Mahasiswa Difabel di Universitas Atma Jaya Yogyakarta: Saya Diperlakukan Ramah

Suasana keberagaman yang dialami Eden dan Tosan tidak menutup mata mereka untuk selalu bersyukur.

0 304

Katolikana.com—Keterbatasan pertumbuhan yang dialami Hadasa Eden Kurniadi (19) dan keterbatasan sensorik disabilitas tuli Leonardus Tosan Norcahyo Bawono (24) tak mengurungkan niatnya untuk menempuh pendidikan di Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY).

Tosan adalah mahasiwa angkatan 2020 di program studi Sosiologi, FISIP UAJY dan Eden mahasiswi angkatan 2021 program studi Ilmu Komunikasi.

Memiliki perbedaan dari teman-teman ternyata tak membuat mereka putus asa untuk belajar, meski kadang mendapatkan kendala karena keterbatasan.

“Kadang saya merasakan pergulatan batin karena takut tak punya teman atau takut dibeda-bedakan karena keunikanku, bahkan aku ketakutan ketika sedang butuh apa-apa tidak ada yang membantu,” ujar Eden dengan nada yang merendah.

Eden (tengah) berpose bersama sahabat di UAJY. Foto: Istimewa

Perlakuan Terhadap Difabel

Perlakuan tidak adil kerap dirasakan oleh Eden ketika menjalani perkuliahan. Perlakuan teman-temannya secara sadar dan tak sadar dilakukan membuatnya harus menahan rasa sedih di dada.

“Kalau kerja kelompok aku kadang dilakukan tidak adil seperti pembagian tugas yang tidak setara dan aku kadang suka disuruh menjawab pertanyaan tanpa diskusi. Tapi aku sih menganggapnya mungkin lebih bisa diandalkan,” sahut Eden sambil berusaha menegarkan dirinya.

Rasa takut yang menghantui kerap muncul di benaknya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan antara mayoritas dan minoritas. Perbedaan yang kian jauh jika dibandingkan kadang membuatnya tidak nyaman.

“Jika teman-temanku melakukan perbuatan dan perkataan seperti umpatan yang tidak membuat aku nyaman, aku hanya diam karena takut dianggap sok suci, sok polos. Jadi, aku memilih untuk diam. Untungnya, sejauh ini tidak ada perlakuan fisik,” ungkap Eden.

Berbeda dengan Eden, Tosan merasa diperlakukan adil oleh teman-temannya di perkuliahan. Dia merasa bahwa teman-temannya bersikap ramah.

“Selama saya kuliah di kampus yang inklusif, disabilitas seperti saya justru mendapatkan perlakuan yang ramah dari teman-teman,” tulis Tosan di buku menggunakan pulpen bertinta hitam karena dia tak dapat berbicara.

Kebaikan teman-teman kuliah tidak membuat Tosan merasa dibedakan. Sebaliknya, dorongan dari teman-temannya justru menciptakan rasa nyaman saat kuliah.

“Walaupun saya memiliki keterbatasan tetapi teman-teman tidak pernah mendiskriminasi saat di kampus sehingga saya merasa nyaman karna kebaikan mereka,” tulis Tosan.

Tosan (ketiga dari kiri) berpose bersama para sahabat. Foto: Istimewa

Ketika Kuliah

“Kalau di kelas secara langsung saya melihat gerak-gerik bibir dosen ketika menerangkan materi,” tulis Tosan.

Ketika kuliah, Tosan mengandalkan gerak-gerik bibir dosen ketika memaparkan materi. Tosan telah mengalami fase kuliah daring ketika pandemi COVID-19.

“Saat kuliah online saya didampingi juru bahasa isyarat dalam ruang virtual sehingga memudahkan untuk interaksi. Saat kuliah offline saya dibantu juga oleh teman-teman yang pengertian,” tulis Tosan.

Dua cara belajar yang dialami Tosan ketika kuliah membuatnya berusaha untuk mudah beradaptasi dan mencari cara agar proses belajar menjadi mudah karena keterbatasan.

Eden juga merasakan adanya fase kuliah secara online maupun offline. “Kalau dulu ketika online aku lebih dikenal banyak tingkah karena sering menjawab dosen, lupa mematikan kamera, lupa mematikan mikrofon, dan sebagainya jadi lebih sering ter-notice,” Eden membagikan ceritanya.

Kebiasaan yang dilakukan oleh Eden membuatnya menjadi pusat perhatian dosen dan teman-temannya dengan tingkah lakunya. Perbedaan mulai dirasakan olehnya ketika perkuliahan dilakukan secara offline atau di luar jaringan.

“Sekarang kalau kuliah luring saya lebih sering diam. Karena aku merasakan ada perbedaan 180 derajat dari cara orang-orang merespon. Jadi, aku menyesuaikan karena takut dibilang caper (cari perhatian). Padahal, aku berusaha untuk menunjukkan diriku sendiri,” Eden bercerita dengan penuh semangat.

Eden (tengah) saat berkegiatan di kampus UAJY. Foto: Istimewa

Bersyukur

Suasana keberagaman yang dialami Eden dan Tosan tidak menutup mata mereka untuk selalu bersyukur. Bagi Eden caranya bersyukur adalah melihat keuntungan yang dimiliki dari keunikannya.

“Aku bersyukur aku mungil tidak banten dan gendut jadi kalau dibonceng naik motor tidak menghabiskan banyak tempat terus kalau duduk dengan banyak orang aku bisa bergeser jadi tidak makan ruang yang banyak,” sambil tertawa Eden menuturkan rasa bersyukurnya.

Bagi Tosan rasa syukur yang dialaminya datang dari teman-temannya dan keberadaan kampus yang cukup inklusif.

“Saya paling bersyukur karena masih bisa memantau pembelajaran,” tulis Tosan dengan semangat.

Dari lubuk hati terdalam tersimpan pesan yang hendak disampaikan Eden sebagai kaum disabilitas yang memiliki keterlambatan pertumbuhan sebagai pemberi warna dalam keberagaman di dunia perkuliahan.

Untuk orang-orang yang memandang sebelah mata, Eden mengatakan Anda tidak tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang memiliki keterbatasan.

“Jika Anda menjadi seperti mereka, belum tentu Anda akan sekuat mereka. Jadi, ya sudah cukup diam dan bersyukur saja dengan kelebihan yang dimiliki,” ujar Eden.

“Sebenarnya keterbatasan bisa dijadikan sebagai pembuktian untuk menggali potensi dan membuat kita terlahir menjadi orang-orang hebat,” pungkas Eden. (*)

Kontributor: Heinrich Terra (mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.