Oleh Bonaventura Ricky Yosan, mahasiswa Fakultas Filsafat Unika Santo Thomas Medan
Katolikana.com—Semangat pembaharuan (aggiornamento) yang dicanangkan oleh Paus Yohanes XXIII dan terwujud dalam Konsili Vatikan II telah memiliki dampak signifikan dalam perkembangan kehidupan Gereja di era modern ini.
Pembaharuan tersebut tidak hanya terbatas pada wilayah internal Gereja, melainkan juga meliputi penempatan diri Gereja di tengah masyarakat, lingkungan sekitar, dan dalam hubungannya dengan umat beragama lain.
Pembaharuan ini mendorong semangat untuk berdialog dan membuka diri terhadap umat beragama lain, yang masih terus digaungkan dan dihayati oleh Gereja hingga saat ini.
Pendekatan inklusifitas dalam menghadapi keragaman telah menyatukan Gereja dengan masyarakat, yang tercermin dalam komitmen untuk senantiasa menyebarkan Injil di tengah dunia dengan melakukan penyesuaian dengan lingkungan atau masyarakat setempat.
Semangat pembaharuan ini membaharui Gereja dalam karya pelayanan pastoral dan pewartaan iman. Gereja yang sebelumnya cenderung tertutup dan terbatas pada lingkup internal, kini telah terbuka bagi semua orang dengan tujuan akhir yang mengutamakan kebaikan bersama.
Semangat pembaharuan diri Gereja ini terkait dengan ajaran yang diajukan oleh filsuf postmodern Jean-Francois Lyotard, yang lahir dan besar di Inggris. Lyotard menyatakan bahwa pemikirannya berpusat pada tiga hal utama: penolakan terhadap metanarasi, pengakuan pluralitas narasi, dan pentingnya lokalitas dan pluralitas.
Penolakan terhadap Metanarasi
Penolakan terhadap metanarasi tercermin dalam cita-cita Gereja untuk mengatasi situasi yang kurang inklusif pada masa itu. Pewartaan dan kehadiran Gereja cenderung terkesan eksklusif dan tidak inklusif terhadap pihak luar.
Hal ini ditunjukkan oleh ketidaksempurnaan dalam menerapkan ajaran Gereja pada masa tersebut, yang tercermin dalam penerapan ritus Latin dalam Ekaristi secara universal tanpa mempertimbangkan konteks sosial setempat, serta dalam gaya misa Tredentin yang minim partisipasi umat.
Gereja berupaya memperbaharui pendekatannya dengan melihat situasi umat secara global, serta dengan mengakui perkembangan iman umat yang lebih menerima pewartaan secara lokal, dialogis, dan pengakuan terhadap ungkapan iman dalam berbagai budaya dan suku bangsa.
Pembaharuan ini menjadi angin segar bagi Gereja dan umat Allah dalam mengekspresikan iman mereka sesuai dengan ajaran Lyotard, dengan memperhatikan transisi dari metanarasi menuju berbagai narasi kecil yang lebih terarah pada pluralitas, lokalitas, dan imanen.
Pluralitas Narasi
Pluralitas narasi merujuk pada beragam narasi kecil yang muncul dengan sudut pandang yang berbeda sesuai dengan kebutuhan atau penghayatan setempat, sehingga berkonteks lokal serta memiliki sifat imanen.
Konsep atau aneka narasi kecil ini sejalan dengan pembaharuan yang dibahas secara khusus dalam Konsili Vatikan II, yang menekankan pentingnya inkulturasi, inklusivitas, dan relevansi kontekstual.
Gereja berupaya membuka diri terhadap dunia dan terlibat secara konkret dalam kehidupan masyarakat. Hal ini tercermin dalam penggunaan bahasa lokal dalam liturgi dan doa-doa, serta dalam peningkatan produksi lagu-lagu dalam bahasa dan gaya lokal.
Penerapan ini memperkaya penghayatan iman umat sambil mempertahankan esensi perayaan liturgis.
Adaptasi tradisi Gereja Katolik dalam budaya lokal juga terlihat dalam praktik inkulturasi atau akulturasi, seperti di candi Hati Kudus di Yogyakarta yang menggabungkan elemen candi Hindu dengan patung Hati Kudus Yesus dalam gaya Jawa, menghasilkan suasana inkulturasi yang mempesona.
Penerimaan terhadap narasi lokal memungkinkan penyatuan antara doa-doa dan perayaan liturgi Gereja dengan budaya setempat.
Pentingnya Lokalitas dan Pluralitas
Pentingnya lokalitas dan pluralitas menegaskan bahwa kebenaran tidak berlaku secara universal, karena setiap wilayah dan masyarakat memiliki dinamika, ajaran hidup, dan keyakinan yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, penyesuaian dan penerimaan terhadap perbedaan tersebut harus ditekankan dalam kehidupan gereja, dengan mengutamakan keterbukaan untuk berdialog dan saling menghargai antaragama, sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam dokumen Gereja “Nostra Aetate”.
Pendekatan dialog yang inklusif memungkinkan gereja untuk lebih terlibat dalam situasi dan realitas umat, karena menunjukkan kemauan gereja untuk memahami dan merangkul kehidupan mereka dengan berbagai persoalan yang dihadapi. Penyelesaian masalah pastoral harus dilakukan secara lokal, dengan memahami dan menghargai konteks masyarakat setempat, yang disebut sebagai kebijaksanaan pastoral.
Tentunya, tidak semua tantangan dalam pelayanan pastoral dapat diselesaikan dengan cara atau metode yang sama di semua tempat. Oleh karena itu, perlu mempertimbangkan aspek lokalitas dan pluralitas dalam penyelesaian masalah, sehingga pendekatan yang diambil dapat disesuaikan dengan konteks masyarakat setempat.
Traditio Apolistica
Ajaran Lyotard yang berkembang dalam era postmodern memiliki keterkaitan yang erat dengan proses pembaharuan yang dijalankan oleh Gereja, yang didorong oleh semangat aggiornamento yang dicanangkan oleh Paus Yohanes XXIII.
Pembaharuan ini diharapkan akan membawa implikasi positif bagi kemajuan dan perkembangan Gereja ke depan, terutama dalam hal pertumbuhan iman umat, karena Gereja berkomitmen untuk hadir secara nyata di tengah-tengah masyarakat dan terbuka terhadap dinamika zaman yang terus berkembang.
Semangat inklusif Gereja akan mempermudah upaya pemberitaan Injil ke seluruh dunia, dengan menghargai dan menerima tradisi lokal masing-masing wilayah. Gereja juga berusaha untuk beradaptasi dengan tradisi lokal sambil tetap menjaga esensi ajaran dan tradisi yang diturunkan dari para rasul (traditio apostolica). (*)
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.