Terapkan Protokol: Kasus Herkulanus dan Bitauni Tak Terjadi Lagi

0 850

Katolikana.com — Saya sungguh prihatin dengan beberapa berita yang beredar beberapa waktu ini yang berhubungan dengan kasus yang terjadi di lingkungan Gereja Katolik. Khususnya kasus pelecehan seksual yang dilakukan pengurus gereja di Paroki Herkulanus, Depok, Keuskupan Bogor, dan peristiwa saudara Felix Nesi di Paroki Bitauni, NTT, Keuskupan Atambua, terkait dugaan kasus yang dilakukan salah seorang pastor di sana.

Kasus dan skandal tersebut mengingatkan saya pertemuan dan diskusi para imam Keuskupan Agung Palembang didampingi Tim Badan Kerjasama Bina Lanjut Imam Indonesia KWI (BKBLII KWI), pada 15-17 Okt 2019 di Palembang.

Saat itu ada 7 orang pastor Tim BKBLII yang mendampingi kami dengan latar belakang ilmu pendidikan yang berbeda, antara lain: bidang hukum gereja, hukum negara atau pengacara, psikologi, formasi, teologi spiritual & pastoral.

Tim BKBLII ini dibentuk & ditugaskan oleh KWI untuk melakukan sosialisasi dan pendampingan ke semua keuskupan di Indonesia tentang: “Pelayanan Profesional Gereja Katolik dan Penyalahgunaan Wewenang Jabatan: Bahan Acuan Pedoman Perlindungan Hak-hak Anak dan Orang Dewasa Rentan, Protokol serta Kurikulum Formasi Pelayanan Profesional dalam Lingkungan Gereja Katolik.”

Dalam pertemuan tersebut kami belajar tentang pencegahan, perlindungan & pendampingan terhadap hak anak dan orang dewasa rentan; baik itu dalam pelayanan di paroki, sekolah, asrama, dan semua karya kategorial Gereja. Hal ini sebagai langkah untuk mencegah, melindungi, mendampingi, dan memproses dari risiko ‘sexual abuse’ dan ‘power abuse’, baik itu terhadap penyintas atau korban maupun pelaku.

Untuk itu dihasilkan rekomendasi bagi (setiap) keuskupan untuk menyusun Protokol Pencegahan – Perlindungan – Pendampingan – Pemulihan terhadap hak anak dan orang dewasa rentan dari penyalahgunaan wewenang dan jabatan dalam lingkungan pelayanan Gereja Katolik, serta penyusunan Kurikulum Formasi Pelayanan yang Profesional dalam Lingkungan Gereja Katolik.

Proses belajar bersama ini sangat berhubungan dengan kasus skandal seksual yang sebelumnya melanda Gereja Katolik di berbagai negara, yang kemudian mendorong Paus Fransiskus menerbitkan motu proprio, “Vos estis Lux Mundi”, pada 7 Mei 2019.

Dokumen atas prakarsa Paus Fransiskus ini menetapkan prosedur baru untuk melaporkan penyalahgunaan jabatan dan kekerasan seksual di lingkungan Gereja Katolik sebagai bentuk sikap dan upaya gereja memerangi penyalahgunaan seksual.

Prosedur ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa para Uskup dan Pemimpin Tarekat bertanggung jawab atas tindakan mereka, termasuk kewajiban bagi para imam dan para religius untuk melaporkan penyalahgunaan jabatan dan skandal seksual di lingkungan Gereja Katolik. Setiap keuskupan harus memiliki sistem yang memungkinkan publik untuk mengirimkan laporan dengan mudah dan mewajibkan untuk menindaklanjutinya.

Melalui motu proprio “Vos estis lux mundi” Paus Fransiskus mengamanatkan untuk memerangi penyalahgunaan seksual yang dilakukan oleh para imam dan para religius, serta tindakan atau kelalaian para Uskup dan Pemimpin Tarekat yang dengan cara apa pun turut campur atau gagal menyelidiki penyalahgunaan tersebut.

Paus Fransiskus berulang kali mengingatkan bahwa “kejahatan penyalahgunaan seksual menyakiti hati Tuhan kita Yesus, menyebabkan kerusakan fisik, psikologis dan rohani bagi para korban dan melukai komunitas umat beriman,” dan Paus juga menyebutkan tanggung jawab khusus para Penerus Para Rasul untuk mencegah kejahatan- kejahatan ini jangan terjadi lagi.

Dalam dokumen tersebut diatur dan diuraikan:

  • Sistem untuk melapor di setiap keuskupan.
  • Kewajiban untuk melaporkan dan menindaklanjuti laporan.
  • Langkah jika berhadapan dengan penyembunyian kasus.
  • Perlindungan terhadap orang-orang yang rentan.
  • Menghormati dan bekerjasama dengan hukum negara.
  • Perlindungan bagi para korban dan mereka yang melaporkan penyalahgunaan.
  • Azas praduga tak bersalah.
  • Penyelidikan para uskup.
  • Keterlibatan umat awam.
  • Komitmen nyata untuk melaksanakannya.

Saya memandang bahwa salah satu unsur penting adalah langkah identifikasi, dari upaya penyembunyian kasus. Kita bisa mendefinisikannya sebagai “tindakan atau kelalaian yang dimaksud untuk mengganggu atau mengabaikan penyelidikan sipil atau penyelidikan kanonik, baik bersifat administratif atau pidana, terhadap seorang imam atau seorang religius menyangkut delik penyalahgunaan seksual.

Hal ini merujuk pada mereka yang memegang posisi tanggung jawab khusus di Gereja, dan yang, bukannya mengejar pelanggaran yang telah terjadi atau dilakukan seseorang, justru malah telah menyembunyikan mereka. Ia justru telah melindungi para tersangka pelaku, bukannya melindungi para korban.

Hal yang juga tidak kalah penting adalah keterlibatan dan kontribusi kaum awam yang berkompeten dalam melakukan penyelidikan secarai tegas dan memadai. Karena itu pimpinan Gereja terbuka untuk memanfaatkan bantuan orang-orang yang memenuhi syarat, sumber daya penting bagi Gereja, sesuai dengan kebutuhan kasus individual dan, khususnya, dengan mempertimbangkan kerja sama yang dapat ditawarkan oleh umat beriman awam.

Harapan dan keprihatinan tersebut akhirnya menuntut adanya komitmen nyata di dalam Gereja, dan dalam hidup bersama di masyarakat umum. Seperti ditulis oleh Paus Fransiskus pada awal Vos estis Lux Mundi, “Agar peristiwa seperti ini, dalam segala bentuknya, tidak pernah terjadi lagi, diperlukan pertobatan hati yang terus-menerus dan mendalam, dan dibuktikan dengan tindakan-tindakan nyata dan efektif yang melibatkan semua orang di Gereja.”

Kita semua tentu berharap agar peristiwa menyedihkan yang terjadi di Paroki Herkulanus dan di Paroki Bitauni, atau pun tempat-tempat lainnya tidak akan terjadi lagi, dengan keterlibatan kita semua.

BACA JUGA! RD Yohanes Driyanto: Kasus Kekerasan Seksual Bisa Dihukum 20 Tahun 

Imam Diosesan Keuskupan Agung Palembang

Leave A Reply

Your email address will not be published.