Katolikana.com — Gereja Katolik menghadapi banyak peristiwa yang terkait langsung dengan seksualitas manusia. Ada skandal seksual yang melibatkan beberapa imam Katolik di berbagai belahan dunia.
Pater Frumensius Gions, OFM, dosen Teologi Moral Keluarga dan Ajaran Sosial Gereja di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, mengatakan seksualitas bukan hanya persoalan birahi semata. Ia juga melihat fenomena seksualitas dalam tren teknologi informasi menjadi persoalan serius.
Para religius selibater–baik imam, suster, maupun bruder–memiliki aspek seksual dari dirinya sebagai manusia. Sebagai kaum religius, mereka harus mengolah seksualitasnya dalam kerangka penghayatan kaul kemurnian.
Mengapa para selibater harus mengolah seksualitasnya? Bagaimana para selibater ini memaknai seksualitas?
Simak wawancara Alexander Aur untuk Katolikana.com dengan Pater Frumensius Gions OFM, kandidat doktor bidang Teologi Moral di Accademia Alfonsiana, Roma, Italia.
Persoalan kekerasan seksual–baik sebagai pelaku dan korban–bisa terjadi pada siapa saja. Apakah hal itu juga menjadi perhatian penting imam dan para selibater lainnya?
Iya. Seksualitas selalu menjadi salah satu pokok perhatian para selibater sudah sejak awal masa pembinaan dan selanjutnya selama hidup pengabdiannya sebagai selibater. Ada tiga alasan pokoknya.
Pertama, seksualitas adalah anugerah, rahmat, pemberian Allah sendiri kepada manusia sebagai ciptaan-Nya. Maka, secara hakiki seksualitas itu baik dan menghadirkan daya positif untuk hidup tiap manusia.
Kedua, seksualitas memberi seseorang identitas diri dan orientasi sikap hidup. Maka, secara eksistensial seksualitas itu menyangkut kelelakian dan keperempuanan manusia sebagai pribadi citra Allah. Penerimaan yang sehat terhadap dimensi seksual ini meyanggupkan seseorang untuk mengenali diri sendiri, mampu mencintai dan hidup dalam relasi yang bermartabat dengan sesama sebagai persona (pribadi).
Sudah dalam penegasan ini makna seksualitas tidak boleh direduksi hanya pada aspek birahi, perasaan afektif atau dorongan fisik biologis dan tubuh semata. Segi-segi lain dari seksualitas juga perlu diperhatikan yakni personal, relasional, spiritual dan bahkan estetika.
Ketiga, secara khusus seksualitas dalam Gereja Katolik ditempatkan dalam konteks panggilan hidup perkawinan dan selibat. Keduanya–perkawinan dan selibat–merupakan panggilan yang dikehendaki oleh Allah dan mensyaratkan penerimaan diri sebagai makhluk seksual secara bertanggung jawab.
Aneka ragam kekerasan atau kejahatan seksual harus dipandang sebagai suatu degradasi terhadap pribadi manusia sebagai makhluk seksual.
Mengapa para imam selama hidupnya harus mengolah seksualitasnya? Bukankah dengan berkaul selibat perkara seksualitasnya selesai?
Selama hidupnya para imam harus mengolah seksualitasnya agar mereka senantiasa dapat menempatkan Kristus dan Gereja-Nya sebagai landasan utama dan tujuan seluruh panggilan perutusannya. Dalam terang tujuan formasi seperti itu, para imam dapat mencegah diri dari hasrat dan perilaku yang sifatnya egosentris, hedonistis dan narsistis.
Hidup sebagai selibater adalah pilihan bebas dan sukarela yang dilandasi oleh pengalaman iman akan kasih Allah. Jadi, selibat itu bukan semacam pelarian dari kegagalan membangun suatu relasi yang sehat dengan sesama. Pun selibat bukan suatu bentuk hidup yang dipilih karena ketidaksukaan terhadap nilai luhur hidup perkawinan.
Dasar selibat adalah cinta akan Kristus yang menyata dalam bentuk penyerahan diri yang total demi pelayanan penuh sukacita pada sesama dan segenap ciptaan. Kendati menjawab panggilan Tuhan secara personal, namun para selibater menjalani panggilannya selalu dalam konteks komunitas dan dalam jaringan relasi dengan dunia.
Inilah sebabnya tiap-tiap hari para selibater perlu menjernihkan cintanya pada Kristus dengan mengelola, mendidik dan mengarahkan hasrat, gairah, kebutuhan dan proyek hidupnya sedemikian rupa sehingga selaras dengan kehendak Allah sendiri.
Bagaimana tantangan para selibater mengolah seksualitasnya di era digital, zaman now?
Pengolahan aspek seksualitas dari para selibater saat ini sesungguhnya berhadapan dengan macam-macam tantangan. Ada tantangan dari luar seperti aneka propaganda sejumlah media atau teknologi informasi yang kerap memberi imajinasi dan pandangan serba individualistis, reduksionistis dan hedonistis terhadap seksualitas.
Glorifikasi (pemujaan) terhadap tubuh cenderung mencampakkan manusia sebagai makhluk instingtual (naluri) semata. Ada juga tantangan dari dalam diri selibater sendiri yang dapat berupa: kurang mampu hidup soliter dan asketik, kurang cakap membina dan mengarahkan kehendak pada realisasinya yang baik, perasaan “cukup pada diri sendiri” sehingga mengabaikan kehadiran sesama, pengabaian saat-saat hening dan relasi rohani dengan Tuhan sendiri.
Apa saja strategi konkrit para imam dalam pengelolaan dimensi seksualnya?
Tentu ada banyak. Secara umum terdapat dua langkah, yakni personal dan bersama. Langkah personal berkaitan dengan upaya selibater sendiri dalam membarui hidup baktinya.
Usaha tersebut dapat berupa penjernihan motivasi melalui retret pribadi, pengolahan hidup rohani, pengenalan atau penerimaan secara jujur terhadap “tubuh sebagai sakramen”, membangun sikap syukur, dan sebagainya.
Langkah bersama berkaitan dengan upaya komunitas untuk menumbuhkan kecintaan seorang selibater pada pilihan hidupnya dan pada rekan-rekan selibaternya.
Usaha bersama tersebut dapat berupa pembaruan janji setia selibat, ziarah atau retret bersama, sharing pengalaman pergumulan iman, pendidikan seksualitas, belajar bersama, makna sense of belonging dalam hidup komunitas, dll.
Langkah-langkah ini – personal dan bersama – bertujuan agar seorang selibater dapat menjadi pribadi yang integral, yang memperlihatkan di dalam dirinya suatu passion untuk Allah, sesama dan segenap ciptaan.
Dasar selibat adalah cinta akan Kristus yang menyata dalam bentuk penyerahan diri yang total demi pelayanan penuh sukacita pada sesama dan segenap ciptaan. Kendati menjawab panggilan Tuhan secara personal, namun para selibater menjalani panggilannya selalu dalam konteks komunitas dan dalam jaringan relasi dengan dunia.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.