Apa Mau Dikata, Saya ‘Takancing’ di Kampung Tabana

Cerita seorang pastor 'takancing' - terkunci di kampung Tabana, Flores, saat pandemi Covid-19.

0 639

Katolikana.com – Pandemi Covid 19 belum juga selesai seperti yang kita semua harapkan. Selama kurang lebih tiga bulan telah berlalu, rasanya hidup dan rutinitas kita benar-benar terhimpit dan diatur oleh situasi pandemi yang merebak dan mencekam.

Kita seakan kehabisan cara, bertarung nyawa, dan kehabisan air mata karena ribuan nyawa melayang. Situasi demikian, membuat hidup dan rutinitas kita menjadi kocar-kacir, meskipun juga mendatangkan banyak hal baru dan menarik.

Bagaimana tidak? Saya mengalami sendiri kocar-kacirnya rutinitas selama 3 bulan terakhir sejak Maret hingga Mei ini. Sejak pulang rapat Dewan Pimpinan Unio Indonesia (UNINDO) pada 4 Maret 2020 di Jakarta, saya singgah sementara di kampung kelahiran, kampung Tabana, untuk menjenguk mama. Kampung Tabana terletak di Larantuka, Flores Timur. Dan sejak sampai di kampung tanggal 5 Maret hingga akhir Mei ini, saya masih ter-lockdown di kampung yang kecil ini.

 

Menangkap ikan di Pantai Waibelan, Laut Sawu di desa Waiula, Flores Timur. Foto: Domi Hodo, Pr

 

Tinggal di kampung dengan rentang waktu yang kian lama, telah merubah banyak hal, teristimewa rutinitas hidup saya. Sebagai Pastor Paroki di Paroki St. Yusuf Enarotali Keuskupan Timika yang seharian sibuk dengan pelayanan administrasi paroki serta ibadah dan sakramen-sakramen, kini harus mengubah rutinitas menjadi Pastor Kampung di dusun sendiri.

Apa yang saya buat setiap hari di kampung Tabana? Tentu telah mengambil bagian dalam pelayanan Perayaan Pekan Suci dan Hari Raya Paskah tahun ini di Paroki asalku, Paroki Kristus Raja Semesta Alam Watobuku, Keuskupan Larantuka. Tapi selanjutnya? Ya… hidup sebagai orang kampung dengan rupa-rupa rutinitas sebagai petani dan nelayan. Ini sungguh asyik.

Sebagai petani, beberapa kali saya diundang bergabung dengan keluarga dan sahabat kenalan untuk panen padi di ladang-ladang mereka yang cukup jauh dari kampung. Dan sebagai nelayan, saya lebih sering bahkan tidak pernah ketinggalan setiap minggu, beberapa hari pasti ke pantai untuk menjala ikan di pesisir pantai, bahkan melaut sampai ke laut lepas dengan perahu seadanya seperti biduk yang bersemang. Perahu pun dihajar ombak ketika hendak menepi, hingga kehilangan barang-barang bawaan di atas perahu dan harus menyelam menghindari ombak yang mengganas dan berenang beberapa meter dari pantai.

 

 

Panen padi di kampung Tabana saat pandemi. Foto: Domi Hodo, Pr

 

Rutinitas demikian, telah mendatangkan pengalaman yang amat indah. Tidak hanya berlama-lama di kampung sendiri dan merasakan semua kegiatan sebagaimana dulu kala sebagai kesempatan bernostalgia, tetapi juga banyak hal menarik yang tentu bisa direfleksikan secara antropologis dan teologis.

 

Pater Dominikus Hodo, Pr, merayakan ulang tahun di kampung, tampak ia memberikan kue kepada mamanya. Foto: Domi Hodo, Pr

 

Di balik semuanya itu, tentu ada rindu untuk segera kembali ke tempat tugas saya di Keuskupan Timika. Kerinduan ini, tentu dengan harapan semoga masa pandemi Covid 19 ini cepat berlalu. Lockdown segera berakhir, sehingga dapat kembali ke rutinitas sebagai Pastor Paroki.

 *) Kisah ini bagian Project Katolikana, “BERCERITALAH SAAT PANDEMI”  yang berlansung selama beberapa bulan ke depan. Project Berceritalah ini didedikasikan untuk menggalang kekuatan dan harapan bersama saat pandemi Covid-19.

Editor: Basilius 

Imam Diosesan Keuskupan Timika, Papua

Leave A Reply

Your email address will not be published.