Kongres ke-41 APTIK Bahas Era Disrupsi dan Kolaborasi Kampus

Ketua APTIK Kusbiantoro mengajak perguruan tinggi APTIK untuk peduli pada masalah kesehatan mental, terutama di kalangan mahasiswa.

0 67

Katolikana.com, Jakarta — Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) menggelar kongres ke-41 di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Kamis-Sabtu (21-23/3/2024).

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta menjadi tuan rumah kongres ini, bertepatan dengan perayaan HUT APTIK ke-40. Acara dibuka dengan Perayaan Ekaristi oleh Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo.

Salah satu sorotan utama kongres adalah penanganan fenomena era disrupsi terbaru, yang diwakili oleh paradigma baru “BANI” (Brittle, Anxiety, Non-Linear, dan Illusion of Predictability). Konsep ini menggantikan paradigma lama VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity) dan membawa perhatian pada kurikulum pengajaran serta dampaknya terhadap kesehatan mental di lingkungan kampus.

Menurut Ketua APTIK B.S. Kusbiantoro, paradigma BANI menuntut adaptasi agar kampus dapat mencegah penyebaran kerapuhan mental di kalangan mahasiswa. Masalah kecemasan, depresi, dan bahkan bunuh diri di era digital menjadi keprihatinan bersama, dan APTIK berkomitmen untuk bekerja sama dalam menangani masalah tersebut melalui penguatan layanan konseling.

Lebih lanjut, Kusbiantoro menyebutkan, dunia kini menghadapi kompleksitas dan ketidakpastian yang semakin meluas. Konsep Brittle dari BANI memunculkan pandangan bahwa lembaga yang dianggap kuat ternyata rapuh. Anxiety muncul karena apa yang diharapkan sangat berbeda dengan kenyataan yang dihadapi.

Adapun Non-Linear memunculkan pandemi Covid-19, ChatGPT, dan disrupsi teknologi lainnya, sementara Illusion of Predictability menghasilkan limpahan data dan informasi yang ternyata justru ikut menghasilkan limpahan hoaks yang luar biasa.

APTIK soroti permasalahan kesehatan mental pada mahasiswa. Foto: Istimewa

”APTIK merasa perlu mengantisipasinya melalui segala bentuk adaptasi yang diperlukan guna mencegah terjadinya kerapuhan mental yang kini kian meluas di lingkungan kampus-kampus di dalam dan di luar negeri. Kecemasan, depresi, dan bunuh diri yang terjadi itu merupakan bagian dari illusion of control,” tutur Kusbiantoro.

Kusbiantoro mengajak perguruan tinggi APTIK untuk peduli pada masalah kesehatan mental, terutama di kalangan mahasiswa. Sebab, masalah kecemasan, depresi, dan bunuh diri di kalangan remaja di era digital cukup meningkat.

“APTIK merasa perlu menaruh kepedulian pada masalah ini dan bekerja sama agar mahasiswa tidak merasa terisolasi, dengan mengoptimalkan lembaga konseling secara tepat guna mengenali gejala yang ada dan secara tepat bisa mengatasinya,” ujar Kusbiantoro.

Kusbiantoro juga menyoroti pentingnya kolaborasi yang lebih luas dalam menghadapi tantangan era disrupsi. Ini mencakup kerja sama dalam penggunaan aset kampus dan penyelenggaraan program dual degree dengan perguruan tinggi terkemuka di luar negeri.

Ketua Yayasan Atma Jaya Linus M. Setiadi menekankan perlunya kolaborasi dalam skala yang lebih luas, melibatkan pemerintah dan dunia industri, untuk menjawab gugatan serius terhadap peran pendidikan tinggi.

“Selain membahas adaptasi kurikulum terhadap paradigma disrupsi yang terbarukan ini, kolaborasi dan pengembangan kepedulian sebagai identitas Katolik untuk bisa menjadi jawaban terhadap persoalan-persoalan di tengah masyarakat sudah saatnya dilakukan secara simultan bersama dan fokus,” kata Linus.

Linus juga menekankan, kongres kali ini sebagai upaya proyeksi bagi APTIK sendiri untuk maju dan bersinergi bersama menyumbangkan karya terbaik untuk bangsa dan negara. APTIK hendaknya mendorong anggotanya untuk tumbuh bersama serta menghasilkan lulusan  yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga professional dan peduli atau memiliki intellectual humility.

Linus juga menyoroti pentingnya APTIK dalam mendirikan perguruan tinggi di luar Pulau Jawa, khususnya di Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur, untuk mendukung pembangunan nasional menuju Indonesia Emas 2045.

Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Yuda Turana menegaskan dukungan terhadap kolaborasi dan sinergi antarperguruan tinggi dalam APTIK. Dia menekankan bahwa kolaborasi ini diharapkan tidak hanya menghasilkan inovasi revolusioner, tetapi juga mencetak generasi muda yang berkarakter tangguh dan memiliki daya saing internasional.

“Sebaran tenaga ahli berkualitas internasional dengan latar belakang keilmuan berbeda dan networking international yang luas di lingkungan APTIK, tentunya akan meningkatkan daya saing APTIK ke jenjang Internasional,” ujar Yuda Taruna.

APTIK, yang awalnya didirikan oleh empat perguruan tinggi Katolik, kini telah berkembang menjadi 22 perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia, yaitu:

  1. Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
  2. Universitas Parahyangan
  3. Universitas Atma Jaya Yogyakarta
  4. Universitas Sanata Dharma
  5. Universitas Katolik Widya Mandira
  6. STIKES Katolik St. Vincentius a Paulo Surabaya
  7. Universitas Katolik Santo Thomas
  8. Universitas Katolik Widya Karya Malang
  9. Universitas Atma Jaya Makassar.
  10. Universitas Katolik Soegijapranata
  11. Universitas Katolik Widya Mandala Madiun
  12. Universitas Katolik Musi Charitas
  13. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint. Carolus
  14. Universitas Katolik De La Selle
  15. Universitas Widya Dharma Pontianak
  16. Universitas Katolik Darma Cendika
  17. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Stella Maris Makassar
  18. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Gunung Maria Tomohon
  19. Sekolah Tinggi Keguruan dan Pendidikan Weetebula Sumba Barat Daya
  20. STIkes Santa Elisabeth Medan
  21. Universitas Santo Borromeus
  22. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Panti Rapih Yogyakarta. (*)

Kontributor: Helena Brilianty

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.