Katolikana.com, Amerika Serikat — Selasa (5/11/2024) merupakan hari penting bagi Amerika Serikat (AS) untuk menentukan siapa yang akan memimpin negeri tersebut empat tahun ke depan. Wakil Presiden petahana, Kamala Harris, dan Presiden ke-45 Donald Trump menjadi dua kandidat utama dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun ini.
Kamala merupakan calon presiden (capres) dari Partai Demokrat. Sedangkan, Trump adalah capres yang dijagokan oleh Partai Republik. Mereka harus mengamankan 270 suara electoral college untuk dapat mengamankan kursi kepresidenan.
Sampai saat ini, perhitungan suara masih berlangsung. Hingga Rabu (6/11/2024) pukul 11.55 WIB, alias Selasa malam pukul 23.55 waktu New York, Trump sementara mengungguli Kamala dengan capaian suara electoral college 230 berbanding 205. Trump masih membutuhkan 40 suara electoral college lagi untuk bisa mengunci kemenangannya atas Kamala.
Persaingan Ketat
Berbagai survei jelang Pilpres AS sudah menggambarkan ketatnya persaingan suara diantara keduanya. Per 31 Oktober 2024, survei The Guardian menunjukkan 48% pemilih AS mendukung Kamala dan 47% condong ke Trump. Bisa dibilang, Pilpres di tahun ini jauh lebih ketat dibandingkan Pilpres 2020 saat Joe Biden mengalahkan Trump, atau Pilpres 2016 kala Trump berhasil mengungguli Hillary Clinton.
Suara para pemilih di swing states akan dinantikan oleh kedua capres ini. Pada umumnya, negara bagian Amerika Serikat merupakan basis utama dari salah satu partai besar di AS, entah Demokrat ataupun Republik. Sedangkan, swing states merujuk pada negara bagian yang dalam beberapa pilpres sebelumnya secara bergantian mengarahkan dukungannya kepada capres dari Demokrat dan Republik.
Secara umum, ada tujuh negara bagian yang dikategorikan sebagai swing states dalam konteks Pilpres AS. Negara-negara bagian tersebut adalah yakni Michigan, Wisconsin, Pennsylvania, Nevada, Arizona, North Carolina, dan Georgia.
Signifikan dan Vokal
Berdasarkan Sensus Penduduk AS tahun 2020, terdapat 61,9 juta penduduk Katolik di AS, alias 18% dari total populasi negeri tersebut. Sementara, dari catatan National Catholic Register, populasi umat Katolik di AS masih didominasi oleh Katolik kulit putih. Lengkapnya, 57% umat Katolik AS merupakan kulit putih, 33% Hispanik, 4% Asia, dan 2% kulit hitam, serta 3% ras lainnya.
Besarnya persentase populasi Katolik membuat mereka merupakan minoritas yang signifikan dalam lanskap politik AS. Mengamankan suara para pemilih Katolik merupakan faktor penentu yang krusial dalam peta kontestasi yang ketat seperti pada Pilpres AS 2024.
Gereja Katolik di AS juga relatif vokal dalam berbagai isu publik yang berkaitan dengan pandangan resmi Gereja Katolik, misalnya dalam isu aborsi. Setiap capres yang ingin menggalang dukungan dari Gereja Katolik selalu harus mampu bersikap diplomatis untuk menyikapi isu sensitif ini.
Secara mutlak, Gereja Katolik menolak aborsi (pro-life). Sebaliknya, banyak kalangan progresif AS yang hari ini mengecam sikap kaku Gereja Katolik atas aborsi. Berlawanan dengan Gereja Katolik, mereka mendorong pemerintah membuat regulasi yang memungkinkan perempuan dapat melakukan aborsi atas kehamilan yang tidak diinginkan (pro-choice).
Pengaruh Gereja Katolik dalam gelaran Pilpres AS juga tampak kentara dalam acara penggalangan dana elit yang diadakan tiap tahun oleh Keuskupan Agung New York, yakni Alfred E. Smith Memorial Foundation Dinner atau biasa dikenal dengan Al Smith Dinner. Penggalangan dana ini rutin diselenggarakan tiap Kamis ketiga pada bulan Oktober.
Pada setiap tahun politik, ada semacam tradisi bahwa Al Smith Dinner menjadi “medan kampanye” terakhir yang dihadiri oleh dua kandidat utama capres AS, baik dari Partai Demokrat maupun Partai Republik. Dalam momen tersebut, biasanya kedua kandidat akan saling melemparkan roasting satu sama lain.
Namun pada Al Smith Dinner tahun ini, Kamala memilih untuk tidak hadir. Trump menyindir absennya Kamala sebagai bukti Kamala tidak menghargai Gereja Katolik. Sebagian kalangan menyebut, Kamala memilih untuk tidak hadir dalam Al Smith Dinner karena ada ketegangan terselubung antara dirinya dan Gereja Katolik dalam isu aborsi.
Pemilih Katolik Tidak Anti-Trump
Pada bulan Maret 2024, Pew Research Center juga menyebut bahwa umat Katolik AS secara umum tidak memiliki antipati terhadap Trump. Kondisi ini memperkuat basis pemilih Trump yang sudah kuat di kalangan konservatif Protestan—alias basis suara tradisional Partai Republik.
Notabene, temuan ini dirilis sebelum Presiden petahana Joe Biden (yang beragama Katolik) memutuskan mundur sebagai kandidat capres Partai Demokrat pada Juli 2024. Maka, hasil riset ini menjadi faktor pembeda yang signifikan dibandingkan Pilpres 2020. Apalagi di tahun ini, Trump menggandeng J.D. Vance, seorang Katolik, sebagai calon wakil presidennya.
Pada gelaran Pilpres empat tahun silam, Joe Biden (dan Kamala Harris) berhasil menggalang dukungan yang cukup kuat dari segmen pemilih Katolik. Biden pun kemudian berhasil menjadi presiden Katolik kedua di AS, setelah J.F. Kennedy melakukan hal yang sama di dekade 1960-an.
Baca juga: Pemilu AS, Joe Biden Menang: Menjadi Presiden AS Katolik Kedua setelah John Kennedy
Dalam laporan bertajuk “5 Fakta tentang Agama dan Pandangan Amerika terhadap Donald Trump”, Pew mensurvei sejumlah kelompok religius Kristen dan menanyakan beberapa pertanyaan terkait Trump. Di survei ini, umat Katolik AS diwakili oleh kelompok terbesarnya, yakni Katolik kulit putih.
Temuan Pew menyebutkan bahwa diantara umat Katolik kulit putih, 51% dari mereka menyukai profil Trump. Lantas dalam pertanyaan berikutnya, yang lebih spesifik menyasar umat Kristen yang religius, tingkat penerimaan terhadap Trump semakin naik. Sebanyak 54% umat Katolik kulit putih yang “pergi ke gereja, setidaknya sebulan sekali” mengakui mereka suka dengan sosok Trump.
Riset ini pun mengungkapkan tingginya tingkat kesukaan terhadap Trump tersebut, bukan dikarenakan umat Katolik melihat Trump sebagai pribadi yang religius. Bahkan, kebanyakan orang Katolik (baik kulit putih maupun secara umum) tidak menganggap Trump religius. Dalam riset tersebut, hanya 11% umat Katolik saja yang beranggapan Trump adalah seorang religius.
Namun demikian, mayoritas dari umat Katolik tersebut percaya bahwa sosok Trump yang tidak religius dapat membela nilai-nilai religius yang mereka yakini. (*)
Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha