Represi dan Kekerasan Terhadap Warga Poco Leok, JPIC SVD Kutuk Tindakan Aparat

JPIC SVD Ruteng menyoroti penggunaan aparat keamanan yang cenderung represif dan intimidatif dalam menangani penolakan warga terhadap proyek tersebut.

0 327

Katolikana.com, Manggarai Timur — Penolakan masyarakat Poco Leok, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, terhadap rencana perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu kembali berujung pada aksi represif aparat keamanan.

Pada tanggal 1-2 Oktober 2024, pihak PT PLN, dengan bantuan aparat kepolisian, TNI, dan Satpol PP, memaksakan pembukaan akses jalan bagi proyek geothermal yang sejak awal ditolak oleh masyarakat adat di wilayah tersebut.

Menurut laporan dari Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) SVD Ruteng, sebanyak 10 dari 14 gendang (komunitas adat) yang ada di Poco Leok telah menyatakan penolakan tegas terhadap proyek tersebut.

Sekitar 369 keluarga atau 1.632 jiwa menolak rencana pengembangan PLTP ini, karena khawatir akan dampak buruk yang mengancam ruang hidup mereka, termasuk kampung adat, kebun mata pencaharian, sumber air, dan pusat kehidupan adat.

 

Kekerasan Terhadap Warga dan Jurnalis

JPIC SVD Ruteng melaporkan bahwa selama aksi pembukaan jalan, aparat kepolisian dari Polres Manggarai dan TNI terlibat dalam aksi kekerasan terhadap warga yang berusaha menghadang. Warga didorong, dipukuli, dan beberapa di antaranya ditangkap.

Para jurnalis yang meliput kejadian tersebut juga menjadi korban, dengan seorang jurnalis Floresa disekap dalam mobil polisi, diborgol, serta dirampas tas dan ponselnya.

Meskipun warga yang ditahan dan jurnalis telah dibebaskan, insiden ini menimbulkan trauma mendalam, terutama bagi seorang warga, Ponsianus Lewang, yang harus dilarikan ke rumah sakit karena cedera serius.

 

Kecaman JPIC SVD Ruteng

Dalam siaran persnya, JPIC SVD Ruteng mengutuk keras tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan. Mereka menilai bahwa kekerasan ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan adanya pembiaran dari pemerintah setempat, mengingat tim gabungan dipimpin oleh pejabat pemerintah daerah.

“Kami mendesak Kapolri dan Panglima TNI untuk menghentikan mobilisasi aparat keamanan oleh pemerintah daerah dan PT PLN di Poco Leok. Selain itu, kami juga meminta agar tindakan penangkapan, penyekapan, dan kekerasan ini diusut tuntas, serta oknum aparat yang terlibat dihukum jika terbukti bersalah,” tegas P. Simon Suban Tukan, SVD, Koordinator JPIC SVD Ruteng.

JPIC SVD Ruteng juga meminta Pemkab Manggarai mencabut keputusan yang menetapkan wilayah kehidupan masyarakat adat sebagai area perluasan PLTP. Menurut mereka, setiap proyek besar seperti PLTP harus melalui persetujuan bebas dari warga yang akan terdampak.

Pemimpin Redaksi Floresa.co Herry Kabut mengalami kekerasan dari aparat saat meliput aksi unjuk rasa warga di Poco Leok, Kabupaten Manggarai pada Rabu (2/10/2024).

 

Penggunaan Aparat Keamanan yang Berlebihan

JPIC SVD Ruteng menyoroti penggunaan aparat keamanan yang cenderung represif dan intimidatif dalam menangani penolakan warga terhadap proyek tersebut. Mereka mengingatkan bahwa proyek ini sedang dievaluasi oleh Bank KfW, yang menjadi salah satu calon pendana, dan menegaskan bahwa pembangunan harus memperhatikan hak-hak masyarakat lokal.

“Kami percaya bahwa aparat keamanan seharusnya menjadi pelindung masyarakat, bukan justru berperan sebagai musuh,” tutup P. Simon Suban Tukan, SVD. (*)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.