Musim ini melahirkan banyak kota mati
Meskipun Kota-kota itu hatinya sunyi
matinya kota-kota itu lah panjaga sebagian hidup kita
Cuma sayang sebagian dari kita mesti bertahan setengah mati dan dipaksa lebih takut pada lapar
Perut terpilin menahan nyeri
Gaung lapar anak istri jauh di seberang tak ada pelipurnya
Di kota-kota mati ini
Orang-orang kota ini semakin takut pada sunyi
Ketagihan hingar-bingar dalam keterasingan itulah pandemi yang mendekam sejak lama di alam bawah sadar mereka, kita, aku, kamu
mendekam di kamar-kamar gelap kota ini
Jauh tersembunyi di sudut-sudut kota ini
sejak lama sebelum kota ini mati
Kita kais pagi makan pagi
Kita yang tak berumah dan mengungsi
Kita buruh harian dari tanah seberang yang berziarah
Kita yang menggulirkan roda-roda kota ini
Kita jugalah penghias kota ini
Meski kita jauh dari lampu temaram kota ini
Di flat-flat yang kita sewa berkerumun
Satu kamar satu keluarga berjejalan sebab itu sajalah yang mampu kita sangga
di barak-barak kayu lapis bekas
di dalam kontainer sesak beraroma keringat
tersudut di bawah bangunan-bangunan tinggi setengah jadi
kita biasa rebahkan letih tanpa banyak keluh kesah
sampai esok kita pungut pagi dan mengais lagi
Kalau musim sedang baik hati kita sejenak lupa takut kita pada razia imigrasi dan resah diangkut truk warna biru tua
Akhir-akhir ini
Orang-orang yang mengaku pemilik kota ini sedang uring-uringan dan cemburu membabi buta
Kita yang biasanya cuma di tepi-tepi kota ini
Tiba-tiba kitalah intisari banyak petisi caci-maki yang menghantar kita ke pusaran kota ini,
Ultimatumnya: Sila angkat kaki,
Bersihkan kota ini dari dosa-dosa,
Selamat jalan, gelombang laut, tofan, perahu retak akan mengantarmu entah ke mana,
Ini tanah kami cukup untuk kami saja
Di tepian kota ini
Tadi pagi kita dikejutkan sekali lagi
Gaung panggilan menyusup rumah-rumah tumpangan kita
bukan panggilan azan subuh belaka
Identitas kita disiasat pula
kita dibariskan di tepi jalan
bukan untuk perayaan atau ramah tamah halal bihalal
Bayi-bayi, Kanak-kanak, belia, tua renta pun serta
Tangan distempel warna biru
Kalau “D”, DOCUMENTED digoreskan ditangan kita, sedikit sajalah dosa kita
selain itu, tiada ampun, masuk sangkarlah kita
Berita cepat sekali melata
Secepat kilat kita hiasi koran kota pagi ini: kita digempur imigrasi katanya, seolah olah kita ini lawan dalam perang melawan pandemi ini.
Di kota mati ini
Meskipun getir kesumat melumat
Secuil saja lara kita ada obatnya
Ada cinta yang diam-diam dipungut dari padang
dikumpulkan di sudut kota, meskipun gaungnya sering kalah nyaring oleh curiga pada yang asing: xenophobia
Dengan beras, telur, minyak, garam, gula dan budi dharma lapar dan cemas kita dilipurnya
Mungkin cukup sampai esok lusa sekurang-kurangnya.
Kajang, 11.05.2020
Warga Indonesia, bekerja sebagai konselor bersama Tenaganita, sebuah organisasi masyarakat sipil di Malaysia yang bekerja untuk perlindungan hak-hak pekerja migran dan pengungsi. Puisi-puisinya bisa dibaca pada https://allpoetry.com/Fajar_Santoadi