Kasus Gus Miftah dan Pembedaan Roh

Pelajaran tentang Etika Publik dan Kebaikan Bersama

0 214
Susy Haryawan (Dok. pribadi)

Katolikana.com—Beberapa waktu lalu, dunia maya dihebohkan oleh peristiwa yang melibatkan Gus Miftah, seorang ulama sekaligus pejabat negara. Dalam sebuah pengajian yang dihadiri ribuan jamaah, Gus Miftah terekam menggunakan kata-kata kasar kepada seorang penjual es teh. Insiden ini memicu polemik, dengan opini publik yang terbelah antara pembelaan dan kecaman. Pertanyaannya, bagaimana kita memaknai peristiwa ini di tengah masyarakat yang semakin terpolarisasi?

Bagi sebagian pihak, tindakan Gus Miftah dianggap sebagai candaan biasa. “Ia memang kerap berbicara ceplas-ceplos,” ujar seorang pendukungnya. Namun, banyak juga yang menganggap perilaku tersebut tidak pantas dilakukan oleh seorang pemimpin keagamaan, terlebih di hadapan massa yang besar. Kata-kata kasar itu dianggap sebagai penghinaan yang menciderai martabat orang lain, apalagi datang dari seorang pejabat publik.

Desakan agar Gus Miftah mundur dari jabatannya pun muncul. Argumen utama para pendukung langkah ini adalah pentingnya menjaga integritas dan teladan seorang figur publik. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa insiden ini tidak perlu dibesar-besarkan, dan pengunduran diri bukanlah solusi yang proporsional.

Ilustrasi: AI

Viralitas: Pisau Bermata Dua

Kasus ini mencerminkan fenomena gunung es di era digital. Viralitas sering kali dipersepsikan sebagai kebenaran atau kesalahan mutlak. Opini publik yang terbentuk melalui arus media sosial cenderung memicu polarisasi tanpa memberikan ruang untuk refleksi mendalam. Padahal, viralitas bukanlah ukuran kebenaran.

Dalam hidup bermasyarakat, diperlukan parameter yang jelas untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pancasila dan UUD 1945 seharusnya menjadi pedoman utama bagi masyarakat Indonesia. Sebagai umat beriman, kita juga diajak untuk mencermati gerak Roh dalam tindakan kita—apakah itu mengarah pada kebaikan bersama atau justru memperkeruh suasana.

Pembedaan Roh sebagai Panduan Etika

Tradisi Gereja Katolik mengenal konsep discernment of spirits atau pembedaan roh, yang dapat menjadi panduan dalam menilai suatu tindakan. Prinsip-prinsip ini relevan untuk memahami kasus Gus Miftah:

  1. Dampak Tindakan
    Tindakan yang membawa kebaikan bagi banyak orang adalah tanda dari Roh Baik. Sebaliknya, jika menimbulkan luka atau kebingungan, perlu ditinjau lebih dalam. Dalam kasus ini, apakah kata-kata Gus Miftah membawa manfaat atau justru mencederai hubungan sosial?
  2. Tidak Menyakiti Orang Lain
    Prinsip ini menekankan pentingnya tidak melukai sesama. Jika ucapan atau tindakan kita menyinggung hati orang lain, itu adalah sinyal perlunya refleksi lebih mendalam.
  3. Membawa Kedamaian atau Konflik
    Roh Jahat sering memanfaatkan situasi untuk menciptakan kebingungan dan konflik. Apakah tindakan tersebut mengarah pada harmoni atau justru memperkeruh suasana?
  4. Menghindari Egoisme dan Kesombongan
    Membela diri tanpa introspeksi bisa menjadi jebakan kesombongan. Tindakan Gus Miftah perlu ditelaah—apakah didasari niat tulus atau sekadar mempertahankan citra?

Menata Ulang Etika Publik

Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, masyarakat Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjunjung nilai-nilai kebersamaan dan keadilan. Insiden ini seharusnya menjadi momentum refleksi bagi semua pihak, termasuk pejabat publik, untuk kembali meneguhkan nilai-nilai etika dalam ruang publik.

Etika publik menuntut penghormatan terhadap martabat manusia, tanpa memandang latar belakang. Kehidupan bersama di masyarakat yang majemuk membutuhkan sikap rendah hati dan kesediaan untuk belajar dari kesalahan. Tindakan yang didasari cinta kasih dan penghormatan terhadap sesama akan membawa kebaikan yang lebih luas.

Kasus Gus Miftah mengingatkan kita bahwa viralitas tidak seharusnya menjadi pengadilan atas benar atau salah. Sebagai individu dan komunitas, kita perlu memeriksa setiap tindakan—apakah itu mencerminkan nilai kebaikan bersama atau justru egoisme yang merusak.

Dalam konteks iman, pembedaan roh bukan hanya alat untuk menentukan benar atau salah, tetapi juga panduan untuk memilih jalan yang membawa damai dan harmoni. Mari menjadikan setiap tantangan sebagai peluang untuk membangun masyarakat yang lebih adil, damai, dan saling menghormati.

Parate Viam Domini—Siapkanlah jalan Tuhan, tidak hanya dalam hati kita, tetapi juga dalam relasi sosial yang kita bangun setiap hari.

Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.