Katolikana.com — Paus Fransiskus baru saja membentuk Keuskupan Labuan Bajo dan menjadikannya sebagai keuskupan ke-38 di hierarki Gereja Katolik Indonesia. Paus juga menunjuk Mgr. Maksimus Regus sebagai uskup pertama Labuan Bajo untuk menggembalakan diosis termuda di Indonesia tersebut.
Lahirnya sebuah keuskupan (atau keuskupan agung) baru memang sebuah peristiwa yang langka terjadi. Sebab wewenang tersebut memang dipegang langsung oleh Bapa Paus. Diperlukan alasan yang kuat dan persiapan yang matang sebelum Paus berkenan membentuk sebuah keuskupan baru di suatu wilayah.
Hal itu pula yang menyebabkan pembentukan keuskupan-keuskupan di Indonesia berlangsung secara setahap demi setahap. Sejak dibentuknya hierarki Gereja Katolik Indonesia secara resmi dengan Quod Christus Adorandus pada 1961, sudah ada tambahan sejumlah keuskupan baru yang hadir di bumi pertiwi.
Berikut ini adalah tiga diosis berusia belia di Indonesia yang baru terlahir pada abad 21. Ketiganya juga pernah menyandang status sebagai keuskupan termuda pada masanya, sebelum status tersebut kini resmi disandang oleh Keuskupan Labuan Bajo.
1. Keuskupan Maumere
Tanggal 14 Desember 2005, Paus Benediktus XVI membentuk Keuskupan Maumere dan memisahkan wilayah Kab. Sikka yang beribukota di Maumere dari Keuskupan Agung Ende. Setelah menjadi keuskupan yang mandiri, Keuskupan Maumere tetap menjadi sufragan dari Keuskupan Agung Ende.
Paus Benediktus XVI menjadikan Keuskupan Maumere sebagai keuskupan ke-37 yang berdiri di Indonesia. Ini sekaligus satu-satunya diosis di Indonesia yang dibentuk oleh Paus Benediktus XVI.
Keuskupan Maumere terbilang punya keistimewaan tersendiri bagi umat Katolik di NTT maupun Indonesia karena di sinilah “pabriknya” para imam Indonesia. Alasannya tidak lain karena keuskupan ini memiliki dua seminari tinggi dengan nama besar: Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero dan Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret.
Bahkan keberadaan dua seminari ini pula lah yang menggerakkan langkah Paus Yohanes Paulus II untuk datang dan bermalam di Maumere ketika beliau melakukan kunjungan ke Indonesia pada tahun 1989.
2. Keuskupan Timika
Pada 19 Desember 2003, Paus Yohanes Paulus II memisahkan wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Papua Tengah dan sebagian Provinsi Papua sisi barat dari Keuskupan Jayapura. Wilayah tersebut lantas diresmikan sebagai Keuskupan Timika.
Keuskupan Timika lantas menjadi sufragan dari Keuskupan Agung Merauke dan tercatat menjadi keuskupan ke-36 di Indonesia.
Keuskupan ini kerap dikenali karena situasinya yang “mudah panas”. Seperti konflik yang baru-baru saja pecah di wilayah Dekenat Paniai atau konflik tiga tahun silam di Dekenat Moni.
Seringkali ketika terjadi konflik, banyak umat Katolik di keuskupan ini terpaksa harus pergi meninggalkan rumah mereka dan merelakan diri untuk mengungsi di komplek gereja demi mencari rasa aman.
3. Keuskupan Tanjung Selor
Tanggal 9 Januari 2002, Paus Yohanes Paulus II juga memisahkan sebagian Keuskupan Samarinda sisi utara untuk membentuk Keuskupan Tanjung Selor. Keuskupan baru ini lantas menjadi diosis ke-35 di Indonesia.
Diosis di perbatasan Malaysia ini sempat menjadi sufragan dari Keuskupan Agung Pontianak di awal kelahirannya. Namun saat Keuskupan Samarinda dinaikkan statusnya menjadi keuskupan agung, maka Keuskupan Tanjung Selor pun ikut bergeser menjadi sufragan dari Keuskupan Agung Samarinda.
Pembentukan keuskupan ini pun bisa dikatakan cukup visioner. Sebab berselang sepuluh tahun dari lahirnya Keuskupan Tanjung Selor, DPR RI akhirnya menyetujui pembentukan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) dengan ibukota di Tanjung Selor.
Kondisi hutan rimba Kalimantan dan dikalungi oleh sungai-sungai besar menjadi ciri khas medan di diosis ini. Ditambah lagi, tidak sedikit umat Katolik lokal yang tinggal saling terpencar di tengah-tengah hutan. Alhasil para pelayan umat Allah benar-benar harus memiliki mental yang tangguh dan misioner untuk bisa menggembalakan domba-domba-Nya di Keuskupan Tanjung Selor.
Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha