Disrupsi Digital, Apa yang Mesti Dilakukan Universitas Katolik?
Disrupsi digital berimbas pada lulusan perguruan tinggi Katolik
Katolikana.com – Perguruan tinggi kini menghadapi disrupsi digital. Dampaknya kepada para lulusannya yang harus beradaptasi dengan industri yang banyak ditopang oleh kekuatan teknologi. Lalu, apa yang harus dilakukan universitas Katolik untuk merespon disrupsi digital ini?
Rabu, 27 Januari 2021, Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) menggelar diskusi webinar “Dinamika Masyarakat Dunia, Gereja dan Pendidikan Tinggi di Era Pandemi”, menghadirkan narasumber Ketua APTIK Prof Kusbiantoro, Provinsial Serikat Jesus Dr. Benedictus Hari Juliawan, SJ dan dimoderatori oleh Prof. Yohanes Budi Widianarko. Diskusi ini dibuka oleh Romo Yulius Yasinto SVD dan Komisi Pendidikan KWI Gandhi Hartono SJ.
Dr. Benedictus Hari Juliawan, SJ atau dikenal dengan Romo Benny, memaparkan fenomena disrupsi digital ini secara sosiologis terutama terkait ketenagakerjaan. Dalam presentasinya, ia juga membahas beberapa persoalan seperti, ketimpangan, kerja digital, tribalisme politik, dan krisis ekologi.
Tentang ketenagakerjaan, ia mengungkapkan kasus yang populer mengenai model kemitraan. Saat dulu (sebelum disrupsi digital), berlaku predikat pemilik modal atau majikan dan buru. Hubungan tersebut diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Namun, menurut Romo Benny, ketika terjadi disrupsi digital, sudah tidak ada lagi predikat majikan-buruh. Saat ini bergeser hubungannya menjadi antara pemilik modal-mitra. “Misalnya lapak-lapak di gerai digital, anggaplah Tokopedia dan Go Jek,” kata Romo Benny.
Menurutnya, posisi ini sebenarnya cukup merugikan mitra, karena saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang model kemitraan tersebut, sehingga mitra tidak bisa menuntut hak khusus kepada pemilik modal, misalnya tunjangan hari tua dan asuransi kesehatan.
Disrupsi digital juga sedikit-banyak berimbas kepada pekerjaan yang akan di geluti oleh lulusan-lulusan perguruan tinggi saat ini. Ketika lulus, kata Romo Benny, mereka banyak bertautan dengan proyek berbasis digital. Proyek digital ini maksudnya adalah pekerjaan yang dilakukan dengan rentang waktu tertentu tanpa adanya kontrak yang mengikat. Misalnya, desainer grafis yang bekerja paruh waktu melalui jual-beli karya via daring.
Melihat beragam persoalan di era disrupsi digital ini, apa yang harus dilakukan perguruan tinggi Katolik? Romo Benny memandang bahwa perguruan tinggi Katolik tetap menjadi bagian dalam pembangunan peradaban, dengan melakukan pendekatan lintas ilmu, dan yang paling penting menjadi pembela bagi kebaikan bersama.
Profesor Kusbiantoro mengelaborasi lebih rinci lagi ke dalam perguruan tinggi Katolik. Ia menceritakan sejarah perguruan tinggi Katolik di Indonesia pada 37 tahun lalu, diawali oleh empat institusi pendidikan yang dikelola yayasan Katolik. Dua kata kunci yang penting agar bisa bertahan adalah beradaptasi dan bertransformasi.
Menurut Prof. Kusbiantoro, tantangan perguruan tinggi Katolik saat ini adalah tentang Work From Home atau Learn From Home. Situasi ini mempercepat disrupsi digital dan semakin sulit untuk diprediksi. Maka, solusi yang ditawarkan adalah bagaimana perguruan tinggi mampu beradaptasi dalam situasi ini. Ia menyebut, misalnya, perguruan tinggi membuka program studi (prodi) baru yang langsung berkaitan dengan kebutuhan di lapangan.
Membuka prodi baru memang tidak mudah, katanya, memerlukan proses yang cukup panjang. Namun, ia tetap optimis bila perguruan tinggi pandai menangkap peluang dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kristiani. Ia mengilustrasikan dengan peribahasa “cerdik seperti ular, tulus seperti merpati”.
Kusbiantoro memberikan contoh di Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Ketika UNPAR membuka Prodi Matematika yang mendaftar jumlahnya hanya belasan mahasiswa. Namun, saat UNPAR membuka prodi yang aktual, ada ratusan calon mahasiswa yang mendaftar.
Pada bagian akhir diskusi ini, Prof. Budi Widianarko yang menjadi moderator dalam diskusi ini, merangkum dengan singkat tentang tawaran solusi bagi perguruan tinggi Katolik. Ia menggunakan metafora pizza yang punya toping warna-warni. Ia menuturkan bahkan paprika hijau bertransformasi menjadi paprika kuning. “Saat ini perguruan tinggi Katolik tidak cukup hanya beradaptasi, harus bisa bertransformasi,” katanya.
Laporan Kontributor: Johanes Kristianto
Penulis: Basilius Triharyanto
Editor: Basilius Triharyanto

Jurnalis dan editor. Separuh perjalanan hidupnya menjadi penulis. Menghidupkan kata, menghidupkan kemanusiaan.