Katolikana.com — Baru-baru ini publik dikejutkan dengan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh SPM terhadap sekurangnya 21 orang anak misdinar atau putera altar di Paroki Herkulanus Depok, Jawa Barat dalam kurun waktu 20 tahun. Lantas apa peran yang bisa kita mainkan sebagai orang Katolik menyikapi kasus ini?
BACA! Antara Depok dan Boston (Bag-1): Ini Hanya Gunung Es
Pertama, mengusahakan agar kasus Depok menjadi perhatian publik. Kita bisa membincangkannya dalam lingkup-lingkup terkecil Gereja Katolik agar umat Katolik semakin waspada terhadap ancaman dari para predator seks yang berkeliaran di tempat-tempat aman dan suci. Kita patut waspada, bahwa apa yang terungkap ini hanyalah puncak dari sebuah gunung es.
Setelah kasus Depok mencuat ke permukaan, kita bisa dengan mudahnya meluapkan amarah atau setidaknya melihat ungkapan kemarahan dari warganet maupun orang-orang dekat kita.
Banyak orang mengutuk terduga pelaku di Depok yang hanya seorang itu. Tapi, bagaimana jika suatu hari kelak terungkap sebuah kasus yang pelakunya adalah kelompok lain dalam Gereja Katolik, yaitu klerus?
Kita yang sekarang mengutuk pelaku di Depok yang adalah awam itu, juga harus mengecam jika pelakunya adalah klerus. Kita pun layak berharap agar media massa bisa meliput secara adil, jika ada klerus yang terendus melakukan kejahatan, dan tidak lantas membedakan perlakuan terhadapnya.
Kita juga perlu mendorong agar para penyintas, tak hanya di Paroki Herkulanus melainkan juga di paroki-paroki lain, sekolah dan komunitas-komunitas gerejani lain, untuk mau angkat suara.
Ini tentu bukan perkara mudah, karena melibatkan aspek psikologi, keamanan diri, budaya, dan sebagainya. Tapi, jika semakin banyak penyintas yang angkat suara, lonceng tanda bahaya kekerasan seksual akan terus bergema dan terus menjadi peringatan bagi para petinggi Gereja Katolik di Indonesia.
Kedua, mendorong pihak hierarki Gereja Katolik di Indonesia agar berpikir dan bertindak progresif, dengan membuat protokol perlindungan terhadap umat dan pencegahan kejahatan seks di lingkungan Gereja.
Bukan Dosa, Tapi Kejahatan
Komitmen Paus Fransiskus terhadap kasus kekerasan seksual di lingkungan Gereja Katolik sangat jelas dan tegas.
Melalui motu proprio berjudul “Vos Estis Lux Mundi” (kamu adalah terang dunia), Paus Fransiskus mewajibkan setiap Keuskupan di dunia untuk mendirikan pada Juni 2020, “satu atau lebih sistem yang terbuka, stabil dan mudah diakses untuk penyerahan laporan” tentang pelecehan seksual yang dilakukan para klerus dan religius, penggunaan pornografi anak, dan tindakan penyembunyian pelecehan itu. Namun, hingga Juni 2020 berlalu, Gereja Katolik di Indonesia belum membuat sistem semacam itu.
Sebagaimana dikutip The Jakarta Post, Vikaris Yudisial Keuskupan Bogor Pastor Yohanes Driyanto mengatakan bahwa membuat sistem seperti itu tidak mudah karena tidak banyak imam yang menguasai hukum kanonik. Meski demikian dirinya mengaku siap untuk terlibat. “Saya siap menjadi bagian dari kelompok yang akan membuat protokol,” katanya.
Saya teringat pada adegan penutup dari film Spotlight. Segera setelah liputan pertama mereka pada 6 Januari 2002 –berjudul Church allowed abuse by priest for years – mengisi lembaran pertama Boston Globe, telepon redaksi berdering terus-menerus. Keberanian itu ternyata menular. Setelah membaca edisi itu, satu persatu korban angkat suara. Satu demi satu kejahatan seks itu terungkap.
Antara Depok dan Boston memang terentang jarak yang amat jauh. Tapi, terungkapnya kasus di Depok 18 tahun setelah kejadian di Boston meledak di media, membuat keduanya terasa dekat. Artinya, ada kemiripan kejahatan terhadap anak-anak belia yang dipercayakan oleh orangtua mereka untuk menjadi misdinar di gereja.
Sebagaimana ditampilkan dalam bagian penutup film Spotlight, sepanjang tahun 2002, Boston Globe menulis hampir 600 artikel terkait skandal tersebut.
Sebanyak 249 pastor dan biarawan di Keuskupan Boston telah didakwa atas tindakan pencabulan. Jumlah korban selamat di Boston berkisar 1000 orang lebih. Kini, kita belum tahu di mana dan bagaimana kasus Depok ini akan berujung.
Boston Globe pada edisi 24 Januari 2002 mengutip surat yang ditulis oleh Margareth Gallant untuk Kardinal Bernard F. Law selaku Uskup Keuskupan Agung Boston.
Dalam suratnya, Margareth bercerita soal Pastor John J. Geoghan – salah satu pelaku pedofilia– yang kembali terlihat bersama dengan sejumlah anak laki-laki, meski sejumlah korban telah berjatuhan.
Margareth mendesak Uskup untuk menindak Geoghan. Kata Margareth, “Kami tidak menuduh imam ini (Geoghan) berbuat dosa, karena kita semua adalah pendosa. Kita di sini bicara soal kejahatan.”
Ya, memang. Siapapun pelakunya, awam atau klerus, di sini kita tidak bicara soal dosa. Di sini kita bicara soal kejahatan.
Penerjemah dan penulis, tinggal di Jakarta