Pastor Paroki Gaza: Walau Sulit, Umat Katolik Akan Tetap Bertahan di Gaza

Tanah Suci membutuhkan kehadiran umat Kristiani di Gaza.

0 267

Katolikana.com, Palestina — Patriark Latin Yerusalem, Kardinal Pierbattista Pizzaballa, OFM, baru saja mengimbau seluruh umat Kristiani untuk berdoa dan berpuasa pada Senin (7/10/2024).

Paus Fransiskus sendiri yang mencanangkan seruan doa dan puasa pada tanggal tersebut untuk memohonkan perdamaian dunia.

“Selama setahun terakhir, Tanah Suci dan wilayah lain di sekitarnya telah terjerumus ke dalam pusaran kekerasan dan kebencian yang belum pernah kami lihat atau kami alami sebelumnya,” keluh Kardinal Pizzaballa pada Kamis, 26 September.

Di Yerusalem, komunitas Kristen dengan sabar harus selalu siap sedia menghadapi situasi perang.

 

Baca juga: Umat Katolik di Israel Ikut dalam Aksi Doa untuk Perdamaian Dunia

 

Gaza Dramatis

Sementara itu, situasi di Gaza tidak jauh berbeda dibandingkan Yerusalem.

Pastor Gabriel Romanelli, imam asal Argentina yang bertugas di Paroki Keluarga Kudus, Gaza, menggambarkan bahwa setelah satu tahun terakhir, situasi di seluruh area Jalur Gaza tetap masih dramatis. Mayoritas warga Gaza kini memilih mengungsi.

“Saat ini 400.000 orang tinggal di Kota Gaza, sedangkan sisanya berada di wilayah selatan,” sebutnya. 

Pengeboman terus berlanjut sejak awal dan tidak ada aksi gencatan senjata. Warga Gaza mendengar dan mengalami pemogokan setiap hari. Ada kematian setiap hari, dan tentu saja banyak yang terluka (sekitar 100.000 orang sejak 7 Oktober 2023).

“Menurut saya, hal tersulit pada tahap ini adalah tidak mengetahui kapan semuanya akan berakhir. Tampaknya tidak ada negosiasi terkait gencatan senjata atau jeda tempur,” komentarnya.

Pastor Paroki Gaza ini menilai umat ​​Kristen di Gaza tidak luput dari ketakutan dan bahaya karena terjadi pengeboman di mana-mana.

Ia menyaksikan beberapa lingkungan menjadi sepi karena aksi pemogokan terjadi setiap hari dan dalam waktu yang berdekatan. Misalnya, lingkungan di sekitar Sekolah Rosario dibom 24 jam dalam sehari.

“Secara umum, umat hanya melakukan mobilitas sebatas untuk pergi ke gereja Ortodoks yang berjarak 400 meter dari Paroki Keluarga Kudus,” katanya.

 

Disiplin Spiritual

Pastor Romanelli lantas mengisahkan bahwa pada Sabtu (5/10/2024), sebuah bangunan yang hanya berjarak 100 meter dari Paroki Keluarga Kudus hancur total akibat dibom dan lima orang tewas karenanya.

“Namun kami berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan semacam disiplin spiritual, menjaga ritme kehidupan paroki. Yang terpenting, kita bersandar pada adorasi Sakramen Mahakudus,” cetusnya.

Ia melanjutkan, “Yang paling memberi kita kekuatan adalah kehadiran nyata Yesus dalam ekaristi bersama kita.”

Disiplin spiritual itu mereka jaga leaat serangkaian doa dan ibadat setiap harinya.

Pada pagi hari, umat Katolik Gaza mengawali hari mereka dengan doa adorasi ekaristi selama satu jam. Lalu mereka mengikuti ibadat pagi dalam Bahasa Arab. Sorenya, mereka akan menutup hari dengan berdoa rosario dan diakhiri dengan misa.

 

Baca juga: Gereja Keluarga Kudus, Benteng Harapan dan Kasih di Gaza

 

Tetap Bersekolah

Pastor Romanelli juga mengupayakan anak-anak yang bertahan di Paroki Keluarga Kudus agar tetap bisa bersekolah. “Kami telah mencoba untuk mendirikan sebuah oratorium (semacam kapel yang dimiliki oleh komunitas biara, red.) dan menjamin mereka memiliki aktivitas yang mirip dengan sekolah,” cerita pastor tersebut.

Menurut data dari Pastor Romanelli, ada 180 anak-anak yang dapat kembali bersekolah, baik yang beragama Katolik maupun Ortodoks, meskipun dalam kondisi khusus.

Situasi di Gaza juga membuat pihak paroki memodifikasi gedung sekolah sedemikian rupa agar keluarga anak-anak tersebut juga dapat tidur di area sekolah.

Suster-suster Incarnate Word juga terlibat membantu mengajar anak-anak di biara kecil mereka. Para suster pun telah mengubah ruang makan, dapur, dan ruang tamu untuk menjadi ruang kelas. Mereka telah menambahkan area beratap kayu sederhana di area taman.

Di biara tersebut, anak-anak dapat mengambil kelas agama Kristen, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, matematika, dan sains.

“Kami juga menghubungi Kementerian Pendidikan Palestina, dan otoritas Ramallah memberi kami kesempatan untuk mempersiapkan anak-anak menghadapi ujian agar mereka bisa lulus,” kata Pastor Romanelli.

 

Kekurangan Logistik

Kemudian Pastor Romanelli menyebutkan bahwa situasi yang dihadapi umat Kristiani sama seperti orang lainnya di Gaza. Mereka kekurangan segalanya, terutama air minum dan layanan kesehatan.

Namun, berkat bantuan yang disalurkan oleh Patriarkat Latin Yerusalem, mereka masih bisa membawa makanan yang lantas didistribusikan ke seluruh paroki. Hanya saja, jumlah bantuan yang datang tetap belum bisa memenuhi besarnya kebutuhan umat.

Beberapa apotek kecil juga telah didirikan di Paroki Keluarga Kudus dengan bantuan Caritas Yerusalem, bersama dengan satu-satunya rumah sakit yang masih aktif, Rumah Sakit Anglikan.

 

Tetap Bertahan

Pun dengan kondisi yang mengenaskan, Pastor Romanelli menegaskan Tanah Suci membutuhkan kehadiran umat Kristiani di Gaza. Ia pun meyakini bahwa tetap akan ada umat Kristiani yang bertahan di Gaza, walau kehidupan di Gaza demikian sulit bagi semua orang yang bertahan di dalamnya.

“Bahkan sebelum ini, Gaza adalah tempat yang sulit untuk ditinggali. Beberapa orang memilih untuk pergi, dan saya memahami keputusan mereka,” ujar Pastor Romanelli.

Setahun yang lalu, data menunjukkan terdapat 1.017 umat Kristiani di Gaza jika semua denominasi Kristen digabungkan. Komunitas Katolik adalah yang terkecil, karena jumlah umat Katolik hanya 135 orang, termasuk para biarawati.

Namun sejak 7 Oktober 2023, Gaza telah kehilangan 30% komunitas Kristen. 300 orang masih sempat melarikan diri ke Mesir pada awal eskalasi konflik. Sementara itu, 43 orang tewas, baik karena keterbatasan perawatan medis maupun dibunuh oleh tentara Israel.

Sebanyak 20 umat Kristen Ortodoks tewas dalam pengeboman terhadap Gereja St Porphyrios, dan 2 umat Katolik ditembak mati di Paroki Keluarga Kudus. 

“Saya yakin bahwa meskipun ada cobaan berat, komunitas Kristen memiliki panggilan untuk terus memberikan kesaksian di Gaza.” tutur Pastor Romanelli dengan penuh optimisme. 

 

Iman yang Teguh

Imam asal Argentina ini pun melihat bahwa umat ​​Kristen di Timur mempunyai banyak hal untuk diajarkan kepada seluruh dunia. Terutama karena mereka memiliki iman dan keyakinan yang teramat kuat. 

“Saya sendiri adalah orang asing, dan satu hal yang saya pelajari dari mereka setiap hari adalah mereka percaya akan iman mereka. Mereka sangat teguh,” pujinya.

Ia masih meneruskan pujiannya, “Iman bukanlah sebuah perasaan, namun sebuah kepastian. Dan saya pikir umat Kristiani di Timur, yang hidup melalui situasi yang rumit, membuktikan kepada kita bahwa segala sesuatu mungkin terjadi dengan rahmat Tuhan.”

Menurut Pastor Romanelli, umat Kristiani di Gaza siap menghayati imannya tanpa bersembunyi dan tanpa rasa malu, apapun risikonya.

“Kita perlu menemukan kembali kepastian iman ini, dan terutama kegembiraan atas kehadiran nyata Yesus dalam ekaristi. Dialah yang memberi kita kekuatan untuk menghayati iman kita dengan kesederhanaan, bahkan di saat-saat tersulit sekalipun,” tutupnya. (*)

 

Diolah dari wawancara Pastor Gabriel Romanelli dengan Aleteia

Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha

Leave A Reply

Your email address will not be published.