Oleh Diah Kristanti, Warga Paroki Santo Yusup, Jember
Katolikana.com – Akhir-akhir ini topik childfree – pasangan menikah yang memutuskan tidak memiliki anak sedang ramai diperbincangkan di antara muda-mudi dan pasangan muda. Saya pun ingin ikut menanggapi topik tersebut dari perspektif saya sebagai perempuan dan ibu dari tiga orang anak.
Tulisan ini bukan untuk menyalahkan pandangan atau menjugde apa yang mereka percayai tentang childfree. Ini hanya refleksi pribadi tentang suka duka menjadi seorang ibu. Semoga refleksi ini memberikan inspirasi bagi kita.
Bagi saya, keputusan untuk tidak memilih childfree adalah langkah yang tepat, meskipun berat, namun memberikan kebahagiaan yang luar biasa. Saya merasa, hidup saya tidak hanya penuh warna, tetapi juga penuh cerita dan pelajaran yang membuat terus berkembang sebagai individu. Tak terbayangkan apabila saya memutuskan childfree, mungkin saya akan terjebak dalam hidup yang hanya ada hitam dan putih.
Anak-anak membuat hidup saya penuh warna, penuh tawa, dan penuh cerita. Setiap langkah kecil mereka, keberhasilan yang mereka capai, bahkan setiap tantangan yang mereka hadapi, semuanya menjadi bagian dari mosaik hidup yang tak ternilai. Bagi saya, menjadi ibu adalah panggilan yang indah, meski tak selalu mudah.
Sebagai seorang ibu dengan tiga orang anak yang beranjak dewasa, masing-masing, si sulung putri di SMA Kelas X, yang kedua remaja putri di Kelas VII, sedang yang bungsu seorang putra di Kelas 1 SD.
Dengan jarak yang demikian, tentunya saya merasakan dinamika kehidupan yang penuh warna. Ada tantangan tersendiri dalam mengelola waktu, perhatian, dan kasih sayang kepada masing-masing anak, yang memiliki kebutuhan berbeda-beda sesuai usia mereka. Namun, saya sungguh bersyukur kepada Tuhan atas anugerah yang luar biasa, boleh menjalani hidup dengan anak-anak yang manis.
Si sulung, dengan kedewasaannya, sering kali menunjukkan pengertian yang luar biasa. Pernah suatu hari saya lupa menyiapkan bekal untuknya karena sibuk mengurus si bungsu yang sakit. Saya meminta maaf, tetapi ia hanya tersenyum dan berkata, “Nggak apa-apa, Bu. Aku bisa beli makanan di kantin kok. Yang penting adik cepat sembuh.” Kata-kata itu membuat saya sadar betapa ia mampu mengisi kekurangan saya dengan pengertian dan kedewasaannya.
Anak kedua, dengan sifat cerianya, selalu berhasil menghibur saya di saat-saat sulit. Pernah suatu kali saya terlihat sangat lelah setelah menghadapi hari yang berat, dan ia tiba-tiba datang dengan membawa gambar lucu yang ia buat. Ia berkata, “Ini untuk Bunda, biar senyum lagi.”
Hal sederhana seperti itu mengajarkan saya bahwa kebahagiaan bisa datang dari hal kecil, dan kehadiran anak-anak membuat saya terus berusaha untuk menjadi lebih baik.
Sementara itu, si bungsu, meskipun masih kecil, memiliki cara sendiri untuk melengkapi kekurangan saya. Ketika saya kehilangan kesabaran karena ia terlalu lama membereskan mainannya, ia dengan polos berkata, “Bunda, aku pelan-pelan biar rapi.” Kalimat itu membuat saya tersadar bahwa saya perlu lebih sabar, lebih menghargai proses, bukan hanya hasil.
Membersamai tumbuh kembang anak-anak merupakan sebuah perjalanan yang berharga bagi saya. Mungkin ada saat-saat saya merasa lelah, ketika menghadapi tuntutan pekerjaan, mengurus rumah, dan mendampingi anak-anak belajar.
Namun, hari demi hari saya menemukan bahwa lebih banyak sukanya dibanding dukanya. Saya percaya Tuhan mengirimkan anak-anak dalam hidup saya ini untuk mengajarkan arti cinta tanpa syarat, kesabaran, dan kebijaksanaan.
Saya tidak menyangkal bahwa menjadi seorang ibu adalah perjalanan yang penuh tantangan. Namun, di balik semua itu, saya juga menemukan makna hidup yang mendalam. Anak-anak saya adalah pengingat bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar. Kadang, kebahagiaan hadir dalam tawa kecil mereka, dalam pelukan mereka, atau dalam kehadiran mereka yang tak tergantikan.
Anak-anak saya, dengan segala karakter unik mereka, melengkapi kelemahan saya sebagai ibu. Mereka mengajarkan saya untuk lebih memahami, lebih sabar, dan lebih menerima diri sendiri. Meskipun saya sering kali merasa tidak cukup baik, pelukan mereka, tawa mereka, dan kata-kata kecil penuh cinta dari mereka selalu mengingatkan saya bahwa bagi mereka, saya adalah ibu terbaik yang mereka miliki.
Sebagai seorang ibu, saya tidak pernah merasa sempurna, ada saat saya merasa kurang sabar, kurang memahami, atau bahkan merasa tidak cukup hadir untuk anak-anak saya. Namun, di saat-saat seperti itu, justru anak-anaklah yang mengingatkan saya bahwa kelemahan saya bukanlah akhir dari segalanya, melainkan bagian dari proses untuk menjadi lebih baik.
Ada pula momen reflektif ketika saya merenungi perjalanan hidup saya sebagai ibu. Saya menyadari, setiap anak tidak hanya mengajarkan saya untuk menjadi ibu yang lebih baik, tetapi juga menjadi pribadi yang lebih kuat.
Anak-anak saya menunjukkan bahwa cinta sejati tidak menuntut balasan. Ketika mereka memeluk saya dengan hangat di akhir hari yang melelahkan, itu sudah cukup untuk menyembuhkan semua rasa lelah saya.
Sungguh sebuah momen indah bagi saya ketika anak-anak datang dan berbicara mendalam (deep talk) bersama saya tentang hal-hal random yang mereka alami sepanjang hari itu.
Hal ini menjadi pengalaman iman yang mengingatkan saya bahwa sebagaimana saya bahagia ketika anak-anak selalu datang, bercerita berbagai hal, dan mendengarkan pesan saya untuk mereka, begitu pula Allah Bapa selalu menantikan kita datang pada-Nya dalam keheningan doa agar kita dapat mencurahkan isi hati kita dan mendengar suara-Nya.
Melalui doa, kita dapat memiliki waktu yang intim bersama Bapa dalam devosi yang penuh kasih. Hubungan saya dan anak-anak seharusnya mencerminkan hubungan saya dengan Bapa.
Salah satu pelajaran mendalam yang saya ambil adalah dari kisah Maria dan Marta dalam Lukas 10:38-42. Kisah ini memberikan pelajaran tentang prioritas dalam kehidupan, terutama mengenai hubungan dengan Tuhan. Di tengah segala kesibukan yang saya alami sebagai ibu, saya diingatkan, memilih duduk diam dan mendengar Tuhan adalah bagian terbaik yang tidak akan diambil dari kita.
Pada akhirnya, menjadi ibu bukanlah tentang menjadi sempurna. Melainkan, tentang menerima ketidaksempurnaan itu dengan rendah hati dan membiarkan anak-anak membantu saya tumbuh.
Saya percaya, Tuhan mengirimkan mereka bukan hanya untuk saya bimbing, tetapi juga untuk membimbing saya menjadi pribadi yang lebih baik. Anak-anak saya adalah hadiah yang bermakna mendalam bagi hidup saya.
Melalui mereka, saya semakin menyadari betapa Tuhan selalu hadir dengan cinta dan kesabaran-Nya. Jadi, jika masih ada muda-mudi Katolik yang berpikir untuk childfree, jangan dek ya…
Editor: Basilius Triharyanto
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.