Orang-Orang Kecil

2 538

Katolikana.com – Pernah ada seorang penggali makam di Arlington National Cemetery, Negara Bagian Virginia, Amerika Serikat. Ia tinggal bersama Hettie, sang istri, di sebuah apartemen tiga kamar di Corcoran Street. Nama penggali makam itu adalah Clifton Pollard.

Sejak terjaga dari tidurnya pada Minggu, 25 November 1963, Pollard sudah yakin ia bakal bekerja pada hari Minggu pagi itu. Saat sedang menyantap sarapan ia menerima panggilan telepon seseorang yang sudah ia duga: Mazo Kawalchik. Sang mandor memintanya untuk datang dan bekerja pukul 11.

“Polly, bisakah Anda tiba di sini pukul 11 pagi ini?” Kawalchik bertanya. “Saya rasa Anda tahu untuk apa itu.” Pollard lantas menutup telepon, menuntaskan sarapan, dan beranjak ke pemakaman.

Pollard merasa mendapat kehormatan karena ditugaskan untuk menyiapkan sebuah makam. Kenapa merasa mendapat kehormatan? Bukankah menggali makam itu memang jadi pekerjaannya sehari-hari? Ternyata, perasaan itu timbul karena Pollard akan menyiapkan liang lahad untuk almarhum yang ia sebut sebagai “orang baik”.

“Orang baik” yang Polly maksud adalah John Fitzgerald Kennedy, presiden ke-35 Amerika Serikat, yang tewas dalam penembakan pada 22 Noveber 1963 di Dallas, Texas.

Saat prosesi pemakaman berlangsung Pollard tak bisa mendekat ke arah makam Kennedy. Area itu tentu dijaga super ketat. Dia berada di belakang bukit, menggali kuburan demi upah $ 3,01 per jam. Dia tidak tahu untuk siapa saja kuburan itu dibuat.

Kisah Pollard berjudul It’s an Honor itu ditulis dengan singkat, sederhana sekaligus amat menarik oleh Jimmy Breslin dalam sebuah kolom di New York Herald Tribune 22 November 1963. Pada 5 April 1992, Pollard meninggal dalam usia 70 tahun setelah beberapa kali terserang strok.

***

Sejarawan Sartono Kartodirdjo (1921-2007) menulis disertasi mengenai pemberontakan petani di Banten, saat menempuh studi doktoral di Universitas Amsterdam. Ia diganjar dengan gelar doktor berpredikat cum laude pada tahun 1966.

Disertasi yang ditulisnya lantas dibukukan dan diberi judul The Peasant’s Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia.

Menurut sejarawan Kuntowijoyo, Sartono membuktikan peran aktif bumiputra dalam sejarah Hindia Belanda. Bumiputra ini pun bukan hanya para pembesar, tapi rakyat biasa—petani, guru ngaji, dan santri tarekat.

Dalam edisi terjemahan disertasi ini yang diterbitkan Komunitas Bambu (2015: 4), dengan gamblang Sartono menerakan, “tidak benar bahwa mereka bersikap masa bodoh, selalu penurut, dan pasrah kepada nasib. Huru-hara dan pemberontakan petani terjadi berulang-ulang dan menjadi endemis sosial dalam sejarah Jawa abad ke-19. Hal itu merupakan bukti tentang peranan historis yang dimainkan oleh kelompok petani.

***

Begitulah. Ada banyak hal, kisah, dan orang kecil di balik peristiwa-peristiwa besar. Orang-orang kecil itu kerap tenggelam di balik gegap gempita seremoni. Mereka nyaris selalu luput dari sorotan kamera para jurnalis.

Setiap kali proyek-proyek infrastruktur diresmikan, misalnya, para pejabatlah yang dielu-elukan. Para pejabatlah yang mendapatkan sanjungan. Sanjungan yang biasa dan bisa dikonversi menjadi investasi politik dalam kompetisi elektoral level regional maupun nasional.

Dalam banyak momen keagamaan besar, kita pun jarang memperhatikan orang-orang di balik layar yang memungkinkan semua berjalan lancar. Kalau di Gereja Katolik sebut saja para koster, tukang parkir, petugas kebersihan, satpam, dan sebagainya.

Tapi, selain upah, apa yang didapatkan para buruh yang berpeluh? Siapa yang sering kita sebut setiap kali kita bicara soal pembangunan Jalan Anyer-Panarukan? Ya, tentu Herman Willem Daendels (1762-1818) yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda antara 1808-1811.

Pembangunan jalan yang membentang dari ujung barat sampai ujung timur Jawa itu adalah salah satu genosida dalam sejarah kolonialisme di Indonesia. “Menurut sumber Inggris hanya beberapa tahun setelah kejadian Jalan Raya Pos memakan korban 12.000 orang,” tulis Pram dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels sebagaimana dikutip Historia.

Karena itu, sudah layak dan sepantasnya kita tak lupa, bahwa sejarah umat manusia memang selalu hadir karena air mata, peluh, darah, bahkan nyawa dari orang-orang kecil itu. Para petani di Banten tahun 1888, para buruh Daendels (1808-1809), Clifton Pollard (1963), para petugas kesehatan yang merawat pasien covid-19 (2020) itu hanya sebagian di antaranya.

Penginjil Matius sendiri pernah menuliskan bahwa “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”.

Kita selayaknya bisa (lebih) memperhatikan orang-orang kecil di sekitar kita. Mereka hadir dalam berbagai kesempatan dan ruang: asisten rumah tangga, tukang ojek, tukang sampah, pedagang keliling, tukang parkir, penyedia jasa kebersihan daring, dan sebagainya. Kerja-kerja mereka kerap tak diingat ketika situasi normal. Tapi, coba Anda ingat dan bayangkan lagi, begitu banyak keluarga yang keteteran setelah ditinggal asisten rumah tangga yang pulang kampung. Selama diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini, banyak warga yang kewalahan membersihkan rumah karena tak berani mengundang penyedia jasa kebersihan daring.

Kepada orang-orang kecil itulah kita semuanya berutang. Utang yang tampaknya akan terus menumpuk, kalau kita terus-menerus mengabaikan air mata, peluh, darah dan nyawa mereka.

Penerjemah dan penulis, tinggal di Jakarta

2 Comments
  1. Maggie says

    Good job bro 👌💕kau memang msh teman yg kukenal baik

  2. Setiowati says

    👍👍 pengingat yg baik

Leave A Reply

Your email address will not be published.