
Katolikana.com, Italia — Napoli, kota terbesar ketiga di Italia, memiliki tempat-tempat bersejarah yang terus memikat bagi wisatawan rohani. Napoli, kota wisata religius dan kaya akan sejarah. Barangkali, Napoli menjadi tempat menarik bagi tujuan wisata rohani ke Italia.
Kontributor Katolikana.com di Roma, Alexandro Rangga, OFM kali ini akan bercerita bagaimana perjalanannya mengunjungi Napoli, yang kaya dengan cerita-cerita gereja bersejarah, tempat makanan pizza yang lezat, dan legenda mafioso yang selalu memikat.
Minggu kedua September 2018. Saya menjelajahi kembali kota-kota di Italia. Kali ini saya memilih Napoli. Perjalanan dari Roma ke Napoli ditempuh sekitar dua sampai empat jam, ini ditentukan jenis kereta yang kita pilih. Semakin kereta yang kita pilih tarifnya lebih mahal, perjalanan akan semakin cepat, begitu pun bila tarif murah yang kita pilih, waktu tempuh lebih panjang.
Saya memilih tiket kereta paling ekonomis, kereta regional atau intercity, tarifnya sekitar 50 Euro sekali jalan (round trip). Kalau pilih regional itu mesti ganti satu kereta lagi, sementara intercity langsung atau tak perlu ganti kereta.
Meskipun paling murah, keretanya sangat nyaman. Kita bisa tidur dengan tenang. Namun, karena saya memilih kereta regional, saya tak bisa tidur karena berjaga-jaga supaya tidak terlewatkan satu stasiun, yaitu stasiun Minturno-Scauri, tempat saya mesti ganti kereta.
Pada saat itu, saya memulai perjalanan dari stasiun kereta di kota Roma pada pukul 13.36 dan saya tiba di Napoli pada pukul 16.45.
Begitu tiba di Napoli, saya langsung menuju ke salah satu pusat kotanya yakni Piazza del Plebiscito. Saya berjumpa begitu banyak orang sepanjang jalan menuju Piazza ini.
Di Piazza ini saya dikejutkan lalu lintas ala kota Napoli. Beberapa kali saya bengong di zebra cross karena tidak ada kesempatan untuk menyeberang. Suatu hal yang amat berbeda dengan Roma. Seorang suster Indonesia yang belasan tahun tinggal di Napoli sebagai misionaris mengatakan kepada saya, “Begitulan keadaan lalu lintas di Napoli, lincah dan gesit.”
Ada pepatah yang menggambarkan suasana Napoli itu begini “Chi sa guidare a Napoli puo’ guidare in tutto le parte del mondo.” Artinya, siapa yang bisa menyetir di Napoli, dapat menyetir di seluruh di dunia. Ini agak berlebihan bila saya bandingkan “mobil terbang” ala sopir jurusan Labuan Bajo-Maumere atau Jawa-Bali. Namun, begitulah keriuhan jalanan Napoli. Tak heran bila orang jarang bahkan tak pernah melintasi zebra cross.
Tampaknya keriuhan lalu lintas kota tak mengurangi daya tarik orang untuk mengunjungi piazza dan mozzarela yang amat terkenal di anteroa Italia. Dan Napoli, kota yang punya pesona kuat untuk wisata religius dan historis. Siapa yang tak kenal dengan mafia Napoli, yang tak lekang oleh waktu?

Mukjizat Darah San Gennaro
Saya menyusuri beberapa tempat wisata religus di Napoli, mulai dari Katedral Duomo Napoli, Underground Naples (Napoli), Castel dell’Uovo, del Volto Santo, Basilika Santo Martinus hingga Sanctuario di Pompeii. Nah, kali ini saya mau berbagi cerita jalan-jalan di Katedral Duomo Napoli yang di dalamnya ditahtahkan Darah San Gennaro (Santo Yustinus Martir).
Pertama kali mendengar nama ini, saya teringat pada sosok Gennaro Gatuso, gelandang pengangkut air yang pernah bermain di klub AC Milan dan tim nasional italia. Begitu terkenalnya San Genaro, Uskup Agung Napoli, kotanya diliburkan setiap 19 September, untuk merayakannya. Banyak warga datang langsung ke Katedral Napoli untuk merayakan atau menonton melalui telivisi.
Menurut cerita, San Gennaro menghadap imperator Napoli supaya membebaskan teman-temannya yang ditangkap karena menjadi orang Katolik. Namun, bukannya teman-teman dibebaskan malah ia juga ikut ditangkap dan dipenggal kepalanya di Benevento. Darahnya diambil dan disimpan oleh seorang ibu selama setahun.
Anehnya, selama setahun itu darahnya tidak membeku namun tetap cair. Ia lalu melapor ke Paroki setempat dan mengabarkan mukjizat tersebut. Kabar mukjizat tersebut meluas hingga pemerintah saat itu memindahkan darahnya ke Napoli. Darah tersebut lalu disimpan dalam mostrans dan ditahtakan di Katedral Napoli hingga hari ini.
Setiap tahun darah tersebut mencair. Akan tetapi pada 19 September 1980, darah tidak mencair. Umat Katolik Napoli meyakini bahwa bencana alam yang dikenal dengan gempa bumi Irpinia dua bulan kemudian, tepatnya 23 November 1980 adalah kutukan dari San Gennaro. Memang pada saat itu Napoli amat korup dan angka kriminalitasnya pun tinggi.
Gempa Irpinia melululantahkan Napoli. Sejak saat itu, devosi kepada San Gennaro semakin terkenal. Setiap pesta peringatannya, umat di Napoli datang dan berdoa tiada putus-putusnya hingga darah tersebut mencair. Jika darah belum mencair, mereka berdoa makin tekun sambil berlutut dan meratap. Pada 19 September 2018 lalu, darah San Gennaro mencair dalam perayaan ekaristi yang dihadiri oleh ribuan umat di Katedral Duomo.
Menariknya, darah tersebut juga mencair saat Paus Fransiskus mengunjungi Napoli pada 21 Maret 2015. Hal ini merupakan peristiwa bersejarah karena peristiwa ini baru pertama kali terjadi, bahwa darah San Gennaro meleleh di hadapan penerus Santo Petrus dan di luar hari peringatannya. Akan tetapi saat itu, darah yang mencair hanya setengah.
Saat itu Paus berkata, “Saya melihat bahwa orang suci itu (San Gennaro) hanya sedikit menerima kita dan kita semua harus bertobat supaya lebih dikasihi.”
Mengenai hal ini, tidak ada suatu pembuktian ilmiah, namun bagi umat Napoli, mencairnya darah San Gennaro adalah mukjizat dan berkat. Tetap membekunya darah San Gennaro adalah pertanda akan sesuatu yang buruk.

Paus, Gereja, dan Mafioso
Cerita tentang mafia adalah bagian yang menarik di kota Napoli ini. Via Spaccanapoli adalah salah satu jalan yang amat terkenal. Panjangnya kilometer lebih. Jalan ini membagi Napoli menjadi dua bagian besar yakni bagian utara dan selatan. Via Spaccanapoli merupakan pusat kota Napoli Kuno yang amat penting pada Abad Pertengahan dan abad kesembilanbelas baik bagi biara-biara maupun orang-orang penting di Napoli. Kini jalan ini paling ramai dikunjungi karena ada pizza terlezat di Napoli.
Cerita soal mafia di Napoli, tak lepas dari Katedral dan sejumlah santuario, yang menjadi pusat jaringan mafia. Semua orang di Napoli tahu bahwa mafia yang menguasai dan menjalankan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi. Namun, tidak ada seorang pun yang berani berbicara tentang mafia secara terang-terangan.
Seorang suster berkisah pada awal kedatangannya di Napoli. Mereka melihat seorang anggota mafia menembak seseorang di kepalanya tepat di depan para suster. Namun, tidak ada berita tentang peristiwa itu keesokan harinya, baik di televisi maupun di koran-koran.
Mungkin satu-satunya orang yang berani berbicara dan mengecam secara terang-terangan mafia ialah Paus Fransiskus. Paus tidak berbicara dari Vatikan, tetapi secara langsung mengunjungi pusat mafia di Napoli. Hal yang kemudian juga dilakukan Paus Fransiskus pada 15 September 2018 yang lalu di Sisilia.
Di Piazza del Plebiscito, alun-alun besar yang menjadi salah satu simbol kota Napoli, Paus berbicara tentang Camora, kelompok mafia terbesar di Napoli.
“Kita mesti bereaksi secara kuat terhadap organisasi yang mengeksploitasi dan merusak kaum muda, kaum miskin dan lemah dengan perdagangan narkoba dan kejahatan lainnya. Korupsi dan kejahatan dapat merusak wajah kota ini…adalah mungkin untuk kembali kepada-Nya,” kata Paus Fransiskus.
“Air mata para ibu di Napoli menjadi saksi hari ini. Hari ini adalah waktunya untuk Hope for Naples (Napoli). Anda dapat membangun masa depan yang lebih baik,” kata Paus Fransiskus lagi.
Napoli, dengan pesona wisata religusnya, masih dalam bayang-bayang mafia, yang di bawah cahaya menjadi anggota dan donator gereja. Seperti kata Paus “Anda tidak bisa percaya pada Tuhan sekaligus menjadi bagian dari mafia.”
Namun toh religiusitas ala mafia ini masih terjadi hingga hari ini. Bukan karena gereja tidak bisa menolaknya tetapi karena di Napoli, kamu tidak pernah bisa memisahkan mana yang orang katolik dan mana yang mafia. Jika sudah begitu, kita mungkin hanya bisa bertanya, kapan darah San Gennaro berhenti mencair lagi? Ciao….
Editor: Basilius Triharyanto
Bukan karena gereja tidak bisa menolaknya tetapi karena di Napoli, kamu tidak pernah bisa memisahkan mana yang orang katolik dan mana yang mafia. Jika sudah begitu, kita mungkin hanya bisa bertanya, kapan darah San Gennaro berhenti mencair lagi?
Imam Fransiskan, lahir di Mataloko, Flores pada 1987. Sebelas tahun bertugas di Papua. Kini sedang studi di Roma, Italia. Menulis buku Fenomena Papua: Esai-esai Sosial (2018, SKPKC Fransiskan Papua).