Menimba Pemikiran Gus Dur Tentang Moderasi Beragama

Inspirasi dan gerakan moderasi beragama ada dalam pemikiran-pemikiran Gus Dur.

0 332

Katolikana.com – Dalam kelas inspirasi yang bertajuk “Moderasi Beragama” panitia TUNAS GUSDURian 2022 mengemasnya dalam talk show (gelar wicara). Antusiasme peserta sangat tinggi yang ditandai dengan banyaknya pertanyaan yang disampaikan hingga pemateri KH. Dr.  Luqman Hakim Saifuddin dan KH Dr. Marzuki Wahid memberikan toleransi tambahan waktu sekitar satu jam sehingga kegiatan yang semula diagendakan selesai jam 21.00 WIB  harus diundur hingga pukul 22.00 WIB.

Bertempat di Aula Muzdalifah ratusan peserta sangat fokus pada paparan kedua pemateri tentang tema terkait. Menurut KH. Dr. Marzuki Wahid, moderasi hanyalah sebuah istilah. Substansi moderasi beragama yang sesungguhnya ada dalam pemikiran Gus Dur yang juga dikenal sebagai sosok paling ideal dalam isu moderasi beragama di tanah air.

Ketika kita bicara tentang moderasi beragama sebenarnya kita sedang berkisah tentang Gus Dur. Apakah Gus Dur pernah menyebutkan terminologi moderasi beragama? Gus Dur hanya menyebutkan “Islam ramah bukan Islam marah” ketika ada kelompok-kelompok tertentu yang melihat dan menyikapi bahkan memberi stigma pada orang atau kelompok yang berbeda sebagai kafir dan sebagainya.

Kedua Gus Dur memiliki cara tersendiri untuk melawan berbagai praktik buruk terkait moderasi beragama. Dalam gaya yang cool, santai sembari bercanda beliau mengirimkan pesan perdamaian tatkala kehidupan beragama di Indonesia mengalami persoalan.

Termasuk ketika melawan rezim Soeharto kala itu. Dimana rezim sering menggunakan Pancasila sebagai alat untuk melakukan represi terhadap rakyat, Gus Dur justru menggunakan Pancasila untuk mengeritik penguasa. “Gaya beliau melawan rezim selalu dengan guyonan” tutur pria yang penyuka kemeja warna putih.

Ketika mengakhiri sesinya, KH. Dr. Marzuki Wahid berpesan kepada segenap GUSDURian bahwa inspirasi dan gerakan moderasi beragama ada dalam pemikiran-pemikiran Gus Dur.

Dalam dunia akademik seyogyanya selalu mengutip berbagai pemikiran Gus Dur mengingat saat ini gerakan moderasi beragama bukan hanya menjadi milik kelompok tertentu tetapi sudah menjadi gerakan negara melalui dukungan program dan finansial.

Sementara itu K.H. Dr. Lukman Hakim Saifuddin mantan Menteri Agama Indonesia yang menjabat sejak 9 Juni 2014 di Kabinet Indonesia Bersatu II dan kembali menjadi menteri di Kabinet Kerja sejak 27 Oktober 2014 menyampaikan bahwa ada beberapa penekanan tertentu terkait refleksi menghayati hakekat beragama.

Agama dan beragama adalah dua entitas yang beragama. Agama dan ajarannya tidak perlu dimoderasi. Batasan moderasi beragama itu adalah sedang bukan sesuatu yang harus berlebihan. Bagaimana cara kita ber-islam, ber-kristen, ber-katolik, ber-hindu, ber-budha.

Dalam perspektif moderasi beragama, ajaran agama itu dibelah dalam dua kategori yakni hal-hal yang bersifat universal di mana kebenarannya bisa diterima oleh semua orang seperti keadilan, cinta kasih, persamaan di depan hukum. Kedua, urusan yang bersifat artikulan (cabang) yang merupakan wilayah toleransi. Perkara-perkara yang bersifat universal ini seyogyanya bisa diinsert ke zona moderasi (moderat = dibawa ke tengah-tengah). Hal yang harus diperhatikan adalah moderasi itu bukan membuat orang menjadi mudah atau menganggap enteng sikap beragama.

Lebih lanjut, pria kelahiran 25 November 1962 menuturkan bahwa “Beragama jangan semata-mata bertumpu pada teks tetapi harus berpijak pada konteksnya”. Rujukan setiap agama adalah Kitab Suci sebagai firman Tuhan. Setiap sabda Tuhan selalu ada alasan dan konteks. Oleh karena itu butuh sikap dan cara berpikir yang dewasa (bijak) dengan tidak mendewakan nalar hingga melampaui batas.

Tokoh NU yang pernah menjabat sebagai Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU) memaparkan bahwa ada 3 (tiga) alasan mengapa isu moderasi beragama menjadi bahan perbincangan dan gerakan bersama, antara lain : pertama, adanya fenomena orang beragama secara eksklusif tidak inklusif dengan mengingkari nilai-nilai yang universal. Perlu dipahami bahwa pokok dari agama adalah integrasi bukan segregasi.

Kedua, fenomena lahirnya tafsir-tafsir keagamaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.  Misalnya Ada kecenderungan untuk mereduksi jihad. Ketiga, dalam konteks kebangsaan orang beragama justru merusak ikatan-ikatan simpul kebangsaan seperti menyanyikan lagu Indonesia Raya itu haram.

Pada akhir sesi KH. Dr. Luqman Hakim Saifuddin mengamini pokok-pokok pikiran yang disajikan oleh pemateri sebelumnya sembari memberi penekanan bahwa esensi dari moderasi beragama itu tidak ada yang baru. Semuanya sudah ada dalam pesan keagamaan yaitu tidak boleh berlebihan. Oleh karena itu Gus Dur selalu berbicara tentang hal ini dan nilai-nilai universal selalu beliau perjuangkan kendati tidak menyebutnya dengan terminologi moderasi beragama.

Katolikana merupakan official media partner TUNAS GUSDURian 2022.

Guru Pendidikan Agama Katolik di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto. Penggagas Gerakan Katakan dengan Buku (GKdB), Anggota Pustaka Bergerak Indonesia, Pendiri Sa’o Pustaka dan beberapa Taman Baca serta pegiat literasi nasional. Lewat GKdB penulis menggerakan masyarakat baik secara pribadi maupun komunitas dalam mendonasikan buku untuk anak-anak di seluruh Indonesia. Guru Motivator Literasi (GML) tahun 2021.

Leave A Reply

Your email address will not be published.