Katolikana.com — Minggu pagi, 13 Mei 2018, bom meledak di tiga gereja Surabaya, Jawa Timur, yaitu Gereja Kristen Indonesia, Jalan Diponegoro, Gereja Santa Maria Tak Bercela, Jalan Ngagel Madya Nomor 1, Baratajaya, Kecamatan Gubeng, dan Gereja Pantekosta Pusat di Jalan Arjuno. Keesokan paginya, Senin 14 Mei, terjadi lagi ledakan bom di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo dan Mapolrestabes Surabaya. Lima ledakan bom bunuh diri yang terjadi kurang dari 48 jam ini menewaskan puluhan orang.
Hal yang mencengangkan bagi kita adalah aksi bom bunuh diri itu dilakukan oleh keluarga: ayah, ibu dan anak-anak. Hal ini dianggap sebagai modus baru dalam aksi bom bunuh diri. Bagaimana keluarga-keluarga ini mendapat kekuatan dan keberanian melakukan aksi brutal ini? Salah satu penyebabnya karena indoktrinasi.
Agama vs Cara Beragama
Atas peristiwa memilukan ini, masyarakat menyatakan kecaman terhadap siapapun yang telah mendesainnya, dan bersama dengan itu pernyataan empati yang mendalam terhadap para korban. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dua organisasi keagamaan Kristen, dengan segera mengeluarkan pernyataan sikapnya. PGI dan KWI antara lain menegaskan, bahwa tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan. “Kesesatan berpikirlah yang membawa penganut agama melakukan kekerasan dan tindak terorisme.” (Kompas,com, 13/05/2018).
Studi-studi terhadap gerakan radikal dan fundamentalisme agama, pada umumnya memang menunjuk pada indoktrinasi paham hasil tafsir sepihak sebagai unsur penting yang menggerakan aksi-aksi bom bunuh diri. Peristiwa ini paling tidak menyoal eksistensi agama dalam kehadirannya bagi publik.
Keluarga sebagai pelaku aksi bom bunuh diri adalah gejala baru dalam aksi-aksi kekerasan seperti ini. Gejala ini seolah mau membuktikan kekuatan indoktrinasi yang dapat merusak kesadaran dan kewarasan, mulai dari individu dan kini meluas meliputi institusi keluarga. Indoktrinasi telah berhasil mengubah bentuk keluarga biologis menjadi keluarga ideologis.
Dari pelaku dalam peristiwa ini kita menyaksikan sebuah disorientasi cara beragama. Kepercayaan buta tanpa orientasi pada kehidupan bersama sangat mungkin sekali menyebabkan perilaku-perilaku yang destruktif.
Pelaku bom bunuh diri, dengan penerimaan tanpa syarat terhadap apa yang diindoktrinasi kepadanya, setiap berhasil melakukan aksi, bukan saja menimbulkan korban orang lain dan kekacauan publik, tapi juga ia sekaligus merusak diri dan kehidupannya. Ini sebuah gejala yang sulit diterima secara akal sehat dan sekaligus nilai-nilai luhur agama itu sendiri.
Kekerasan dalam konteks peristiwa Surabaya ini saya kira adalah pernyataan paling jelas dari irasionalisme destruktif cara beragama. Dalam kenyataannya, bahwa agama itu multitafsir. Meski membaca kitab suci yang sama, namun setiap individu atau kelompok di dalam sebuah agama dapat menafsir secara berbeda-beda tulisan-tulisan dalam kitab suci yang dibaca. Perlu secara objektif dikatakan bahwa meski bom bunuh diri ini adalah gejala keagamaan, namun pada saat yang sama mesti dibedakan dengan apa yang kita mengerti ‘agama’ itu pada dirinya. Ini merupakan gejala paradoksal antara ‘cara beragama’ dengan ‘agama’ secara substantif.
Benar bahwa, rujukan ideologi dan tujuan yang diyakini oleh para ‘bombers’ ini adalah agama, tapi ini harus diposisikan sebagai tafsir sepihak mereka terhadap, misalnya kitab suci dan sumber-sumber ajaran lainnya.
Dengan begitu, untuk melawan teror dan kekerasan, pertama-tama adalah dengan agama itu sendiri. Tentu tidak dengan cara kekerasan, tetapi berjuang terus memenangkan wacana, bahwa agama adalah sumber keadilan dan perdamaian, bukan sebaliknya. Ini boleh dikatakan sebagai tanggung jawab agama-agama untuk terus dipikirkan dan diusahakan agar menjadi gerakan bersama.
Agama-agama Melawan Teror
Apa yang dinamakan ‘terorisme’ dengan aksi ‘bom bunuh diri’, sepertinya hasil dari rekonstruksi dan reproduksi atas pengalaman sejarah, rasa kalah dan ketidakmampuan memahami semua itu dalam relasi-relasi di tingkat lokal dan global. Bagaimanapun, ‘Barat-Timur’, ‘Kristen-Islam’, telah berhasil direkonstruksi menjadi semacam identitas-identitas yang masing-masing tunggal dan mesti berhadap-hadapan. Kolonialisme yang panjang, adalah trauma sejarah pada banyak peradaban.
Namun, demi sebuah legitimasi historis, sejarah kolonialisme kemudian dieksploitasi sedemikian rupa menjadi wacana dan doktrin untuk membentuk satu identitas, yaitu sebagai korban yang harus menuntut balas. Apa yang disebut ‘satu identitas’ itu pun adalah sebuah rekonstruksi untuk membangun kemarahan bersama. Kemarahan dan dendam rupanya dapat diolah menjadi sebuah kekuatan politis.
Kekerasan yang sungguh merusak kehidupan dalam konteks gerakan terorisme atau perang apapun pertama-tama tidak digerakkan oleh daya mesin-mesin canggih. Semua itu bermula dari rekonstruksi dan reproduksi wacana terus menerus hingga menjadi doktrin dan ideologi desktruktif. Metode ‘cuci otak’ menghasilkan manusia-manusia sebagai senjata, bom-bom hidup hingga keluarga-keluarga ideologis.
Pada konteks ini, teror dan kekerasan yang digerakkan oleh doktrin dan ideologi destruktif hanya dapat dilawan dengan nalar yang sehat dan kepekaan-kepekaan kemanusiaan. Dengan demikian, agama-agama adalah kekuatan besar untuk melawan upaya-upaya mendestruksi kehidupan.
Di masa teror ini, agama-agama dituntut untuk bekerja keras merekonsruksi cara dia mengada: cara tafsir dan cara memahami dirinya dalam relasi dengan konteks. Beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan bagaimana manusia-manusia korban indoktrinasi telah menghancurkan tubuhnya bersama mimpi menuju surga, tapi juga pada saat yang sama kematian banyak orang yang sementara menjalani kehidupan yang nyata.
Doktrin-doktrin kebencian dan kekerasan tersebut tentu harus dilawan oleh agama-agama dengan tafsir dan reorientasi pemikiran keagamaan yang mengutamakan keadilan dan perdamaian sebagai nilai-nilai otentik setiap agama. Organisasi keagamaan, intelektual, lembaga-lembaga pendidikan, atau siapapun yang mau membela keluhuran agamanya terpanggil untuk bergerak bersama melawan pembusukan agama, penghancuran kehidupan tersebut.
Terkini, dengan peristiwa bom bunuh diri di Surabaya, agama-agama mendapat tantangan bersama yang sungguh serius ketika basis-basis masyarakat, negara dan peradaban, yaitu keluarga telah berubah menjadi ‘unit-unit ideologis’ yang destruktif. Negara terancam hancur jika unit-unit terkecil, yaitu keluarga dirusak oleh doktrin-doktrin yang menganjurkan kebencian dan kekerasan.
Setiap umat beragama sekaligus adalah warga publik, warga negara yang terikat dengan kewajiban hukum dan moral pada masyarakatnya. Tapi, indoktrinasi yang mengajarkan kebencian dan kekerasan dapat memisahkan seorang individu, dan bahkan terakhir ini adalah keluarga dari kewajiban-kewajibannya di dalam masyarakat dan relasi-relasi resiprokal yang menjadi pilar penting sebuah paguyuban.
Tugas penting berikut, agama-agama sebagai fenomen historis sudah semestinya melakukan rekonstruksi radikal atas sejarah masa lalu yang menyimpan luka-luka. Kita harus keluar dari sandera masa lalu, dengan tentu tidak melupakan begitu saja, melainkan menjadi pembelajaran penting untuk masa kini dan masa depan bersama. Agama-agama mesti berperan untuk pencerahan dan merawat kehidupan publik dengan bersama-sama memperjuangkan keadilan dan perdamaian.

Dosen Universitas Kristen Indonesia Tomohon. Penulis dan aktivis di Komunitas Mawale, Minahasa.