Kukis dan Muasal Pesta Natal di Minahasa

Di Minahasa, seorang misionaris untuk kali pertama menyajikan kue dalam Pesta Natal.

0 681

Katolikana.com, Manado — Suatu hari di bulan Desember tahun 1831. Misionaris asal Jerman Johan Fredrich Riedel sedang berpikir merayakan Natal bersama, ketika pagi hari, saat jalan-jalan menikmati udara yang dingin di Tondano, Sulawesi. Ia ingin mengumpulkan penduduk Tondano di Gereja sambil mendengarkan ajaran Kristen.

Setelah merenung, Riedel akhirnya mengungkapkan idenya kepada isterinya, Maria Williams-perempuan asal Haruku keturunan Inggris. “Di hari Natal nanti kita akan bikin kue Natal Jerman,” kata Riedel kepada Maria.

“Tapi di sini tidak ada tepung,” kata Maria. Tepung yang disebut Maria adalah tepung terigu dari gandum yang menjadi bahan kue Natal di Jerman.

“Tidak masalah. Kita bisa buat kue beras manis,” kata Riedel.

Kisah ini tertulis dalam buku karangan R. Grundemann berjudul ‘Levensbeeld van Johann Frederik Riedel uit de Minahassa op Celébes’ terbit tahun 1874.

‘Kue beras manis’? Apakah itu yang kini orang-orang Minahasa menyebutnya ‘kukis apang’? Bahannya dari tepung beras dan gula merah (gula aren) dan ditambah bahan-bahan lain. Atau ‘kukis cucur’ yang juga terbuat dari tepung beras, gula merah dan sebagainya. Entahlah. Yang jelas, dua jenis kue yang disukai orang Minahasa sudah disebut dalam sebuah buku resep yang terbit tahun 1845 dan 1859. Pengarang buku itu bernama Nona Cornella. Di buku resep itu disebut ‘kwee tjutjur’ dan ‘kwee apam’.

Ketika Natal akan segera datang, Riedel dan Maria, sibuk dengan mempersiapkan pesta, salah satunya membuat kue-kue yang akan disajikan kepada orang-orang Tondano yang diundangnya.

Hari Natal pun tiba. Rumah misionaris Riedel dipenuhi oleh orang-orang Tondano, baik yang sudah Kristen maupun yang belum. Mereka merayakan pesta Natal dengan hidangan kue beras manis dan kopi hangat. Seperti yang diharapkannya, banyak orang Tondano yang tertarik. Sejak itu orang-orang Tondano dan Minahasa merayakan pesta Natal selalu menyajikan kue. Bahkan, kini Natal-hari basar, identik dengan kumpul-kumpul, libur, dan makan kue enak.

Bagi orang-orang Minahasa bukanlah hal sulit memahami, menerima dan mengadopsinya menjadi tradisi. Sebab, ritual-ritual agama tuanya juga identik dengan pesta. Ritual (foso) negeri untuk panen, adalah juga pesta komunitas. Babi disembelih, dagingnya dimasak untuk dimakan bersama. Orang-orang dewasa minum saguer, menari dan menyanyi. Ramai sekali.

Tradisi Kristen Eropa yang pada masa itu dianggap baru di Minahasa, rupanya dengan segera menjadi bagian dari kebudayaan rakyat. Nilai-nilai kekristenan diajarkan dalam perangkat budaya setempat. Terjadi sinkretisme. Ini keniscayaan dari perjumpaan dua sistem nilai dan tradisi budaya dan agama. Maka, lahirlah bentuk kekristenan yang unik dan khas meskipun di dalam satu lembaga zending, gereja-gereja akan menghasilkan corat kekristenan yang berbeda sesuai tempat dan budayanya.

‘Kukis Natal’ yang dibuat Riedel dan Maria, awalnya untuk menarik perhatian orang-orang Tondano dan juga Minahasa pada umumnya. Namun, rupanya di dalamnya terdapat juga nilai keramahtamahan dan berbagi. Ritual-ritual negeri Minahasa juga memiliki nilai yang mirip. Keduanya saling mengisi.

Narasi demikian telah membantu kita memahami mengapa penting ada kesibukan ‘beking kukis’ pada keluarga-keluarga Kristen di Minahasa selama bulan Desember. Apakah kue sebanyak 3, 5 hingga 10 rupa itu hanya untuk di makan anggota keluarga? Jelas tidak. Ada rasa bangga jika ada keluarga dari rumah lain, teman, tetangga atau tamu-tamu khusus mencicipi kue yang diatur rapi di meja ruang tamu.

Hal lain kaitan dengan spirit saling berbagi di Natal ini, entah itu seremonial saja, prosedural atau sebagai tindakan personal yang ikhlas, pada semua ibadah ‘pohon trang’, pasti ada sesi ‘bagi-bagi hadiah’.

Sehingga, perkara pohon cemara yang dihiasi salju, sementara di Minahasa tidak pernah turun salju; Sinterklas yang khas dengan baju musim dinginnya, sementara di Minahasa suhunya tidak pernah minus, agaknya telah dilampaui dengan rekonstruksi makna Natal menjadi pesta untuk saling berbagi.

‘Kukis Natal’ yang dibuat Riedel dan Maria, awalnya untuk menarik perhatian orang-orang Tondano dan juga Minahasa pada umumnya. Namun, rupanya di dalamnya terdapat juga nilai keramahtamahan dan berbagi. Ritual-ritual negeri Minahasa juga memiliki nilai yang mirip. Keduanya saling mengisi.

Editor: Basilius Triharyanto 

 

Dosen Universitas Kristen Indonesia Tomohon. Penulis dan aktivis di Komunitas Mawale, Minahasa.

Leave A Reply

Your email address will not be published.