Samuel, Politik, dan Masa Depan Gereja Katolik

Bersabdalah ya Tuhan, Hamba-Mu Mendengarkan

0 59

Katolikana.com—Ada banyak hal tak biasa dan menarik muncul di awal tahun 2024 ini. Di level lokal, terjadi bencana alam gunung meletus di wilayah Timur Indonesia.

Dinamika politik di level nasional juga memanaskan suasana politik tanah air. Hal ini tampak dalam debat politik antara calon pemimpin negara yang kadang melewati batas etika.

Di level internasional persoalan perang Israel versus Palestina yang belum mencapai titik temu maupun penyerangan Amerika dan Inggris terhadap kelompok Houthi di Yaman pun menjadi hal menarik pada awal tahun ini.

Kejadian-kejadian itu tentu membawa dampak dan pengaruh pada kehidupan manusia, baik sebagai warga negara maupun umat beragama.

Gelombang sikap pro dan kontra atas pihak tertentu dalam perang Israel versus Palestina dari agama tertentu, menjadi salah satu contohnya.

Gereja Katolik sebagai lembaga agama tidak bisa lepas dari hal-hal tadi. Keterlibatan itu terlihat dari galangan sumbangan gereja lokal di Nusa Tenggara Timur untuk membantu korban letusan gunung.

Di samping itu terdapat seruan gereja Katolik di level Keuskupan, seperti di Keuskupan Agung Ende, berkaitan dengan Pemilu dan bagaimana sebaiknya pemilih Katolik mengambil sikap.

Paus Fransiskus terus menyerukan tentang ketidaksetujuan atas berbagai perang. Menurut Paus, perang sudah menjadi seperti serangan teroris karena telah memberikan penderitaan dan menciptakan penahanan atas manusia di kedua belah pihak.

Lebih jauh, dalam beberapa kasus, Gereja Katolik juga terlibat langsung dengan urusan politik atau yang berkaitan dengan konflik.

Kejadian-kejadian penyerangan gereja Katolik seperti terjadi di Holy Family Catholic Parish atau serangan bom pada saat misa di Mindanao State University, Marawi, Filipina menjadi bukti hal ini.

Di tanah air, meski situasi Gereja Katolik tidak separah situasi I Filipina, umat Katolik tetap perlu mawas. Perubahan situasi negara atau perubahan politik, termasuk yang bisa memengaruhi Gereja, ditentukan oleh pemimpin yang terpilih atau pun wakil rakyat.

Dalam konteks ini, pengaruhnya tentu bukan terutama berkaitan atau sanggup mengubah landasan iman Katolik yang berdasarkan pada ajaran gereja, tradisi serta Kitab Suci, tetapi  akan kelihatan pada pengaplikasian kegiatan-kegiatan menggereja dalam hidup sehari-hari.

Peran dan keberpihakan pemimpin akan memengaruhi keberlangsungan hidup beriman, kenyamanan menjalankan agama, atau kegiatan-kegiatan lainnya.

Kalau hal ini dijalankan secara baik, maka pengalaman keluarnya surat edaran dari pemerintah setempat pelarangan kegiatan beribadah seperti yang terjadi pada Jemaat Gereja Bethel di Merbau-Riau, mungkin tidak akan terjadi.

Kita bisa mengaitkan situasi politik dan pemilihan pemimpin pada  kisah Samuel yang diulas pada hari Minggu Panggilan, 14 Januari 2024.

Sebagaimana Samuel yang terpanggil untuk mengesahkan Saul sebagai raja Israel yang dengan mengurapinya (bdk. 1 Sam: 10), umat Katolik juga akan memilih sekaligus mengesahkan para pemimpin negara maupun wakil rakyat yang akan berurusan dengan hal politik dan kebijakan-kebijakan di dalam negara.

Untuk membuat pilihan tentu kita perlu mendekatkan diri sekaligus mendengarkan suara Tuhan untuk memilih orang yang tepat.

Pertimbangan yang matang atau discerment sederhana untuk memprediksikan kebaikan yang bisa diperoleh jika kita memilih calon pemimpin, perlu dibuat sehingga bisa menghasilkan pilihan yang tepat.

Pertimbangan ini tentu dibuat berdasarkan rekam jejak, prestasi dan tindakan-tindakan kemanusiaan yang asli dan tidak sekadar pencitraan.

Kita memilih orang yang tepat untuk memimpin atau menjadi wakil kita di masa depan, bukan karena sekedar kedekatan dalam relasi personal kekeluargaan atau teman, tetapi memilih dari suara hari yang menjadi perwakilan dari suara Tuhan.

Pemilihan itu sangat penting dilakukan bukan hanya karena tindakan itu akan berpengaruh pada masa depan bangsa. Hal lain yang tak kalah penting adalah pilihan kita akan berpengaruh pada masa depan gereja. Dengan begitu, kita berharap pengalaman-pengalaman yang menyulitkan seperti terjadi Riau, tidak terulang lagi di masa yang mendatang.

Kehadiran wakil rakyat dan pemimpin baru yang tepat, sedapat mungkin tidak menciptakan konflik vertikal dan horizontal dalam hidup bernegara, dan pada titik paling parah menyebabkan konflik seperti terjadi di wilayah Timur Tengah.

Pesan hari Minggu Panggilan di awal 2024 ini, menjadi ajakan yang tepat untuk menjadi lebih bijak sebelum memilih. Hendaknya pemilihan itu menjadi langkah awal untuk menciptakan kebaikan Bersama, bukan hanya untuk kepentingan kita sebagai umat Katolik tetapi kebaikan semua umat beragama dalam bangsa dan negara. Dengan begitu, keberlanjutan dan masa depan gereja ke depan berada di tangan kita sebagai orang Katolik.

Marilah kita selalu membuka mata dan hati untuk mendengarkan suara Tuhan sebagaimana Samuel dalam memilah dan memilih calon pemimpin nanti. “Bersabdalah ya Tuhan, hamba-Mu mendengarkan.” (*)

Pengajar STPM St Ursula, Ende

Leave A Reply

Your email address will not be published.