Ketoprak Rohani Gereja Katolik Kristus Raja Baciro

Angkat Kisah Kitab Suci dengan Latar Kehidupan Masa Kini

0 474

Katolikana.com, Yogyakarta — Gereja Katolik Kristus Raja Baciro punya cara unik untuk menyebarkan pesan Injil. Kesenian tradisional ketoprak menjadi bagian dari kehidupan menggereja sekaligus menghidupi budaya masyarakat setempat.

“Sejak 2012 kami mengembangkan gagasan bahwa Gereja harus hadir di tengah masyarakat. Caranya, dengan menghidupi budaya masyarakat setempat. Yang kita pilih itu ketoprak. Sisi budaya harus ada yang ditampilkan ke penonton,” ujar Windu, penggagas ketoprak rohani di Gereja Kristus Raja, Baciro, Yogyakarta.

Seni berasal dari budaya dan budaya menjadi hal yang dihidupi oleh masyarakat. Dengan menghadirkan sesuatu yang dapat diterima oleh masyarakat, diharapkan nilai-nilai atau pesan-pesan Injil dapat diterima dengan mudah pula melalui kesenian.

“Sabda Tuhan atau Injil itu latar belakang settingnya itu ada di Timur Tengah. Artinya, butuh penjelasan yang bisa mendaratkan cerita-cerita itu kepada umat di Indonesia khususnya di Jawa dan secara khusus lagi di Gereja Baciro ini,” jelas Windu.

Menurut Windu, cara yang paling tepat adalah mengadopsi cerita-cerita itu ke dalam seni dan budaya yang netral.

“Seni budaya itu tidak mengenal iman tertentu, tapi dia bisa berdiri di atas semua iman. Maka itu yang dipilih untuk disampaikan agar dapat diterima di masyarakat dan pada umat,”  tambah Wndu.

 

Melibatkan Banyak Orang

Pemilihan ketoprak menjadi sarana menyalurkan pesan Alkitab bukan tanpa alasan. Hal ini telah melewati pertimbangan, tidak lain agar dapat memaksimalkan keterlibatan umat dalam pementasan. Diharapkan semakin banyak umat yang terlibat, maka semakin banyak umat yang memahami pesan dari Alkitab.

“Mengapa ketoprak? Karena ketoprak bisa melibatkan banyak orang. Itulah konsep dari keterlibatan umat dalam aktivitas menggereja, harus bisa melibatkan sebanyak mungkin umat sehingga mereka bisa merasakan langsung bagaimana melakukan katekese melalui seni dan budaya,” jelas Windu.

Windu menambahkan, mereka pernah memillih bentuk kesenian wayang, tapi tidak menjadi pilihan karena wayang hanya melibatkan personil yang terbatas.

“Wayang hanya melibatkan 30-40 orang dalam sekali pementasan, sementara untuk ketoprak bahkan kita buat massal yang terlibat bisa lebih lebih 100 orang. Saya kira ini sangat berdaya guna bagi umat, untuk mendaratkan imannya memahami injil melalui seni budaya yang ada di kehidupan mereka sehari-hari,” tambahnya.

Hingga 2017, ketoprak rohani di Gereja Kristus Raja, Baciro telah melakukan pementasan sebanyak lima kali. Ketika berdiri pada 2013, kelompok ketoprak ini dibimbing oleh pemain ketoprak senior dari luar negeri. Namun mulai 2015 ketoprak rohani mulai berdiri sendiri.

Pada awalnya ketoprak ini menggunakan bahasa Jawa. Lalu pada 2016 mulai menggunakan bahasa Indonesia. Pada pementasan 2016, mereka melibatkan romo, sehingga romo dapat menyampaikan pesan Alkitab dengan cara lain yang lebih menarik.

“Tahun 2016 kami membuat pentas dalam Bahasa Indonesia, dengan lakon orang Samaria yang baik hati. Antusiasme penonton makin bagus. Romo juga ikut main. Melalui ketoprak ini romo bisa memberikan pesan tanpa harus seperti kotbah, dengan perannya romo bisa memberi pesan pada umat. Umat juga tidak bosan mendengarkan khotbah romo,” ungkap Windu.

Mereka mengangkat kisah dari kitab suci, dengan latar kehidupan masa kini di daerah Sorowajan. Rupanya hal ini menarik antusiasme masyarakat yang besar. Tidak hanya umat kristiani, namun juga masyarakat umum.

Tahun 2017 mereka bermain dua kali. Satu kali di lingkungan gereja (internal) dengan lakon bendahara yang jahat dan hamba tuhan yang tidak setia. Berikutnya, pementasan di lingkungan luar gereja (eksternal) dengan lakon bendahara yang jahat. Semua dalam bahasa Indonesia.

“Pentas eksternal bekerja sama dengan komunitas Hindu dan komunitas Remaja Masjid. Respon dari masyarakat setempat cukup bagus. Jumlah penonton antara 600-700 orang,” ujar Windu.

 

OMK Menanggapi Positif

Keterlibatan umat dari berbagai kalangan memunculkan berbagai tanggapan positif dari masyarakat umum dan umat. Orang Muda Katolik (OMK) Gereja Kristus Raja, Baciro juga menanggapi positif.

Adanya ketoprak sebagai salah satu kesenian tradisional yang ditampilkan setiap seminggu satu bulan sekali melalui rekaman video, menjadi pengingat bagi generasi muda untuk selalu mengingat kesenian tradisional. Rekaman tersebut merupakan rekaman dari ketoprak rohani yang telah ditayangkan pada tahun sebelumnya.

“Ketoprak di gereja itu bagus. Di Gereja Baciro kebanyakan anak muda dan juga pendatang dari Indonesia Timur dari mana-mana juga. Pendatang menjadi tahu kalau ketoprak itu masih ada. Takutnya dengan sekarang jaman milenial ini, kebanyakan kebarat-baratan jadi lupa kalau ada kesenian tersendiri,” jelas Vano, anggota Orang Muda Katolik (OMK) Gereja Kristus Raja Baciro.

Menurut Vano, cerita yang diambil dari Injil atau kitab suci, itu sebenarnya cara kita. Di Gereja, kan Romo menceritakan kisah-kisahnya. Tapi ini dibungkus dengan cara seperti pentas seni dan itu seperti realita meskipun drama.

“Dari sisi itu bagus dan kami mudah menangkap. Kalau hanya mendengarkan cerita atau membayangkan sendiri, kadang suka salah. Tapi kalau sudah dipentaskan, jadi lebih nangkep,” pungkas Vano.***

 

Laporan Maria Utari Dewi dari Yogyakarta

Yohanes Widodo alias masboi. Guru jurnalisme di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ayah dua puteri: Anjelie dan Anjani. Bisa dihubungi melalui fb.com/masboi, Twitter @masboi, atau IG @idmasboi.

Leave A Reply

Your email address will not be published.