengabadikan momen lewat kamera handphone maupun kamera digital.

Tempat Roro Romano, salah satu tempat bersejarah di kota Roma. Foto: Xandro/Katolikana

 

Ada beberapa hal yang menarik bagi saya. Pertama, tempat-tempat suci seperti gereja sungguh menjadi tempat wisata. Pengunjung boleh masuk dan melihat-lihat seolah-olah itu pasar. Jarang ada pengunjung yang masuk dan berdoa. Bagaimana mau berdoa jika sebagian besar pengunjung lainnya ribut, foto-foto dan lalu lalang kian kemari? Kesan mistis spiritual hampir tidak terasa bahkan dalam Basilika yang begitu agung dan megah. Hal ini berbanding lurus dengan penurunan jumlah orang-orang Italia yang pergi ke gereja pada hari Minggu. Padahal kebanyakan orang Italia mengaku beragama Katolik. Nas ini sempat terlintas dalam benakku, di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ aku hadir. Bukan di gereja yang megah dan mewah.

Kedua, kesan sebagai kota abadi atau tua sengaja diciptakan dengan merawat bangunan-bangunan tua tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan sumbangan yang begitu besar dari bidang pariwisata bagi kas Negara. Ketiga, hampir di setiap tempat wisata tour guide maupun pekerja legal ialah kaum imigran. Selain itu, di setiap sudut jalan, selalu ada tempat sampah, namun sampah tetap berhamburan di mana-mana di seluruh kota. Beberapa teman berkomentar demikian, “Jakarta masih lebih bersih. Roma ini sangat kotor karena sampah di mana-mana.”

Pengalaman selama sepekan ini seolah mengamini apa yang dikatakan oleh Malika. Ini hanyalah kesan setelah sepekan passeggiata, bukan studi dokumentasi ataupun riset yang mendalam. Dan ini baru kota Roma, bukan Italia seluruhnya. Namun toh hidup yang sulit dan berat sebagaimana diceritakan oleh Malika pun ada benarnya.

Sekian kabar dari saya, seminggu tinggal di kota Roma, Italia.

Ciao… Sampai jumpa!

 

Imam Fransiskan, lahir di Mataloko, Flores pada 1987. Sebelas tahun bertugas di Papua. Kini sedang studi di Roma, Italia. Menulis buku Fenomena Papua: Esai-esai Sosial (2018, SKPKC Fransiskan Papua).

Leave A Reply

Your email address will not be published.