Liku-Liku Proses Pendidikan di Seminari Mertoyudan

Di Angkatan 103, Saat Masuk 70 Orang, Saat Kelulusan Tinggal 20 Orang

0 1,958

Katolikana.com—Bagi mereka yang mendapat panggilan menjadi Imam atau Pastor, pasti pernah menjalani pendidikan di seminari. Seperti apa liku-likunya?

Majalah HIDUP Edisi 11 (12/3/2017) mencatat di Indonesia terdapat 37 Seminari Menengah. Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius yang terletak di Mertoyudan, Magelang adalah seminari menengah paling tua di Indonesia, berdiri pada 30 Mei 1912.

Calon siswa Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius atau Seminari Mertoyudan memiliki dua jalur: melalui jalur tes setelah lulus SMP dan jalur setelah lulus SMA.

Proses pendidikan di seminari dijalankan untuk memantapkan pilihan dan tujuan hidup siswa.

Yohanes Satrio Wibowo. Foto: Instagram

“Banyak sih pengalaman yang menarik di seminari, terutama dalam hal rohani,” ujar Yohanes Satrio Wibowo (23) lulusan Seminari Mertoyudan angkatan 103, ketika ditemui Katolikana, Jumat (7/5/2021)

Menurut Yohan, kegiatan di Seminari Mertoyudan tidak melulu kegiatan rohani. Ada kegiatan untuk mengembangkan potensi siswa yang lain seperti olahraga dan bermain alat musik.

“Setiap seminaris atau siswa di seminari Mertoyudan wajib menguasai satu alat musik. Untuk mereka yang menyukai musik dapat unjuk gigi dalam acara Malam Musik Seminari atau Mamuri yang diadakan tiap tahun,” ujar Yohan.

Romualdus Wahyu Aldi. Foto: Instagram

Kegiatan rohani di dalam Seminari Mertoyudan bertujuan agar siswa dapat memantapkan pilihan mereka.

Setiap hari dilakukan misa pagi, pembelajaran untuk berefleksi dilakukan oleh setiap siswa, ziarah ke tempat suci tiap tahunnya, dan masih banyak lagi.

Berbagai hal tersebut akan dinilai oleh guru dan akhirnya akan berpengaruh terhadap rekomendasi untuk melanjutkan ke Seminari Tinggi.

Namun tidak semua lulusan melanjutkan ke Seminari Tinggi. Ada berbagai masalah dan pemikiran yang harus diselesaikan dalam diri sendiri untuk memantapkan niat menjadi Pastor.

“Saya menjalani extra domus (exdom), jadi saya keluar dari asrama tapi tetap sekolah di seminari,” ujar Romualdus Wahyu Aldi (22) lulusan Seminari Mertoyudan Angkatan 103.

Dari sisi jumlah, siswa seminari yang lulus ujian masuk cukup banyak, namun tidak semua mampu menyelesaikan pendidikan.

Misalnya, di angkatan 103, saat masuk terdapat 70 siswa. Namun, saat kelulusan hanya sekitar 20 orang. Itu pun tidak semua melanjutkan ke Seminari Tinggi.

Sejumlah siswa dikeluarkan karena melakukan pelanggaran, misalnya karena menyontek, merokok di sekolah, membawa handphone, bolos saat jam pelajaran, keluar dari seminari secara diam-diam, atau beberapa kenakalan remaja lainnya.

 

Lihat postingan ini di Instagram

 

Sebuah kiriman dibagikan oleh yohan (@yohanessw)

Di dalam seminari, keteguhan siswa diuji untuk menjadi Pastor. Tidak semua orang berpendirian bisa bertahan di sana.

Berbagai keraguan, masalah keluarga, dan masalah lain bisa menggoyahkan motivasi awal mereka. Namun, yang patut diapresiasi adalah kekeluargaan dalam seminari.

Dengan jumlah siswa yang sedikit dan berbentuk asrama, semua siswa pasti saling mengenal dan memiliki ikatan batin tersendiri. Hal itu terjadi dalam semua angkatan dan antarangkatan.

“Rasanya beda, soalnya kan sebelumnya bareng terus: misa bareng, makan bareng, tidur juga bareng. Jadi pas saya disuruh ngekos, suasananya sulit bagi saya,” ujar Wahyu.

Pada akhirnya setelah semua liku-liku yang dihadapi siswa seminari, yang bertahan adalah mereka yang kuat mempertahankan hati dan mental agar bisa menjadi kaki tangan Tuhan.

“Menjadi Imam itu niat, minimal delapan tahun setelah lulus dari seminari menengah,pungkas Yohan.

Kontributor: Rustiningsih Dian, Ignasia Dyah, Jack Silaban (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.