

Oleh T.H. Hari Sucahyo
Katolikana.com—Di tengah dunia yang kian terpecah oleh perbedaan nilai, identitas, dan pandangan hidup, fenomena “perang budaya” muncul sebagai salah satu tantangan moral dan sosial terbesar dewasa ini.
Polarisasi tajam yang dipertontonkan melalui media sosial, wacana politik, bahkan percakapan sehari-hari, memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi kebersamaan kita sebagai umat manusia.
Dalam konteks ini, Gereja Katolik tidak dipanggil untuk menambah suara dalam hiruk-pikuk konfrontasi, melainkan hadir sebagai penyejuk hati yang menawarkan jalan damai, rekonsiliasi, dan dialog.
Gereja tidak hadir untuk menjadi peserta baru dalam pertarungan ideologis, tetapi sebagai pengemban misi kasih Kristus yang melampaui sekat-sekat perbedaan. Bukan dengan memperkeras batas, melainkan dengan membangun jembatan pengertian. Bukan untuk memenangkan debat, melainkan untuk menyembuhkan luka sosial yang menganga.
Luka, Ketakutan, dan Perang Identitas
Perang budaya sesungguhnya bukan sekadar adu argumentasi. Ia tumbuh dari akar yang dalam: luka-luka historis yang belum tersembuhkan, ketakutan akan kehilangan identitas, dan kecemasan menghadapi perubahan sosial yang terlalu cepat. Dalam atmosfer seperti ini, pilihan pastoral Gereja tidak dapat hanya berfokus pada pengulangan dogma atau pernyataan posisi keras.
Sebaliknya, jawaban Gereja adalah empati, kelembutan, dan pendekatan yang penuh pengertian terhadap pergulatan batin manusia. Gereja menyadari bahwa di balik setiap perbedaan, ada kisah manusia yang butuh dijangkau dengan kasih dan pengertian.

Fratelli Tutti: Manifesto Persaudaraan dan Dialog
Paus Fransiskus, dalam ensiklik Fratelli Tutti, menegaskan panggilan Gereja untuk menjadi “pencipta dialog” dan “pembangun jembatan”. Dialog dalam makna terdalam bukanlah taktik kompromi, melainkan panggilan iman untuk mendengarkan, menjumpai, dan memahami yang lain secara sungguh-sungguh. Ini adalah bentuk paling konkret dari kasih Kristiani: kasih yang tidak memaksa, tetapi mengundang dan menyambut.
Inisiatif Gereja di berbagai belahan dunia mencerminkan semangat ini. Mulai dari forum lintas iman, pendidikan multikultural, hingga program sosial lintas batas, Gereja mengupayakan penyembuhan atas logika “kami versus mereka” dan menggantinya dengan logika “kita” sebagai satu keluarga umat Allah.

Menjaga Iman, Tanpa Terjebak Polarisasi
Namun upaya ini bukan tanpa tantangan. Di satu sisi, Gereja kerap dituduh terlalu lunak terhadap nilai-nilai zaman. Di sisi lain, Gereja dinilai terlalu konservatif dan ketinggalan zaman. Gereja berjalan di atas garis tipis: menjaga integritas iman sambil tetap terlibat penuh kasih di tengah dunia yang berubah dengan cepat.
Menjadi Katolik bukan berarti membangun benteng eksklusif, tetapi menjadi terang dan garam di tengah masyarakat. Di sinilah Gereja menolak godaan politik identitas sempit, dan lebih memilih untuk menjadi saksi Kristus yang membawa damai, harapan, dan pengampunan.
Tujuan Gereja bukanlah untuk menang dalam perdebatan ideologis, tetapi untuk membangun budaya kasih dan pengampunan. Sebagaimana diajarkan oleh Yesus, kemenangan sejati bukanlah mengalahkan orang lain, melainkan menyembuhkan hubungan dan menciptakan ruang baru bagi persaudaraan sejati.
Inspirasi dari Para Kudus
Teladan hidup orang-orang kudus menunjukkan bagaimana kasih mengalahkan kekerasan budaya. Santa Teresa dari Kalkuta tidak mengubah dunia melalui orasi, melainkan melalui belaian lembut kepada yang terlupakan. Santo Fransiskus dari Assisi tidak melawan zamannya dengan ideologi, tetapi dengan hidup sederhana dan penuh damai yang justru menyentuh banyak hati.
Mereka tidak memilih jalan perang budaya, melainkan jalan kasih radikal yang menembus batas agama, budaya, dan status sosial.

Menjadi Suara Ketenangan di Tengah Kebisingan
Di era media sosial yang penuh dengan kecaman dan penghakiman instan, kehadiran Gereja sebagai kekuatan rekonsiliasi menjadi makin mendesak. Gereja dipanggil untuk menyuarakan pengampunan ketika dunia mengedepankan dendam, menyalakan harapan saat retorika ketakutan mendominasi.
Melampaui perang budaya adalah percaya bahwa manusia, meski berbeda pandangan, tetap bisa dipersatukan oleh kasih yang lebih besar. Ini bukan sikap naif, tetapi pilihan iman yang berani, bahwa damai bukan hanya mungkin—tetapi mutlak harus diupayakan.
Dengan semangat ini, Gereja Katolik mengajak dunia keluar dari logika polarisasi menuju logika perjumpaan. Kita diajak membangun dunia yang lebih adil, lebih terbuka, dan lebih penuh cinta—dunia di mana kasih lebih kuat dari kebencian, pengampunan lebih kuat dari dendam, dan dialog lebih kuat dari kekerasan.
Karena pada akhirnya, kita semua adalah satu keluarga dalam rumah besar Allah. (*)
Penulis: T.H. Hari Sucahyo, Umat Gereja Santo Athanasius Agung, Paroki Karangpanas, Semarang

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.