Kisah Anak Asrama: Akses Gadget yang Terbatas

Penghuni asrama bisa mengakses gadget dalam jadwal yang sudah ditentukan, yakni hanya boleh pada hari Sabtu dan Minggu.

0 208
Dorothea Pane Melia

Katolikana.com — Shock pertama saat menjadi penghuni asrama adalah tidak boleh pegang gadget atau HP setiap saat. Aturannya, HP disimpan oleh suster asrama, dan baru boleh digunakan jika sangat diperlukan. Misalnya ketika hendak mengerjakan tugas yang memerlukan koneksi internet.

Penghuni asrama bisa mengakses gadget dalam jadwal yang sudah ditentukan, yakni hanya boleh pada hari Sabtu dan Minggu. Itu pun hanya dalam rentang waktu pukul 11.00 sampai 21.00 WIB pada Sabtu. Sementara untuk Minggu mulai pukul 11.00 sampai pukul 16.00.

Tetapi jika ada suatu kesalahan yang dilakukan oleh satu atau beberapa di antara kami, maka suster biasanya memberi sanksi tidak mendapatkan jatah gadget. Meski kesal, tapi demi semangat kebersamaan dan kedisiplinan, kami harus patuh. Tentu suster punya maksud yang baik di balik sanksi ini.

Pada Senin hingga Jumat, kami hanya boleh menggunakan HP jika harus mengerjakan tugas-tugas sekolah yang memerlukan akses internet. Waktunya pun sangat terbatas.

Di ruang belajar Asrama Putri Santo Dominikus Wonosari.
Foto: Dorothea

Bisa dibayangkan betapa shock-nya saya di masa awal. Saat masih bersama ayah ibu di Pontianak, mereka belum menerapkan jadwal gadget yang ketat. Meski mereka kerap ngomel dan menegur saya jika terlalu asyik scroll medsos. Berbeda dengan adik saya, yang saat ini masih bersekolah di SD, orangtua saya sudah menerapkan aturan yang ketat, yakni dalam sehari hanya boleh dua jam bagi adik saya bermain HP (maaf ya Dek).

Baca juga: Asrama Bagai Bahtera Kehidupan

Tidak bisa saya sangkal, medsos memang menjadi candu. Melihat perkembangan artis idola, fashion terbaru, dance (karena saya suka dance dan pernah menjadi mentor saat masih di Pontianak), dan aneka hiburan lainnya khas anak masa sekarang. Mendapat pembatasan seperti ini, hidup seakan hampa.

Jadi teringat nasehat orangtua, gadget bisa memudarkan jiwa sosial. Seseorang yang terlalu sibuk bermain HP, menjadi tidak peduli akan situasi di sekitarnya. Bahkan bisa lupa waktu. Meski membuat kesal, pelan-pelan saya mulai belajar dan memahami kebenaran nasihat itu.

Ayah saya khususnya, membuat jadwal video conference saban hari Minggu. Maklum, ayah saya terbilang senang berdiskusi serius dengan saya, meski tetap diselingi canda tawa. Maka setiap hari Minggu, pada jam bebas, saya pergi ke sebuah cafe dekat asrama.

Memesan minuman favorit saya, dan menyalakan aplikasi video conference di laptop. Biasanya, saya berbincang dengan ayah hampir dua jam. Sesekali ibu dan adik saya nimbrung. Dengan ayah, perbincangan melalui video conference kadang berubah seperti seminar online! Beliau menambahkan beberapa wawasan dan skill yang harus saya miliki dan kembangkan.

Kebiasaan ini juga membentuk saya untuk terbiasa mengorganisir ide. Jadi kadang-kadang saya membuat catatan memuat poin-poin yang akan kami bahas. Ayah juga begitu, beliau sudah punya catatan tentang apa yang akan kami bahas.

Tapi kadang-kadang, video conference itu jadi ajang curhat. Ayah saya tegas melarang saya pacaran! Meski beliau tahu, hal ini melanggar HAM anak. Tapi mau bagaimana, di usia remaja begini, saya mulai mengalami indahnya rasa cinta yang mulai bersemi. Hanya saja, jika ingat wajah ayah saya yang datar jika saya curhat masalah ini, nyali saya ciut sudah. Begitu posesifnya ayah!

“Sabar saja, ada saatnya kamu boleh pacaran, Nak. Belum sekarang. Fokus belajar dan menambah skill dulu,” selalu begitu penegasan ayah.

Suasana di halaman asrama, acara permainan bersama bocah-bocah
di lingkungan sekitar. Foto: Dorothea

Ah, saya semakin sadar, sesungguhnya ayah saya yang belum terlalu ikhlas melepaskan saya pergi jauh. Terlihat sekali, ayah ingin memastikan saya baik-baik saja. Dan senantiasa meng-upgrade skill saya, terutama di bidang tulis-menulis, vlogging, musik, dan bahasa asing. Ayah saya seorang penulis, jadi dia ingin saya bisa menulis meski tak harus menjalani profesi yang sama kelak.

Sejak SD, ayah saya sudah membiasakan saya menulis di buku harian. Sampai sekarang, buku yang kucel itu masih ayah simpan. Sesekali beliau baca, dan kadang saya malu membaca lucunya tulisan saya ketika masih SD. Tapi, kata ayah saya, dia merasa mengenang kembali saat anak gadisnya ini masih digendong-gendong, gara-gara tulisan tangan saya itu!

Hidup di “rantauan” sebagai penghuni asrama, tanpa gadget setiap saat, kami bisa semakin peka pada situasi sekitar. Membiasakan diri bersosialisasi dengan sesama, fokus pada tiga nilai yakni hidup doa, hidup belajar, dan hidup kerja. Meski dalam pergumulan ini, indahnya story Instagram dan reels tetap menggoda! (*)

 

Penulis: Dorothea Pane Melia, penghuni Asrama Putri “Santo Dominikus” dan pelajar SMA Dominikus Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyuka dance, musik, dan newbie on clasical piano. Suka menulis dan membaca serta vlogging. IG: dorothea.pm

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.