Ibarat Bahtera dengan Dua Nahkoda

Dalam kasus TPE Baru 2020, mestinya ada keseragaman: kapan umat berdiri, kapan duduk, kapan berlutut.

0 196
Oleh Fransisco Sugeng, Pensiunan swasta; mantan anggota Dewan Pastoral Paroki, Mantan Seksi Liturgi.

Katolikana.com—Dalam sebuah pertemuan lingkungan, sekelompok umat mengeluhkan ketidakkompakan pastor paroki, khususnya menanggapi Tata Perayaan Ekaristi (TPE) baru 2020.

Ketidakkompakan pastor ini membuat petugas liturgi bingung: pastor ini begini, pastor itu begitu. Mana yang benar?

Umat pun bertanya-tanya, apakah para pastor tidak saling berbicara dan saling sepakat agar satu kata dan satu kebijakan berhadapan dengan umat?

Paroki Butuh Nakhoda

Pengelolaan paroki mestinya dilaksanakan seperti halnya mengelola rumah tangga atau lembaga.

Rumah tangga memiliki kepala keluarga yang menjadi nakhoda dan komandan yang memegang kemudi sehingga arah perjalanan keluarga tidak serong ke kanan ke kiri tanpa arah yang jelas.

Lazimnya, kepala keluarga adalah suami atau bapak. Sebagai nakhoda, ia punya pendamping sebagai ko-nakhoda, yakni istri atau ibu.

Ko-nakhoda menjalankan tugas sebagai komandan dalam keluarga manakala sang komandan sedang ‘berhalangan’.

Dengan adanya ko-nakhoda, perjalanan keluarga tetap berjalan sebagaimana arah yang sudah disepakati bersama. Ko-nakhoda tidak akan mengambil kebijakan sendiri mumpung sang nakhoda (sang suami) tidak ada.

Sebuah lembaga harus memiliki pemimpin yang memegang tongkat komando sehingga arah dan tujuan seperti tertuang dalam visi misi lembaga tersebut akan tercapai.

Memang, baik dalam rumah tangga mau pun dalam sebuah lembaga, kepala keluarga atau pimpinan lembaga tidak akan bertindak semau gue, sekehendak sendiri.

Dalam keluarga, berbagai langkah mesti dirundingkan bersama antara kepala keluarga bersama anggota keluarga (suami dan istri, bahkan mungkin juga anak yang sudah dewasa).

Sedikit berbeda dengan sebuah lembaga, lembaga memiliki aturan tertentu yang tertuang dalam visi misi, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dan aturan turunan lainnya.

Dengan aturan tersebut, seorang pemimpin memegang tongkat komando, dan seluruh staf serta semua yang terlibat taat terhadap komando yang diberikan oleh pimpinan.

Di setiap paroki ada pastor kepala dan ada pastor rekan. Pastor kepala memiliki wewenang menentukan kebijakan dalam mengelola paroki dan umat.

Tentu saja kewenangan itu tidak digunakan secara mutlak dan otoriter. Ini mesti dibicarakan bersama pastor rekan dan juga dewan pastoral dengan berpedoman pada visi misi dan segala aturan turunannya.

Sementara, pastor rekan akan menaati kebijakan yang sudah disepakati dan tidak mengambil kebijakan tersendiri.

Pastor kepala mesti memberi teguran, peringatan, dan bertindak tegas apabila ada pastor rekan yang menyimpang dari kebijakan paroki.

Apabila ada pastor yang keras kepala dan menentukan kebijakan sendiri tanpa sepengetahuan pastor kepala, bahkan menyimpang dari kebijakan yang sudah ditentukan, sementara pastor kepala juga tidak bertindak tegas, membiarkan langkah pastor rekannya yang nyata-nyata tidak sejalan, maka perjalanan paroki menjadi tidak menentu.

Umat Bingung?

Umat akan menjadi bingung dan bertanya-tanya: bagaimana romo kita ini? Romo ini begini, romo itu begitu?

Akibat selanjutnya adalah turunnya kepercayaan umat terhadap para pastornya.

Umat akan menggerutu dan bertanya-tanya: bagaimana bisa berjalan bersama bila masing-masing punya kebijakan sendiri? Ibarat sebuah bahtera dengan dua nakhoda.

Dalam kasus TPE Baru 2020, mestinya ada keseragaman dalam pelaksanaan Perayaan Ekaristi: kapan umat berdiri, kapan duduk, kapan berlutut, dan sikap-sikap yang lain.

Memang di TPE tersebut terdapat laman tertentu yang bisa menimbulkan persepsi dan interpretasi berbeda-beda. Di sinilah perlunya kesepakatan para pastor bersama seksi liturgi sebelum diterapkan dalam Perayaan Ekaristi.

Dengan begitu, pastor yang memimpin Perayaan Ekaristi, petugas liturgi, dan seluruh umat memiliki pemahaman yang sama dan Perayaan Ekaristi pun berjalan dengan baik dan kompak.

Semoga para pastor bisa kompak satu kata tidak hanya dalam menanggapi Tata Perayaan Ekaristi, tetapi dalam seluruh langkah pastoral.

Seluruh umat pun akan taat dan mendukung langkah kebijakan pastor bersama dewan pastoral paroki. (*)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.