RD Tri Kusuma: Kisah Cintanya di SMA Van Lith Tak Melunturkan Panggilan Menjadi Imam  

0 701

Katolikana.com – RD Tri Kusuma, akrab disapa Romo Tri, lahir di Desa Kedunglegok, Purbalingga pada 10 November 1983. Ia anak nomor tiga dari empat bersaudara. Keluarganya adalah satu-satunya keluarga katolik di desa itu.

Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga penganut Katolik yang kuat. Ayahnya aktif sebagai seorang prodiakon di gereja. Sejak kecil, ia diajak ayahnya untuk ikut pelayanan di stasi-stasi, memimpin ibadat ataupun mengajar katekumen.

“Berangkat dari kebersamaan bersama Bapak saya, saya mulai mengenal kehidupan gereja,” ujar Romo Tri dalam program acara SIKAT Rebon, yang ditayangkan Youtube channel Paroki Katedral Purwokerto.

Satu-satunya yang Mengangkat Jari

Peristiwa yang paling diingat Romo Tri ketika kecil adalah saat malam Natal. Ia ikut  Perayaan Ekaristi, duduk di tengah diapit oleh Bapak dan Ibunya. Saat itu ia berimajinasi dan membayangkan dirinya berada di altar untuk memimpin misa, lalu mengangkat piala dan hosti.

Kisah lain, baru diperoleh ketika ia menjalani pendidikan calon imam sebagai frater. Ibunya menceritakan bahwa saat ia masih kecil, waktu misa pernah ada romo yang bertanya, “Siapa yang mau jadi Romo?” Ia merupakan satu-satunya anak yang mengangkat jari.

Kisah itu menjadi salah satu sumber keteguhan bagi Romo Tri, terutama saat ia menjadi Frater. Hal itu menegaskan kembali bahwa cita-citanya menjadi imam atau pastor telah tumbuh sejak masa kanak-kanak.

Namun, dalam proses meraih cita-cita itu dirasa tidak selalu mulus. Ketika ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, ia mendaftar ke seminari-sekolah bagi calon pastor. Namun, ia sedih dan kecewa. Ia dinyatakan tak lulus.

Jatuh Cinta, Namun Panggilan Tetap Membara

Berangkat dari kegagalan itu dan atas saran dari neneknya, ia mendaftar di SMA Van Lith, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Kali ini nasib baik menghampirinya.  Ia dinyatakan diterima masuk sekolah tersebut.

Selama tiga tahun ia belajar di sekolah yang heterogen, dari berbagai latar belakang budaya dan suku, juga asal daerah. Selain pengalaman belajar di Van Lith, cintanya bersemi. Ia jatuh cinta pada siswi di sekolahnya.

Saat jatuh cinta, hal yang lumrah di masa SMA ini, cita-cita awalnya menjadi seorang pastor kembali muncul. Saat di bangku kelas tiga, ia bersama teman-temannya mengikuti retret yang diadakan oleh sekolah. Dalam permenungan itu, keinginan menjadi pastor disegarkan kembali.

Pada proses itu, keinginannya memang pernah luntur. Namun dalam proses perjalanan waktu, pada saat ia kelas 3 SMA, keinginannya untuk menjadi seorang imam disegarkan kembali lewat kegiatan retret yang diikuti.

Jatuh cinta tak ia tolak, namun disyukuri dan menjadi bagian proses pematangan dirinya. Ia menetapkan dirinya untuk menentukan pilihan hidupnya.

Saat itu, bukan jam keluar dari asrama. Ia bersama 16 teman laki-laki meminta izin kepada bruder untuk pergi ke Seminari Mertoyudan di Magelang. Ternyata enam orang akhirnya mendaftar dan ikut tes di Seminari. Dari enam orang yang mendaftar, tiga orang diterima, termasuk dirinya.

Kerikil-Kerikil Panggilan

Dalam perjalanan panggilan menjadi pastor ia menghadapi kerikil-kerikil, dan jalan menuju cita-cita sebagai pastor tak mulus. Ia tetap bertekun meniti panggilan Tuhan. Dari tiga orang teman yang diterima di Seminari, hanya dirinya yang berhasil menjadi pastor.

Pada 12 Oktober 2011, Romo Tri ditahbiskan menjadi seorang Imam Diosesan untuk Keuskupan Purwokerto. Bagi Romo Tri, proses ke tahap tahbisan tidak mudah. Ia masih harus melewati kebimbangan.

Namun ada motivasi yang menyakinkan Romo Tri untuk mantap dan berkata ‘iya, aku ingin menjadi Romo’. Motivasi itu terletak pada ayahnya. Motivasinya semakin kuat tatkala menyaksikan pelayanan ayahnya sebagai prodiakon, yang memberikan pelayanan di berbagai tempat dengan sukacita, dan diterima baik oleh umat.

Dasar pelayanan itulah yang menjadi semangat Romo Tri memutuskan dengan yakin hidup dan berkarya menjadi imam.

“Saya ingin melayani semakin banyak orang dengan cara menjadi seorang imam. Dengan menjadi seorang imam, yang saya pikirkan adalah pelayanan yang bisa menjangkau siapa pun. Jangkauannya lebih luas, tidak hanya khusus 1, 2, 3 pribadi. Tetapi kehidupan pribadi seorang imam itu adalah kehidupan gereja, kehidupan untuk banyak orang. Itulah yang menggema dalam hati saya,” ujar Romo Tri.

Kini, 10 tahun sudah ia menjadi Imam Diosesan dan berkarya melayani gereja dan sesama. Ia sudah dua kali menjadi Pastor Kepala Paroki; di Paroki Gembala Baik, Limpung dan saat ini di Paroki Hati Kudus Yesus atau Tyas Dalem, Kroya.

Kontributor: Agatha Sita Rasihanuri

Editor: Basilius Triharyanto

Perempuan yang gemar membaca, jalan-jalan, minum kopi, dan menulis. Ia tinggal di Tangerang Selatan. Alumnus FIB Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Bisa disapa via Instagram @ig_agth.

Leave A Reply

Your email address will not be published.