Oleh Kristian
Katolikana.com—Di tengah hiruk pikuk dunia digital yang serba cepat, nama Carlo Acutis (1991–2006) kini menggema, bukan hanya di kalangan Gereja Katolik, melainkan juga sebagai suara spiritual yang paling relevan bagi generasi milenial.
Sosoknya adalah bukti nyata bahwa kekudusan tak mengenal batas usia, apalagi batasan teknologi.
Lahir di London pada 3 Mei 1991 dan dibesarkan di Milan, Italia, Carlo datang dari keluarga yang bisa dibilang jauh dari praktik keagamaan yang intens. Namun, sejak usia sangat muda, ia menunjukkan ketertarikan yang luar biasa dan mendalam terhadap iman.
Ketulusan spiritualnya begitu besar hingga mendorong ibunya, Antonia Salzano, untuk kembali mendalami ajaran Katolik agar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan putranya yang tidak biasa. Sebuah ironi yang indah: seorang anak yang justru membimbing orang tuanya kembali kepada iman.

Ekaristi: Pusat Hidup dan “Jalan Tol menuju Surga”
Inti dari kehidupan singkat Carlo adalah kecintaannya yang radikal terhadap Ekaristi. Sejak menerima Komuni Pertama pada usia tujuh tahun, ia berkomitmen untuk menghadiri Misa harian dan meluangkan waktu untuk Adorasi Ekaristi.
Bagi Carlo, roti yang dikuduskan bukanlah hanya simbol, melainkan “Jalan Tol menuju Surga.” Kutipan terkenal ini, dengan analoginya yang cerdas dan modern, segera menjadi tagline spiritualnya yang paling kuat. Ia sungguh meyakini bahwa di dalam Ekaristi, kita secara nyata bertemu dengan Yesus di dunia ini.
Meskipun devosinya sangat mendalam, Carlo tetaplah seorang remaja modern, layaknya anak-anak sebayanya. Ia menyukai sepak bola, bermain video game, dan menikmati kehidupan sosial. Namun, ia menerapkan disiplin diri yang luar biasa.
Ia menyadari potensi teknologi sebagai pedang bermata dua, maka ia membatasi waktu bermain game-nya secara ketat. Hal ini untuk memastikan tidak ada waktu yang terbuang dari komitmen spiritual dan pelayanan sosialnya.
Sikapnya ini menjadi fondasi bagi warisan yang kemudian ia tinggalkan: menunjukkan bahwa kekudusan tidak menuntut penolakan terhadap dunia modern, tetapi justru integrasi iman yang cerdas ke dalamnya.
Secara pribadi, Carlo dikenal sebagai anak yang sangat empatik, menggunakan uang sakunya untuk membantu tunawisma, selalu membela teman-temannya, dan memancarkan kegembiraan yang menular—sebuah cerminan nyata dari hidupnya yang berpusat pada Kristus.

Rasul Dunia Maya untuk Ekaristi
Kisah Carlo Acutis mencapai dimensi uniknya karena ia adalah seorang digital native sejati. Dengan kemampuan otodidak yang mengesankan di bidang ilmu komputer—ia belajar pemrograman, desain website, dan editing video sendiri—Carlo melihat internet bukan sebagai ancaman yang harus dihindari, melainkan sebagai sarana misi baru, sebuah alat yang diberikan Tuhan untuk tujuan pewartaan. Ia secara efektif menjadi Cyber Apostle of the Eucharist.
Karya terbesarnya adalah proyek website https://www.miracolieucaristici.org/ yang ia rintis untuk mendokumentasikan dan mengkatalogkan Mukjizat Ekaristi yang diakui di seluruh dunia.
Ia menghabiskan tahun-tahun remaja terakhirnya untuk meneliti, mengumpulkan foto, dan menyajikan informasi tentang mukjizat-mukjizat ini secara online dan terstruktur.
Tujuannya sederhana namun mulia: memastikan bahwa siapa pun, di mana pun, dapat mengakses bukti-bukti yang menguatkan iman mereka terhadap kehadiran nyata Yesus dalam Ekaristi.
Situs web ini kini telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa, menjadikannya pameran iman yang dapat diakses secara global, sebuah warisan digital yang jauh melampaui usianya yang pendek.
Kuduskan Teknologi, Temukan Otentisitas Diri
Hubungan inspiratif Carlo dengan era digital terletak pada bagaimana ia berhasil mengkuduskan teknologi. Dalam budaya selfie dan narsisme digital, di mana banyak kaum muda berjuang untuk mendapatkan likes dan views, Carlo mengarahkan lensanya pada Transendensi—yaitu, pada Tuhan.
Ia tidak menggunakan internet untuk mencari kemuliaan pribadi, melainkan untuk menyebarkan kemuliaan Ekaristi. Ia adalah teladan yang menantang generasi influencer saat ini untuk menggunakan platform mereka sebagai alat pelayanan, bukan hanya sebagai cermin bagi diri sendiri.
Carlo juga menawarkan koreksi moral yang tajam terhadap kecenderungan kita untuk kehilangan identitas dalam pusaran online. Kutipannya yang tajam, “Semua orang dilahirkan sebagai orisinal, tetapi banyak yang mati sebagai fotokopi,” adalah seruan yang kuat untuk otentisitas spiritual.
Ia mengingatkan bahwa kekudusan adalah panggilan unik setiap individu, yang harus diwujudkan dengan berani di tengah noise (kebisingan) digital yang kerap mendorong kita untuk meniru dan menjadi dangkal.
Ia membuktikan bahwa bakat digital (kecerdasan teknis) dan kesalehan spiritual tidak hanya dapat hidup berdampingan, tetapi dapat saling menguatkan.
Warisan Kekal Seorang Beato Digital
Perjalanan hidup Carlo Acutis berakhir tragis namun penuh makna. Pada tahun 2006, pada usia 15 tahun, ia didiagnosis menderita Leukemia M3 Akut yang sangat agresif.
Saat mengetahui diagnosisnya, ia menerima takdirnya dengan ketenangan luar biasa, mempersembahkan penderitaannya kepada Tuhan: “Saya mempersembahkan penderitaan yang harus saya alami, demi Paus dan Gereja, agar saya tidak perlu masuk ke Api Penyucian, tetapi langsung menuju surga.” Ia meninggal pada 12 Oktober 2006.
Proses beatifikasinya berjalan dengan cepat. Kekaguman terhadapnya, terutama di kalangan kaum muda yang terinspirasi oleh kisahnya yang modern, segera meluas.
Pada 10 Oktober 2020, ia secara resmi dinyatakan sebagai Beato di Assisi, Italia, setelah pengakuan mukjizat penyembuhan yang diatribusikan kepadanya di Brasil. Ia dimakamkan di Assisi, kota yang ia cintai karena merupakan kota Santo Fransiskus, dengan pakaian kasual khasnya: jaket dan sneakers.
Paus Fransiskus secara khusus menyoroti Carlo Acutis dalam surat apostoliknya, Christus Vivit, yang didedikasikan untuk kaum muda.
Paus menyebut Carlo sebagai model, menekankan bahwa: “Ia melihat bahwa sarana komunikasi sosial, yang digunakan dengan baik, dapat menjadi cara untuk berkomunikasi dengan Injil.” Paus tidak memuji penggunaan komputer itu sendiri, melainkan niat suci yang mendorong penggunaan tersebut.
Para uskup dan teolog melihat Carlo sebagai tanda kenabian bagi Gereja kontemporer. Ia adalah bukti bahwa Panggilan Universal untuk Kekudusan benar-benar berlaku di setiap lingkungan hidup—bahkan di dalam server dan cloud computing.
Ia adalah Beato pertama dari generasi milenial yang menegaskan bahwa kekudusan dicapai di tengah kehidupan sehari-hari yang biasa, melalui cinta kasih radikal dan penggunaan alat-alat modern untuk tujuan yang luhur.
Carlo Acutis, digital native yang saleh, meninggalkan jejak digital yang kekal dan sebuah tantangan besar bagi kita semua: menggunakan setiap platform yang kita miliki untuk menginspirasi orang lain agar menemukan “Jalan Tol menuju Surga” mereka sendiri. (*)
Penulis: Kristian, Mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.