
Katolikana.com—Di dunia yang serba instan, manusia diajarkan untuk menghindari penderitaan, tetapi Yesus justru memeluk salib demi keselamatan umat manusia.
Jalan Salib bukan sekadar ritual, melainkan perjalanan cinta terbesar yang pernah ada. Namun, dari mana asal-usulnya, dan mengapa devosi ini tetap relevan hingga sekarang?
Setiap Jumat di masa Prapaskah, umat Katolik di seluruh dunia menjalani Jalan Salib dengan doa dan perenungan. Devosi ini bukan hanya ekspresi pribadi, tetapi sebuah perjalanan rohani yang menghidupkan kembali jejak Kristus di Via Dolorosa, jalan penderitaan yang Ia tempuh menuju Kalvari.
Setiap langkah dan setiap perhentian menjadi cerminan kasih-Nya yang tak terukur, sekaligus undangan bagi umat beriman untuk menyelami misteri pengorbanan-Nya, memahami makna penderitaan, dan meneguhkan harapan akan kebangkitan.
Asal-Usul Devosi Jalan Salib
Tradisi Jalan Salib berakar sejak awal Kekristenan, ketika para murid pertama dan umat Kristen di Yerusalem mengenang sengsara Yesus dengan menelusuri kembali jalan yang Ia lalui menuju Golgota.
Bagi mereka, ini bukan sekadar mengenang peristiwa tragis, melainkan pengalaman iman yang menghidupkan kembali misteri keselamatan.
Perkembangan devosi ini semakin kuat ketika Kaisar Konstantinus melegalkan agama Kristen melalui Edik Milano pada tahun 313. Ibunya, Santa Helena, yang sangat berdevosi kepada Kristus, melakukan ziarah ke Tanah Suci pada tahun 326 dan menemukan tempat-tempat suci terkait kehidupan Yesus, termasuk lokasi penyaliban dan makam-Nya.
Atas dorongan Santa Helena, Basilika Makam Kudus dibangun pada tahun 335, menjadikan ziarah ke Yerusalem semakin populer.
Namun, pada abad ke-7, ketika Kekhalifahan Islam menguasai Tanah Suci, ziarah ke Yerusalem menjadi semakin sulit bagi umat Kristen. Meski demikian, semangat untuk merenungkan sengsara Kristus tidak padam.
Muncullah praktik membangun perhentian Jalan Salib di berbagai tempat di Eropa, memungkinkan umat yang tidak bisa pergi ke Yerusalem tetap mengalami devosi ini di lingkungan mereka sendiri.
Peran Ordo Fransiskan
Penyebaran luas devosi ini tidak lepas dari peran Ordo Fransiskan. Pada abad ke-13, Paus Klemens VI memberikan kepercayaan kepada para Fransiskan untuk menjaga dan merawat tempat-tempat suci di Yerusalem.
Para biarawan Fransiskan yang kembali ke Eropa membawa serta tradisi ini dengan mendirikan replika perhentian Jalan Salib di gereja-gereja, biara-biara, dan bahkan di ruang terbuka agar umat dapat mengenang penderitaan Kristus secara lebih mendalam.
Salah satu tokoh yang berperan besar dalam mempopulerkan devosi ini adalah Santo Leonardus dari Porto Mauricio (1676-1751). Ia mendirikan lebih dari 500 Jalan Salib di berbagai tempat di Eropa, termasuk yang paling terkenal di dalam Basilika Santo Petrus di Vatikan.
Berkat usahanya, pada tahun 1731, Paus Klemens XII secara resmi menetapkan bahwa setiap gereja boleh memiliki perhentian Jalan Salib dengan jumlah yang tetap, yakni 14 perhentian, dari pengadilan Yesus di hadapan Pilatus hingga pemakamannya.
Jalan Salib di Dunia Modern
Pada abad ke-19 dan ke-20, devosi ini semakin berkembang dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan rohani umat Katolik. Berbagai komunitas dan kelompok doa mulai menyesuaikan Jalan Salib dengan renungan yang lebih kontekstual, menghubungkannya dengan penderitaan yang dialami manusia di dunia modern.
Misalnya, di masa perang dan penindasan, Jalan Salib dijadikan sarana untuk merenungkan penderitaan akibat kelaparan, konflik, dan ketidakadilan. Paus Yohanes Paulus II bahkan memperkenalkan perhentian tambahan yang lebih Alkitabiah, menampilkan peristiwa-peristiwa seperti Yesus di Taman Getsemani dan pengkhianatan Yudas.
Namun, di dunia yang semakin mendewakan kenyamanan dan kemakmuran, Jalan Salib menjadi suara yang mengingatkan bahwa penderitaan adalah bagian dari kehidupan. Devosi ini mengajarkan bahwa melalui penderitaan, manusia dapat menemukan makna dan kedekatan dengan Allah.
Berbeda dengan teologi kemakmuran yang berkembang dalam beberapa denominasi Protestan—yang mengajarkan bahwa iman sejati membawa kesuksesan materi dan kesehatan jasmani—Jalan Salib menunjukkan bahwa Kristus sendiri memilih jalan penderitaan bukan karena kelemahan, tetapi karena kasih.
Teologi kemakmuran mengajarkan bahwa penderitaan adalah tanda kurangnya iman. Sebaliknya, Jalan Salib menegaskan bahwa justru dalam penderitaanlah seseorang menemukan rahmat Allah yang paling mendalam.
Ketika Simon dari Kirene membantu Yesus memikul salib, kita diingatkan bahwa salib bukan untuk ditolak, tetapi untuk dipikul bersama. Ketika Yesus jatuh berulang kali, kita melihat bahwa bahkan dalam kegagalan dan kejatuhan, ada rahmat yang mengangkat kita kembali.
Panggilan untuk Solidaritas Sosial
Di dunia yang serba instan dan ingin menghapus rasa sakit secepat mungkin, Jalan Salib mengajarkan nilai ketekunan, pengorbanan, dan kasih yang setia hingga akhir. Dalam masyarakat yang semakin individualistis, devosi ini juga menjadi panggilan untuk solidaritas sosial.
Sebab, penderitaan bukan hanya milik pribadi, tetapi juga milik dunia. Ada begitu banyak Via Dolorosa di zaman ini—kemiskinan, ketidakadilan, penganiayaan terhadap orang-orang tak bersalah, dan lain sebagainya.
Di sinilah semangat Jalan Salib menggerakkan Gereja untuk bertindak, bukan hanya berdoa tetapi juga melayani. Gereja dipanggil untuk membawa penghiburan bagi mereka yang menderita, menolong mereka yang tertindas, dan menjadi saksi kasih Kristus dalam tindakan nyata.
Sejak abad ke-4, Gereja Katolik selalu berusaha mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, klinik, panti asuhan, rumah singgah bagi gelandangan, serta berbagai lembaga amal di seluruh dunia. Inilah Jalan Salib Yesus yang mengajarkan panggilan untuk solider dengan penderitaan manusia dalam berbagai wujud dan bentuk.
Indulgensi dan Manfaat Rohani
Di berbagai belahan dunia, devosi Jalan Salib berkembang dalam berbagai bentuk. Di Filipina dan beberapa negara Amerika Latin, perayaan ini diadakan dalam bentuk drama hidup atau Via Crucis Viviente, di mana umat memainkan peran sebagai Yesus, Maria, para prajurit Romawi, dan tokoh lainnya.
Dalam tradisi Gereja, mengikuti Jalan Salib dengan devosi yang tulus dapat memperoleh indulgensi, suatu anugerah rohani yang menunjukkan betapa besar nilai perenungan ini dalam kehidupan iman.
Jalan Salib bukan hanya mengenang sejarah, tetapi juga sebuah panggilan untuk masuk ke dalam penderitaan Kristus, mengalami bagaimana Salib yang tampak sebagai tanda kehancuran justru menjadi sumber kehidupan dan kemenangan.
Saat umat beriman berdoa dan merenungkan setiap perhentian, mereka tidak hanya melihat Yesus yang jatuh di bawah beban Salib, tetapi juga diri mereka sendiri—dalam kejatuhan, dalam penderitaan, dalam pergulatan hidup yang sering terasa berat.
Namun, pada setiap perhentian ada penghiburan, ada kasih, ada harapan. Sebab, di balik kesedihan Jumat Agung, fajar Paskah telah menanti.
Dan Ia yang telah memikul salib-Nya dengan kasih yang tak terbatas kini berjalan di samping kita, mengundang kita untuk mengikuti-Nya, bukan dengan ketakutan, tetapi dengan iman yang teguh. Sebab, seperti Dia, kita pun akan menang bersama-Nya. (*)
Guru Pendidikan Agama Katolik di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto. Penggagas Gerakan Katakan dengan Buku (GKdB), Anggota Pustaka Bergerak Indonesia, Pendiri Sa’o Pustaka dan beberapa Taman Baca serta pegiat literasi nasional. Lewat GKdB penulis menggerakan masyarakat baik secara pribadi maupun komunitas dalam mendonasikan buku untuk anak-anak di seluruh Indonesia. Guru Motivator Literasi (GML) tahun 2021.