Santo Agustinus, Nafsu dan Kesombongan Hidup
Ia bergulat lama, sampai satu momen di taman ketika ia mendengar suara anak kecil menyanyikan, “Tolle lege, tolle lege” (ambil dan bacalah).

0 17
Hari Sucahyo

Oleh T.H. Hari Sucahyo

Katolikana.com—Ada kekosongan dalam hati manusia yang tak dapat diisi oleh apapun di dunia ini, kecuali oleh Allah sendiri. Itulah inti pengakuan terdalam Santo Agustinus dalam Confessiones, karyanya yang monumental.

“Gelisahlah hati kami sampai ia beristirahat dalam Engkau,” tulisnya.

Namun sebelum mencapai kedamaian spiritual itu, Agustinus pernah tenggelam dalam badai nafsu dan kesombongan hidup. Kisahnya menjadi cermin yang relevan bagi manusia modern yang sering terjebak dalam ego, ambisi, dan kesenangan sesaat.

Nafsu yang Mengaburkan Cinta Sejati

Agustinus lahir di Tagaste, Afrika Utara, tahun 354. Ia dikaruniai kecerdasan luar biasa, tetapi juga didera hasrat yang sulit dikendalikan. Hubungan panjangnya di luar pernikahan dan kegemarannya mencari pengakuan duniawi hanyalah sebagian potret kegelisahan spiritualnya.

Bagi Agustinus, nafsu bukan sekadar soal tubuh. Ia lebih dalam: soal cinta yang salah arah. Manusia, katanya, sering kali lebih mencintai ciptaan daripada Sang Pencipta.

Inilah akar dosa: ordo amoris yang keliru, ketika kekayaan, tubuh, dan kehormatan ditempatkan di atas kebenaran dan kekekalan.

Hasrat yang menyimpang bukanlah kekuatan asing, melainkan distorsi dari kerinduan sejati akan Allah. Manusia lapar akan Allah, namun yang dimakan hanyalah abu.

Kesombongan yang Membutakan

Agustinus juga jujur mengakui kesombongannya. Ia mencari popularitas, membanggakan kecerdasannya, dan berusaha menaklukkan dunia dengan retorika. Namun, semua itu justru menjauhkan dirinya dari kebenaran.

Kesombongan, menurutnya, bukan sekadar merasa lebih tinggi dari orang lain, melainkan menempatkan diri di pusat segalanya. Hati yang sombong menolak berserah. Ia ingin menguasai, bukan dituntun. Padahal, bagi Agustinus, iman bukan lawan akal, tetapi prasyaratnya: Credo ut intelligam — aku percaya supaya aku mengerti.

Poin penting dalam perjalanan spiritual Agustinus adalah pengakuannya akan ketidakberdayaan manusia tanpa rahmat Tuhan. Ia menyadari bahwa kehendaknya telah rusak oleh dosa. Dalam kondisi itu, bahkan keinginan untuk berubah pun tidak cukup. Ia butuh sesuatu yang melampaui dirinya: rahmat ilahi.

 Di sinilah Agustinus berselisih dengan pemikir seperti Pelagius, yang beranggapan bahwa manusia dapat mencapai kebaikan dengan kekuatan kehendaknya sendiri. Agustinus menolak pandangan ini karena ia tahu dari pengalaman bahwa kehendak manusia yang dikuasai oleh nafsu dan kesombongan tidak akan membawanya kepada kebebasan sejati.

Pertobatan yang Mengubah Arah Hidup

Pertobatan Agustinus bukan sekejap. Ia bergulat lama, sampai satu momen di taman ketika ia mendengar suara anak kecil menyanyikan, “Tolle lege, tolle lege” (ambil dan bacalah).

Saat membuka Kitab Roma, ia menemukan firman yang menegurnya: “Jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu… Kenakanlah Tuhan Yesus Kristus.” Firman itu mengubah segalanya. Ia dibaptis oleh Santo Ambrosius, meninggalkan karier sekuler, dan menyerahkan hidupnya untuk Tuhan.

Sejak saat itu, ia menyadari bahwa bahkan dosa-dosanya pun dipakai Allah untuk menuntunnya kepada rahmat. Bagi Agustinus, kejahatan bukan entitas, melainkan ketiadaan kebaikan. Nafsu dan kesombongan, jika diarahkan pada Allah, bisa ditransformasi menjadi cinta yang murni dan kerendahan hati yang membebaskan.

Relevansi di Dunia Modern

Di era sekarang, nafsu dibungkus sebagai “kebebasan pribadi” dan kesombongan disebut “pencapaian diri”. Agustinus mengingatkan kita bahwa tanpa rahmat, kehendak manusia rapuh. Ia menolak pandangan Pelagius yang meyakini manusia bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Pengalaman hidupnya menjadi bukti: tanpa rahmat Allah, manusia hanya berputar dalam lingkaran dosa dan ilusi kebahagiaan.

Ajaran Agustinus tetap segar: mengenal kerapuhan diri justru membuka jalan kepada pengenalan Allah. Kekudusan bukan berarti steril dari pergulatan, melainkan keberanian membiarkan kasih Allah bekerja lebih kuat daripada kelemahan kita.

Jalan Pulang untuk Semua Orang

Agustinus menulis, “Cintailah, dan lakukan apa yang kau kehendaki.” Bukan ajakan hidup sembarangan, tetapi penegasan bahwa cinta sejati kepada Allah akan melahirkan tindakan yang benar.

Kisahnya adalah kisah kita semua. Kita bisa tersesat dalam ambisi, nafsu, dan kesombongan, tetapi Allah tidak pernah berhenti memanggil. Seperti Agustinus, kita pun bisa mendengar suara “Tolle lege” hari ini: ambil dan bacalah, dengarkan, dan biarkan rahmat mengubah hidup kita.

Karena pada akhirnya, hati kita hanya akan tenang bila beristirahat dalam Dia. (*)

Penulis: T.H. Hari Sucahyo, Umat Gereja Santo Athanasius Agung, Paroki karangpanas Semarang

Leave A Reply

Your email address will not be published.