Katolikana.com, Jakarta — Romo Lodewijk Bambang Santosa Wiryowardaya, Pr, atau dikenal dengan Romo Bambang Wiryo adalah seorang Imam yang gigih dan teguh dalam karya dan perjuangan imamat.
Ditahbiskan sebagai imam pada 1978 oleh Mgr. Leo Sukoto. Ia menjadi imam projo pertama Jakarta bersama Romo Wiyanto, Pr (Alm.). Meninggal pada pukul 19.31, Senin, 1 Oktober 2018, sesudah didera sakit dan dirawat di RS Pondok Indah Puri Indah Jakarta. Ia wafat di usia 73 tahun.
Selama menjadi Imam Projo (diosesan) Keuskupan Agung Jakarta, ia telah berkarya di sejumlah paroki. Tak sedikit rintangan datang menghadang, baik dari umat maupun uskup pimpinannya. Ia berhasil melalui dan menghadapinya dengan kuat.
Saat di ujung perjuangan melewati rintangan, kekuatan kasih dan iman Yesus memberikan tempaan hebat. Ia mengungkapkannya dalam buku yang ia tulis saat 25 tahun Imamat berjudul “1/4 Abad Imamatku”, seperti dikutip oleh buku kenangan 40 Tahun Imamat: Bertahan, Patuh & Setia, yang diterbitkan Paroki Alam Sutera pada 2018.
“Aku merasa semua apa saja yang telah aku buat, alami, miliki dan rasakan menjadi kosong seolah sia-sia karena hany mencari diri sendiri bukan mencari Dia yang memanggil dan memilih aku bahkan mendorong aku untuk bermegah diri. Semua itu hanya karena keinginan kepuasan ambisi nafsu diriku sendiri bukan semata-mata melaksanakan kehendak Tuhan Yesus, bahkan mungkin juga bukan yang menjadi kehendakNya.”
Menjadi Imam Projo pertama, ia menghadapi rintangan, belum dikenal dan diterima dengan baik. Ia merasa disingkirkan oleh teman-teman imam dari tarekat lainnya. Dalam bukunya ia menulis, “Rasanya seperti menjadi orang asing di negeri sendiri.”
Romo Bambang kemudian membentuk persaudaraan Imam-imam Projo Keuskupan Agung Jakarta (UNIO) sekitar tahun 1980. Karya ini pun berkembang. Ia meluaskan komunitas UNIO dengan mendirikan UNIO Indonesia.
Selain berkarya sebagai pastor paroki, ia dipercaya menjadi anggota Dewan Pastoral dan Imam, yang tugasnya memberikan konsultasi kepada para imam. Di sinilah, ia menjadi tempat ‘muara’ beragam persoalan dan dinamika rekan-rekan imam lain.
Tiga tahun terakhir Romo Bambang berkarya di Paroki Laurensius Alam Sutera, Tangerang, bersama dengan Romo Yohanes Hadi Suryono, Pr dan Romo Sridanto Aribowo, Pr. Ia dikenal imam yang keras, berani, ramah, dan peduli. Saat memimpin misa suaranya lantang, dan banyak melontarkan humor saat berkotbah. Sehingga, hal yang susah disampaikan dengan ringan, dan gampang dimengerti.

Saat memperingati 40 Tahun Imamat, Romo Hadi, sebagai rekan dan romo paroki, menulis, “Semangat ketaatan pada pimpinan dalam menjalankan tugas perutusannyalah yang mengantar beliau untuk bergembira menjadi imam sampai saat ini.”
“Kepedulian kepada perkembangan imam diosesan dan Keuskupan Agung Jakarta; pengelolaan dan penggembalaan dalam berpastoral di paroki, bagi saya adalah sebuah keteladanan yang baik ditiru oleh para imam muda (diosesan) dalam tugas perutusan. Beliau mencintai medan karya dimana beliau ditugaskan,” tulis Romo Hadi.
Sementara itu Romo Sridanto menulis untuk Romo Bambang seorang imam yang rendah hati, sangat dekat dengan imam muda. “Usianya boleh tua, sikapnya boleh kekanak-kanakan,namun persahabatannya yang tulus dan tidak mudah menggurui seolah menjadikan dia bagian dari kami, imam-imam yunior. Dia tidak marah kalau dicela imam-imam yang lebih yunior. Dia tidak marah kalau para imam muda bercanda dengan “kata-kata kasar”. Namun dia akan marah kalau babi panggang untuknya hilang tanpa bekas, atau cukiok-nya lenyap tanpa cerita.”
Menjelang tutup usia, Romo Bambang, berkarya dengan gembira, suka gaul dan populer di kalangan umat senior. Namun, ia tak kalah dengan orang muda soal kegemarannya menikmati kuliner dan foto selfie.
Romo Bambang, jejak dan ziarah romo tak lekang oleh zaman, bersama kenangan yang hidup diantara anak-anak, orang muda, umat senior. Seluruh umat yang romo layani, mengenang kasih dan kesetiaan romo, hari ini dan selanjutnya.
Rest in Peace Romo Bambang. Selamat jalan!
“Kepedulian kepada perkembangan imam diosesan dan Keuskupan Agung Jakarta; pengelolaan dan penggembalaan dalam berpastoral di paroki, bagi saya adalah sebuah keteladanan yang baik ditiru oleh para imam muda (diosesan) dalam tugas perutusan. Beliau mencintai medan karya dimana beliau ditugaskan,” tulis Romo Hadi.

Jurnalis dan editor. Separuh perjalanan hidupnya menjadi penulis. Menghidupkan kata, menghidupkan kemanusiaan.