
Katolikana.com – Pada momen Pilkada Jakarta, November 2024 lalu, perbincangan soal peran perempuan dan budaya patriarki kembali mengemuka.
Salah satu penyebabnya adalah pernyataan kontroversial dari salah satu pasangan calon yang menyarankan para janda menikah dengan pemuda pengangguran demi “mengurangi kemiskinan.”
Pernyataan itu disampaikan dalam format kampanye yang dikemas sebagai lelucon, namun menyinggung martabat perempuan, terutama para janda yang setiap hari berjuang keras menghidupi keluarga mereka.
Lelucon yang dilontarkan dalam forum publik ini mencerminkan mentalitas patriarkis yang masih mengakar kuat di sebagian masyarakat Indonesia. Budaya ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang rentan didiskriminasi, direndahkan, bahkan dijadikan objek candaan yang mengabaikan realitas perjuangan hidup mereka.
Di tengah sorotan tajam ini, umat Katolik diingatkan pada kisah Injil tentang janda miskin yang dipuji Yesus karena memberikan seluruh nafkahnya (lih. Luk 21:1-4).
Dalam pandangan Yesus, nilai seseorang tidak ditentukan oleh status sosial, tetapi oleh ketulusan dan cinta kasihnya. Ia mengangkat martabat janda dan kaum marginal, serta menunjukkan bahwa penghormatan terhadap perempuan bukan hanya penting, tapi juga mendasar dalam spiritualitas Kristiani.
Patriarki dan Egosentrisme
Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan dalam keluarga dan masyarakat. Dalam sistem ini, perempuan kerap dianggap sebagai pelengkap atau sub-ordinat, bukan sebagai pribadi yang mandiri dan setara. Ironisnya, sistem ini masih dianggap “lazim” dalam banyak ruang publik di Indonesia, baik dalam lingkup keluarga, dunia kerja, maupun politik.
Contoh lain dari sikap yang berakar pada ego dan patriarki bisa dilihat dalam narasi yang disampaikan oleh seorang peserta kampanye beberapa waktu lalu. Ia membanggakan dirinya sebagai “kontributor utama” dalam keberhasilan pendidikan istrinya hingga jenjang S2.
Namun, narasi tersebut seakan menghapus perjuangan dan kemampuan sang istri, serta menegaskan bahwa peran suami lebih dominan dalam keberhasilan rumah tangga. Tak hanya itu, pujian terhadap kecantikan istri yang ia sampaikan pun cenderung berfokus pada penampilan fisik semata—bukan pada karakter atau kualitas batin.
Perilaku egosentris seperti ini berbahaya jika terus dibiarkan. Cinta yang sehat seharusnya bertumbuh dari respek dan pengakuan atas keunikan pasangan, bukan dari dominasi atau objektifikasi. Pria yang memiliki kesadaran gender akan melihat perempuan sebagai partner setara, bukan sebagai objek kekaguman atau pemuas ekspektasi sosial semata.
Pendidikan Kesadaran Sejak Dini
Untuk menghentikan siklus patriarki dan egosentrisme, peran keluarga dan pendidikan menjadi sangat penting. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, perlu diajarkan untuk menghargai satu sama lain sejak dini. Mereka harus memahami bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi, bukan untuk saling menguasai.
Orangtua perlu memberikan keteladanan dalam cara mereka memperlakukan pasangan, teman, dan masyarakat. Menghargai kontribusi orang lain, menghindari sikap merendahkan, dan tidak menganggap diri sebagai pusat dunia adalah sikap yang perlu ditanamkan sejak kecil. Seperti sabda Yesus, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Mat 20:26).
Budaya apresiasi pun harus ditumbuhkan. Puji orang di hadapan umum, dan jika ingin memberi koreksi, lakukanlah dengan hormat secara pribadi. Dengan membiasakan diri menghormati orang lain—terutama perempuan—kita membantu membentuk generasi yang lebih sehat secara relasi dan spiritual.

Perempuan Harus Tetap Berdaya
Kepada seluruh perempuan Indonesia: kalian berharga di mata Tuhan. Jangan biarkan dunia merendahkanmu karena status, peran, atau pilihan hidupmu. Jadilah pribadi yang tangguh, berdaya, dan mampu menentukan arah hidup sendiri dengan cinta dan keberanian. Seperti Bunda Maria yang dipilih Allah karena kesetiaan dan keteguhannya, setiap perempuan memiliki tempat istimewa dalam rencana ilahi.
Kepada laki-laki: belajarlah dari Yusuf, suami Maria. Ia tidak bersuara keras, namun perbuatannya menunjukkan cinta sejati. Ia menghormati Maria, tidak meninggalkannya dalam situasi sulit, dan menunaikan peran sebagai pelindung tanpa harus mendominasi.
Mari Bergerak Bersama
Masyarakat Indonesia yang adil dan bermartabat tidak akan terwujud jika separuh warganya terus-menerus direndahkan atau dibungkam. Maka, mari kita semua—laki-laki dan perempuan—bergerak bersama, membangun budaya baru yang menghargai martabat manusia, menyembuhkan luka sejarah patriarki, dan membuka jalan bagi relasi yang setara dan saling membangun.
Perempuan bukan objek lelucon, bukan pelengkap narasi hidup laki-laki. Mereka adalah saudari kita dalam iman, dalam perjuangan, dan dalam perjalanan menuju bangsa yang lebih adil dan beradab. (*)

Lahir di Bandung, domisili Jakarta. Pemerhati pendidikan, isu sosial, dan psikologi umum. No IG, prefer genuine relationship. Let’s make Indonesia greater than before!