Anak Muda Katolik Penggerak GUSDURian: “Gue Beda, tapi Gue Dianggep di Sini”

Anak muda Katolik bisa enjoy dan bikin perubahan di komunitas penggerak Gusdurian.

0 2,065

Ini adalah cerita dari tiga anak muda Katolik yang terpanggil menjadi penggerak GUSDURian Jakarta. Ada yang mulanya bergabung untuk mencari teman baru di kala pandemi. Ada pula yang dulunya bergabung karena terlanjur gandrung pada sang pujaan hati. Satu hal yang menyatukan mereka untuk masih bertahan sebagai penggerak GUSDURian Jakarta, yakni sosok Gus Dur yang humanis, inklusif, dan mau berdiri di atas semua golongan.

Katolikana.com, Surabaya — Paulus Bagus Sugiyono bergabung dengan GUSDURian Jakarta melalui Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) tahun 2021. Saat itu, pria yang akrab disapa Bagus ini, mengaku tidak ada orang yang secara khusus mengajaknya ikut KPG. Ia sendiri yang berinisiatif untuk mengikuti KPG dan bergabung dengan GUSDURian Jakarta demi mencari teman ketika pandemi melanda.

“Dulu gabung 2021, pas pandemi. Nggak ada yang ngajakin, emang pengen ikut aja. Nyari teman-teman baru dan komunitas baru,” ujar umat Paroki Santa Theresia, Menteng, Jakarta ini.

Bagus merasa GUSDURian adalah tempat yang tepat baginya karena kulturnya yang begitu inklusif. Ia merasa nyaman karena dengan kultur yang demikian, ia merasa diterima dengan baik di GUSDURian.

“(GUSDURian) inklusif banget. Enjoy buat gabung ya karena orang-orangnya inklusif. Nggak pertama-tama ngeliat perbedaan ini-itu, tapi apa yang menyatukan, yaitu semangat Gus Dur,” tuturnya lugas.

Paulus Bagus Sugiyono bergabung dengan GUSDURian Jakarta melalui Kelas Pemikiran Gus Dur. Foto: Yudha/katolikana.com

 

Secara terus terang ia mengatakan mendapatkan dampak positif dengan bergabung di GUSDURian Jakarta. Tak hanya teman baru, beragam agenda kegiatan dan diskusi di GUSDURian ia anggap menyimpan keseruan tersendiri.

Pun demikian, ia juga menyesalkan sebab terkadang rutinitas pribadinya harus berbenturan dengan agenda kegiatan GUSDURian. “Kendalanya sih lebih di diri sendiri. Kadang jadwal bentrok. Tapi kalau pas bisa, sempetin dateng karena itu (mengikuti agenda GUSDURian) berharga banget sih,” sebut Bagus.

 

Enjoy Berbaur dalam Keberagaman di Komunitas Gusdurian

Alasan hampir serupa dikemukakan oleh Maria Yosephin Satyawati Purwaningtyas. Umat Paroki Aloysius Gonzaga, Cijantung, Jakarta ini bergabung menjadi penggerak GUSDURian Jakarta di tahun yang sama dan karena alasan yang mirip dengan Bagus. Ia merasa di masa pandemi dirinya butuh bertemu orang baru di komunitas yang baru.

Wanita yang biasa disapa Tya ini lantas memutuskan untuk mencoba mengenal orang-orang dengan semangat Gus Dur. Perbedaan identitas dengan rekan-rekan penggerak lainnya tak dianggapnya sebagai penghalang untuk bisa berbaur dan menjalin pertemanan di GUSDURian Jakarta.

Gue terbiasa ya jadi manusia nusantara aja. Gue enjoy karena ya Gus Dur mewakili semuanya, segala golongan, apapun latar belakang lo,” cetus Tya gamblang.

Keberagaman sudut pandang yang ia dapatkan saat berinteraksi dengan rekan-rekan penggerak GUSDURian menjadi pengalaman berharga yang ia dapatkan di GUSDURian. Meskipun semua penggerak GUSDURian memiliki semangat yang berangkat dari nilai-nilai yg dianut Gus Dur, ia menyebut tetap ada beraneka macam sudut pandang di dalamnya.

“Secara nilai memang sama, tapi pas ketemu orang-orangnya ternyata nggak semua seberagam itu ya. Banyak (penggerak GUSDURian) yang nggak berangkat dari (latar belakang) yang heterogen, jadi berangkatnya dari (latar belakang) yang homogen. Jadi (perbedaan) sudut pandangnya ya terasa,” ucapnya blak-blakan.

Walaupun demikian ia tak mempersoalkan hal tersebut. “It’s okay. Jadinya kan gue paham realitasnya seperti apa. Gue nggak konfrontatif dan nggak musti ngajak orang berpikir yang sama dengan gue.”

“Sudut pandang itu memang perspektif personal aja dan, buat gue, itu oke di demokrasi. Ambil yang samanya, bukan bedanya,” tambahnya.

Satu hal yang sedikit mengganjal baginya justru karena keberadaannya di GUSDURian Jakarta secara implisit kerap diartikan sebagai representasi agama tertentu. Tentu saja anggapan dari rekan-rekannya di GUSDURian Jakarta tersebut sebenarnya tidak menyimpan maksud negatif. Hanya saja, Tya tetap merasa risih dengan anggapan tersebut.

“Forum-forumnya (GUSDURian) kan memang berangkat atas nama agama. Jadi gue yang ngerasa nggak mewakili agama apapun jadi ngerasa sulit aja karena jadi harus bawa bendera (perwakilan agama) ya,” ungkapnya.

Ia melanjutkan lagi, “Ya karena gue nggak ngerasa terkotak-kotak aja. Gue nggak pernah bawa-bawa diri gue sebagai pribadi yang berafiliasi dengan apa atau dari organisasi apa.”

Maria Yosephien Satyawati Purwaningtyas sudah terbiasa jadi manusia ‘nusantara’. Foto: Yudha/Katolikana.com

 

Bisa Bikin Perubahan

Cerita agak berbeda dialami oleh Agatha Yosefima Dida. Sembari tertawa kecil, wanita yang sehari-hari dipanggil Agatha ini mengaku aktif di GUSDURian Jakarta karena dorongan dari “seseorang”. Orang tersebut adalah penggerak GUSDURian Bogor yang dikenalnya dalam suatu kegiatan di tahun 2018. Dari “seseorang” inilah, Agatha lantas mendapat motivasi untuk aktif di GUSDURian Jakarta.

“Dia yang banyak kasih insight soal Gus Dur, cerita soal Gus Dur, dan mendukung banget gue untuk aktif di GUSDURian Jakarta,” papar Agatha ceria.

Akan tetapi, umat Paroki Ibu Teresa, Cikarang ini cepat-cepat menolak jika dianggap ia bertahan di GUSDURian Jakarta karena alasan tersebut. Ia tetap menyebut kekaguman terhadap sosok Gus Dur lah yang pada akhirnya bisa membuatnya aktif hingga lebih dari empat tahun di komunitas ini.

“Akhirnya gue udah nggak sama dia. Tapi gue udah jatuh cinta ama Gus Dur. Walaupun awalnya karena orang tertentu ya, tapi gue bertahan sampai sekarang bukan karena dia, tapi karena sosok Gus Dur yang menginspirasi,” bebernya.

Ia menyebut ada kesamaan prinsip Gus Dur yang membuatnya merasa cocok dengan GUSDURian karena sesuai dengan prinsip pribadinya. “Konsep-konsepnya Gus Dur gue suka aja. Memanusiakan manusia, lo harus baik sama siapa aja, lo harus bantu. Itu mungkin yang bikin gue masih ada di GUSDURian Jakarta dari 2018 sampai hari ini” tambah Agatha.

Agatha juga mengaku ia menjadi sosok yang berbeda setelah ia mengenal GUSDURian. Ia berubah dari anak muda biasa yang tidak pernah kepikiran tentang isu -isu terkini, menjadi pribadi yang lebih peka terhadap isu sosial dan politik yang terjadi di sekitarnya.

“Di GUSDURian itu kita mesti update atas suatu kejadian. Misalnya soal Wadas, soal Kanjuruhan, kita nggak bisa diem. Kita di GUSDURian tuh kita punya kapasitas untuk mengeluarkan opini kita.”

“Dulu gue tuh sama sekali ga pernah ngikutin kasus-kasus gini. Kalau sekarang, oh oke, ada kasus ini, coba dipelajarin dari mana, kita bisa diskusi. Kita harus apa nih, kita bisa apa. Nah, itu yang penting di GUSDURian, setelah ada kejadian, lo bisa apa, lo bisa bikin perubahan apa, kayak gitu.

Sementara mengenai statusnya sebagai seorang Katolik di tengah rekan-rekannya yang kebanyakan beragama Islam, Agatha merasakan ada suasana penerimaan terhadapnya yang membuatnya merasa nyaman untuk aktif bergiat di GUSDURian Jakarta.

Gue merasa, kalau gue ngikut acara Gusdurian gue dihargai banget. Temen-temen Gusdurian kan kebanyakan Islam, sedangkan gue bukan Islam. Gue tuh merasa dianggep di sini. Mereka seneng gue di sini. Gue beda, tapi gue dianggep di sini.”

Sosok yang kerap mewakili GUSDURian Jakarta di berbagai forum ini mengaku sudah sangat banyak pengalaman berkesan selama ia bergabung di GUSDURian. Salah satu yang paling berkesan baginya adalah pengalaman saat terlibat menjadi panitia Haul Gus Dur di tahun 2019.

“Pengalaman gue jadi panitia Haul Gus Dur, itu seru banget sih. Kayak bisa ketemu banyak orang yang dulu kenal ama Gus Dur tuh, wow banget. Ya walaupun tetep banyak drama panitianya, tapi seru,” ungkapnya dengan menggebu-gebu.

“Wah gila, yang dateng banyak banget! Gue terkesima banget. Ini tuh acara buat memperingati kematian seseorang loh, bisa sampe sebegini banyak yang dateng, dan itu gila sih. Itu bikin hati gue tersentuh.” Hal ini pulalah yang membuatnya memutuskan turut serta sebagai perwakilan GUSDURian Jakarta di acara Temu Nasional (TUNAS) GUSDURian 2022.

Agatha pun berharap anak muda Katolik maupun anak muda dari latar belakang apapun tak perlu merasa canggung atau sungkan untuk bergabung di GUSDURian. “Soalnya prinsip Gus Dur itu keren banget. Jadi harus makin banyak orang lagi yang tau tentang Gus Dur dan GUSDURian. Terutama GUSDURian Jakarta,” pungkasnya sembari terbahak. (*)

 

Katolikana merupakan official media partner TUNAS GUSDURian 2022.

Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha

Leave A Reply

Your email address will not be published.