
Katolikana.com—Beberapa hari lalu, sebuah unggahan di media sosial menarik perhatian saya. Unggahan tersebut membahas perbedaan mendasar antara kebaikan dan kesadaran, yang ternyata memiliki esensi dan motivasi yang sangat berbeda.
Dalam refleksi ini, penulis menyebutkan tiga poin utama yang membedakan keduanya.
Pertama, kebaikan berangkat dari eksternal, kesadaran muncul dari dalam.
Orang baik sering kali melakukan kebaikan tanpa benar-benar memahami alasan mendasar dari tindakan mereka. Mereka mungkin berbuat baik karena tuntunan agama, dogma, norma sosial, atau aturan yang mereka yakini. Banyak orang melakukan perbuatan baik dengan harapan mendapat pahala, masuk surga, atau sekadar menghindari hukuman seperti neraka.
Namun, ketika ditanya mengapa mereka berbuat baik, sebagian besar akan kebingungan atau hanya mampu menjawab bahwa mereka melakukannya demi pahala atau balasan.
Jika suatu saat tidak mendapatkan apresiasi, pujian, atau balasan yang diharapkan, mereka bisa merasa kecewa. Sikap seperti ini disebut sebagai do ut des, yaitu memberi agar mendapatkan sesuatu sebagai balasannya.
Di beberapa tradisi, misalnya dalam budaya tertentu, berderma atau memberi sedekah dilakukan dengan keyakinan bahwa kelak akan mendapat balasan yang lebih besar.
Dalam iman Katolik, pemahaman ini perlu diluruskan. Sebab, dalam ajaran Kristiani, perbuatan baik seharusnya dilakukan bukan karena mengharapkan balasan, melainkan sebagai respons atas kasih Allah yang terlebih dahulu diberikan kepada kita.
Orang yang bertindak dengan kesadaran memahami bahwa melakukan kebaikan adalah sebuah keharusan moral, bukan alat untuk mendapatkan keuntungan.
Mereka tidak mengharapkan imbalan, tidak kecewa jika tidak mendapatkan balasan, dan tidak berbuat baik demi dipandang oleh orang lain. Kesadaran ini lahir dari pemahaman yang mendalam bahwa manusia dipanggil untuk berbagi kebaikan, sebagaimana Allah telah lebih dahulu mengasihi kita.
Kedua, motivasi: Kebaikan dipengaruhi dari luar, kesadaran berasal dari dalam.
Motivasi menjadi pembeda yang signifikan antara orang yang sekadar baik dan orang yang sadar. Orang baik biasanya termotivasi oleh faktor eksternal—ingin mendapat pujian, menghindari hukuman, atau berharap ada balasan dari kebaikan yang mereka lakukan.
Jika kebaikan mereka tidak dihargai atau tidak menghasilkan sesuatu yang diharapkan, mereka cenderung kecewa atau bahkan berhenti berbuat baik.
Sebaliknya, orang yang memiliki kesadaran tidak mudah goyah dalam melakukan kebaikan. Mereka tidak bergantung pada reaksi orang lain. Mereka tetap berbuat baik meskipun tidak mendapatkan pengakuan atau apresiasi.
Seseorang yang benar-benar sadar dalam kebaikannya tidak merasa perlu mengumumkan perbuatan baiknya atau mengharapkan imbalan apa pun.
Sikap ini mencerminkan kematangan emosional dan spiritual. Mereka yang memiliki kesadaran memahami bahwa kebaikan bukanlah alat untuk mendapatkan sesuatu, melainkan panggilan untuk memberikan manfaat bagi sesama tanpa syarat.
Ketiga, pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan lingkungan.
Orang yang memiliki kesadaran lebih luas dalam memahami dirinya sendiri dan lingkungannya dibandingkan mereka yang sekadar baik. Mereka mampu melihat kebutuhan dan penderitaan orang lain tanpa harus dikotak-kotakkan oleh batasan-batasan sosial, agama, atau budaya.
Orang baik mungkin masih membatasi tindakan kebaikannya hanya kepada orang-orang tertentu. Misalnya, mereka hanya membantu orang dari kelompoknya, agamanya, atau komunitasnya. Padahal, jika demikian, kebaikan itu belum bersifat universal, masih bersifat sektarian.
Sementara itu, orang yang sadar tidak membeda-bedakan siapa yang layak menerima kebaikan. Mereka tidak menanyakan asal-usul, latar belakang, atau keyakinan seseorang sebelum memutuskan untuk menolong.
Contohnya, dalam dunia medis, pernah ada perdebatan mengenai apakah dokter dan perawat harus menangani pasien yang seagama dengan mereka. Jika seseorang mengalami kecelakaan dan membutuhkan pertolongan segera, apakah harus mencari dokter yang seagama terlebih dahulu? Pemikiran seperti ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Orang yang hanya berbuat baik sering kali masih terjebak dalam fanatisme atau eksklusivitas. Mereka lebih fokus pada perbedaan daripada persamaan. Sebaliknya, mereka yang memiliki kesadaran melihat setiap manusia sebagai saudara tanpa memandang identitasnya. Inilah esensi dari kebaikan yang sejati.
Mengapa Kesadaran Lebih Penting daripada Sekadar Kebaikan?
Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak orang masih terjebak dalam konsep kebaikan yang transaksional—berbuat baik dengan harapan mendapat balasan. Padahal, dunia membutuhkan lebih banyak orang yang sadar akan kemanusiaan dan keadilan, bukan sekadar orang baik yang bertindak karena dorongan eksternal.
Jika kita ingin membangun dunia yang lebih adil dan harmonis, kita perlu melangkah lebih jauh dari sekadar menjadi orang baik. Kita harus menjadi pribadi yang sadar, yang memahami bahwa kebaikan sejati tidak membutuhkan balasan, tidak terbatas oleh batasan sosial, dan tidak didasarkan pada kepentingan pribadi.
Kesadaran adalah kebaikan yang telah matang—kebaikan yang tidak terikat pada imbalan, pujian, atau tuntutan eksternal. Kesadaran adalah ketika seseorang berbuat baik karena ia tahu bahwa itulah yang benar untuk dilakukan, bukan karena ia mengharapkan sesuatu sebagai balasannya.
Mari kita melangkah dari sekadar menjadi baik menuju kesadaran yang lebih dalam, di mana setiap tindakan kebaikan lahir dari cinta tanpa syarat dan pemahaman yang mendalam akan nilai-nilai kemanusiaan. (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.