Beriman secara Sosiologis pada Masa Pandemi

Tentang merawat iman saat wabah Covid-19.

0 1,743

Katolikana.com – Selang seminggu lebih Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan “bekerja dari rumah” (work from home-wfh), seorang aktivis media sosial “Katolik Garis Lucu” (KGL) sharing pengalamannya seperti berikut ini.

Suatu hari aktivis medsos ini menerima kabar dari Bandung bahwa seorang buruh harian di Bogor meminta bantuan ke seorang romo di Bandung. Buruh itu mengaku tidak punya uang dan makanan untuk istri dan anaknya yang masih kecil. Buruh itu meminta agar, romo membantunya. Romo itu menghubungi teman aktivis media sosial tersebut dan memberikan alamat serta nomor kontak buruh tersebut.

Selanjutnya, aktivis medsos tersebut menghubungi buruh yang bersangkutan. Buruh itu menceritakan masalahnya sambil menangis. Ia kehilangan pekerjaan hariannya sebagai buruh pemasang plafon sejak berlaku kebijakan “bekerja dari rumah”. Oleh karena itu, sudah dua hari ia tidak bisa memberi makan istri dan anaknya.

Buruh pemasang plafon tersebut – seperti yang diceritakan aktivis media sosial KGL – adalah salah satu dari sekian banyak buruh lepas harian yang mengalami nasib tragis pada masa pandemi Covid-19. Situasi kehilangan pekerjaan bagi buruh harian lepas, melahirkan pertanyaan kecil bagi setiap orang beragama: cara beriman seperti apa yang relevan dengan situasi dan masa pandemi saat ini?

Pertanyaan itu mendorong saya menulis refleksi kecil ini. Boleh jadi, refleksi ini sangat teoritik, kering, tak menggugah batin, tidak menginspirasi, dan tidak menggerakkan orang beriman untuk bertindak. Saya mohon maaf untuk kekurangan ini. Meski demikian, saya ingin tetap membagikan refleksi ini. Jika tidak berkenan, tidak perlu dibaca. Jika berkenan, semoga menjadi inspirasi untuk menanggapi masalah-masalah yang muncul pada masa pandemi ini atau pada masa yang akan datang.

***

Pandemi Covid-19 menghantam hampir seluruh pelosok bumi ini. Hantaman itu memorakporandakan tatanan sosial (masyarakat). Kampanye massif social and phisical distancing oleh para pemegang otoritas pemerintah, membuat kita berjarak satu dengan yang lain. Tatanan sosial mengalami goncangan dan mengubah pola relasi antarmanusia.

Tak hanya itu. Praktik-praktik keagamaan pun berubah. Ritus-ritus keagamaan menjadi berjarak. Berbagai komunitas keagamaan menggelar ritus-ritus sakral secara live streaming lewat media elektronik digital. Ritus keagamaan yang semula berlangsung dalam batas locus tersentu dan hanya diakses oleh penganut agama yang berada dalam batas itu, berubah menjadi lintas-tempat dan lokasi. Seseorang atau sekelompok orang dengan mudah mengikuti ritus keagamaan di negara lain atau di pulau lain, yang jauh dari tempatnya bermukim saat ini.

Ada gejala baru praktik keagamaan yang muncul dalam masa pandemi ini, yakni berjarak dan melintasi batas. Sebelum pandemi, orang-orang beriman berada dalam locus ritus dan dekat. Pada masa pandemi, ada jarak dengan batas locus ritus keagamaan sekaligus melintasi batasnya. Gejala itu difasilitasi oleh teknologi komunikasi digital live streaming. Boleh jadi, gejala ini akan menjadi normalitas baru dalam cara beragama orang beriman pada masa depan.

Apakah gejala baru tersebut merupakan cara beriman yang pas/tepat untuk situasi pandemik sekarang ini? Pertanyaan ini dapat terjawab apabila orang-orang beriman memikirkan kembali hakekat iman dan kontekstualisasinya, khususnya pada masa pandemi ini.

Masyarakat yang tersituasikan oleh pandemi Covid-19 dengan seluruh dampaknya, merupakan sebuah undangan atau bahkan sebuah panggilan bagi orang-orang beriman, untuk mempertimbangkan dan memprioritaskan iman yang sosiologis. Iman yang sosiologis merupakan praksis dari spiritualitas keagamaan pada masa pandemi.

Dengan iman yang demikian, setiap orang dan setiap kelompok dari berbagai agama merangkai kesaling-terhubungan. Dalam rangkaian itu, setiap orang beriman dan setiap agama memprioritaskan kepentingan bersama (Gesselscaft) sekaligus mengutamakan kebersamaan yang akrab (Gemeinschaft). Tujuan akhirnya adalah bahu-membahu memutus mata rantai penularan Covid-19 dan menangani dampak buruk dari virus pandemik itu.

Dalam bingkai iman yang sosiologis tersebut, ritus suci dan hari raya keagamaan yang dijalankan oleh orang-orang beriman dari berbagai agama adalah ungkapan perayaan spiritualitas sosial keagamaan. Merayakan ritual keagamaan dan hari raya keagamaan berarti menyuntikkan makna sosial dari ritus-ritus suci keagamaan ke dalam masyarakat pada masa pandemi. Dengan demikian, kepentingan bersama dan kebersamaan yang akrab tetap berlangsung seraya menjalankan social and phisical distancing. Kepentingan bersama dan kebersamaan terwujud dalam gerakan dan praktik solidaritas lintas agama, seperti yang tampak dalam narasi aktivis media sosial KGL dan yang dilakukan oleh berbagai kelomok relawan dalam masyarakat pada hari-hari belakangan ini. Itulah spiritualitas sosial yang bersumber dari ritus keagamaan, baik ritus keagamaan harian, mingguan, maupun hari saya.

Akan tetapi perayaan dan praksis spiritualitas keagamaan tersebut merupakan hal yang harus diusahakan sungguh-sungguh. Mengapa? Karena hal itu dijalankan dalam masyarakat yang pada dasarnya adalah heterogen. Agama-agama (yang berbeda-beda) adalah salah satu unsur pembentuk masyarakat sebagai tatanan sosial. Kerberadaan agama-agama dalam masyarakat mencerminkan heterogenitas masyarakat. Bahkan dalam satu agama pun terkandung heterogenitas, yang tampak melalui berbagai aliran atau mazhab dan selera beribadah yang berbeda-beda di kalangan penganutnya. Heterogenitas dalam agama berpengaruh juga terhadap dinamika masyarakat yang pada dasarnya sudah heterogen.

Masyarakat yang heterogen, memungkinkan sekurang-kurangnya dua peristiwa yang akan terjadi. Peristiwa kerja sama dan peristiwa konflik. Peristiwa kerja sama menegaskan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial atau manusia sebagai masyarakat. Setiap orang terdorong dan mampu saling bekerja sama dan membentuk sistem sosial. Sistem sosial tersebut diikat dengan nilai dan aturan hukum. Orang-orang yang berada dalam sistem sosial patuh terhadap nilai dan aturan hukum itu. Kepatuhan itu mengindikasikan kesadaran dan pemosisian diri setiap orang sebagai bagian integral dan unsur konstitutif dari sistem sosial (masyarakat).

Tetapi bersamaan dengan dorongan dan kemampuan bekerja sama, orang-orang yang dalam sistem sosial itu juga memiliki kecenderungan untuk berdiri sendiri dan tidak mau bekerja sama. Dalam situasi ekstrim, ketidakmauan bekerja sama dalam sebuah sistem sosial, melahirkan konflik dan perpecahan.

Tampak jelas ada ketegangan antara kebersamaan di satu sisi dan kediri-sendirian (mengelakkan diri dari kebersamaan) di sisi lain. Pada masa pandemi ini, kita bisa membaca ketegangan antara dua hal tersebut dalam pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Di satu sisi ada kesadaran dan tindakan untuk berjarak secara fisik dan sosial, tetapi bersamaan dengan itu ada keengganan untuk berjarak. Di satu sisi ada dorongan untuk taat pada nilai dan hukum (aturan) yang terkandung dalam PSBB, bersamaan dengan itu ada dorongan untuk tidak taat pada nilai dan hukum yang ada di dalam PSBB.

Dalam ketegangan itulah, orang-orang beriman mengungkapkan/mewujudkan dimensi sosiologis dari imannya. Pertanyaan kecil kemudian adalah mungkinkah iman yang sosiologis dapa diwujudkan dalam masyarakat yang heterogen dan mengandung ketegangan? Pertanyaan ini menegaskan kembali pernyataan sebelumnya bahwa perwujudan iman yang sosiologis harus diusahakan sungguh-sungguh. Lebih-lebih bagi orang beriman yang berpendirian bahwa aktualisasi iman yang sosiologis adalah salah satu cara beriman yang otentik. Kalau tidak diusahakan sungguh-sungguh, iman yang sosiologis hanyalah slogan kosong.

***

Apa itu iman yang sosiologis? Ignas Kleden dalam tulisannya berjudul “Iman, Politik dan Praksis” mendekati iman sebagai isi agama dan menempatkannya dalam konteks hidup bermasyarakat. Bila pemikir sosial seperti Peter L. Berger dan Thomas Luckmann meneropong agama secara sosiologis dan menghasilkan sosiologi agama (agama sebagai fakta sosial), maka Ignas Kleden masuk ke dalam isi agama-agama, yakni iman. Ignas Kleden mengupas secara sosiologis isi agama itu. Secara keilmuan disebut sosiologi iman.

Sosiologi iman memotret dan menganalisis aktualisasi iman orang beragama dalam masyarakat. Sosiologi iman berpendirian bahwa iman akan Tuhan bukan semata-mata perkara ritus-ritus sakral di ruang-ruang ibadah atau melalui live streaming media komunikasi digital pada masa pandemi ini. Iman akan Tuhan mewujud dalam ritus sakral sekaligus dalam laku hidup aktif dalam masyarakat. Ada hubungan kesalingan antara altar dan masyarakat. Orang-orang beriman dengan semangat imannya tidak mempraktikkan vuga mundi (lari dari dunia karena dunia ini sarang dosa) tetapi terlibat dalam dunia dan mengembangkan hidup bersama dalam masyarakat.

Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana mewujudkan iman yang bersifat partikular (khusus) tersebut dalam masyarakat yang heterogen dengan segala ketegangan yang terkandung di dalamnya? Tidakkah akan terjadi bentrok sosial apabila setiap orang beriman dari agama yang berbeda-beda mempraktikkan imannya dalam masyarakat?

Dalam konteks pandemi ini, ada agama melalui pemimpin agamanya menekankan secara ketat kepada penganutnya agar mengikuti kebijakan PSBB. Tetapi di sisi lain, ada agama melalui pemimpinnya menegaskan bahwa berkumpul dan beribah seperti biasa di rumah ibadah karena mati dan hidup adalah kehendak Tuhan. Bukankah hal itu akan menimbulkan ketegangan dalam masyarakat?

***

Terhadap pertanyaan-pertanyaan kontekstual tersebut, Ignas Kleden mengusulkan tiga bentuk konkrit perwujudan iman yang sosiologis. Pertama, menjaga keseimbangan diferensiasi dan integrasi. Keseimbangan sangat perlu karena diferensiasi dapat mengakibatkan disintegrasi. Keseimbangan diwujudkan dengan menghidupkan operative networking, yakni menghubungkan inisiatif dalam satu bidang dengan kegiatan dalam bidang lainnya.

Untuk itu diperlukan strategic entry point yang mempertemukan secara strategis semua kegiatan dalam masing-masing organisasi (para pihak) pada satu titik yang sama. Terhadap kemungkinan hilangnya mata rantai (missing link) antar-pihak diperlukan pula program konsolidasi agar tidak terputus mata rantai kerja sama.

Dalam konteks tanggungjawab dan partisipasi orang beriman terhadap pemberantasan dan pemutusan penularan Covid-19, agama-agama harus membangun dan mengembangkan operative networking dan strategic entry point. Pada titik ini, agama-agama perlu melibatkan ilmu manajemen untuk mengembangkan manajemen hidup sosial dan manajemen ketegangan sosial. Tujuannya agar masyarakat sebagai tatanan sosial tetap terawat dan hidup serta mencegah supaya ketegangan yang ada di dalam masyarakat tidak menjadi konflik sosial terbuka.

Kedua, menghidupkan praksis dalam berbagai kegiatan. Praksis adalah praktik menerjemahkan dan mewujudkan suatu teori atau doktrin atau keyakinan. Praktik yang terjadi adalah perwujudan praksis. Dengan demikian, praksis memungkinkan perubahan dan pembaruan. Pada titik inilah, usaha bersama orang beriman lintas agama memutus rantai penularan Covid-19 adalah wujud konkrit pembelaan terhadap kehidupan dan merawat masyarakat sebagai tatanan sosial, termasuk mempersiapkan diri memasuki normalitas baru pascapandemi.

Ketiga, menjadikan masyarakat sebagai domus nostra (rumah kita bersama). Masyarakat, meskipun mengandung ketegangan, tetap merupakan “rumah bersama”. Dalam masyarakat sebagai domus nostra, setiap orang dan setiap kelompok dari berbagai latar belakang agama dan suku saling terhubung (Gesselscaft). Kesaling-terhubungan itu tidak semata-mata karena kepentingan yang sama tetapi juga karena kebersamaan yang akrab (Gemeinschaft). Pada titik inilah, korban Covid-19 yang beriman melalui agama tertentu menjadi tanggungjawab orang beriman agama yang lain untuk membantu kesembuhannya.

***

Kembali ke cerita pada awal tulisan ini. Apakah aktivis media sosial KGL itu cuma mendengarkan keluhan dan tangisan buruh harian pemasang plafon itu? Segera setelah mendengar cerita buruh itu, aktivis itu mengajak beberapa orang untuk menolong buruh tersebut. Bersamaan dengan itu, ia menghubungi jaringan Gusdurian agar segera merespon masalah buruh pemasang plafon tersebut.

Lalu, apakah aktivis itu tidak ikut ritual sakral via live streaming? Tampaknya ia sangat terpikat pada “Khotbah di Bukit” khususnya Injil Matius 6: 6. Keterpikatan itu berpadu dengan semangat dan kegembiraannya menjalankan aspek “LUCU” dari media sosial “Katolik Garis Lucu”: Love-Unity-Compassion-Universality sebagai aktualisasi Injil Matius 25: 35-40. Itulah cara beriman secara sosiologis pada masa pandemi Covid-19.

Editor Katolikana.com, esais, dan dosen di Universitas Pelita Harapan, Tangerang

Leave A Reply

Your email address will not be published.