Kekuasaan Mutlak Paus Dikritik, Jaksa Agung Bela Sistem Hukum Vatikan

Figur Paus memegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tertinggi sekaligus di Vatikan—serta telah menggunakan kekuasaannya dalam kasus ini.

0 136

Katolikana.com — Jaksa Agung Vatikan dengan tegas membela integritas dan keadilan sistem peradilan di negara kota tersebut menyusul kritik bahwa kekuasaan absolut Paus Fransiskus dan intervensinya dalam “persidangan abad ini” di tahun lalu telah melanggar hak-hak dasar para terdakwa.

Pembelaan Jaksa Agung Alessandro Diddi muncul ketika Pengadilan Vatikan menyelesaikan alasan tertulis atas putusannya pada bulan Desember 2023. Pengadilan di akhir tahun tersebut menjatuhkan vonis kepada seorang kardinal dan delapan orang lainnya atas berbagai kejahatan keuangan—utamanya terkait dengan investasi Takhta Suci sebesar 350 juta euro atas sebuah properti di London—akan tetapi mereka belum menjelaskan keputusannya.

Bulan lalu, Diddi mempublikasikan sebuah esai di jurnal Italia yang ditinjau oleh rekan sejawat, “Diritto e Religioni” (Hukum dan Agama), meskipun ia tidak diidentifikasi sebagai jaksa tertinggi Vatikan dalam jurnal tersebut. Pakar hukum mengatakan publikasi semacam itu di jurnal akademis merupakan hal yang tidak lazim, mengingat Diddi merupakan salah satu pihak terkait di dalam persidangan yang sedang menuju tahap banding.

Diddi pada dasarnya menjawab pertanyaan dari dua akademisi dan pengacara yang mewakili beberapa dari sepuluh terdakwa. Mereka mempertanyakan apakah persidangan dua tahun dan penyelidikan sebelumnya telah berjalan adil.

Kritik mereka telah menimbulkan kekhawatiran yang lebih mendasar tentang apakah pengadilan yang adil mungkin dilakukan di dalam negara monarki absolut, dengan adanya figur Paus yang memegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tertinggi sekaligus—serta telah menggunakan kekuasaannya dalam kasus ini.

Para kritikus ini merujuk peran Paus Fransiskus di dalam persidangan tersebut, karena beliau secara diam-diam telah mengeluarkan empat dekrit selama penyelidikan yang mengubah prosedur Vatikan untuk menguntungkan jaksa. Mereka pun mempertanyakan independensi dan ketidakberpihakan pengadilan itu sendiri, sebab para hakim Vatikan telah disumpah untuk mematuhi Paus Fransiskus, yang dapat mengangkat dan memberhentikan mereka secara prerogatif.

Paus Fransiskus baru-baru ini menunjuk beberapa kolega terdekatnya—para kardinal yang tidak memiliki pengalaman dalam sistem hukum Vatikan—untuk duduk sebagai hakim di pengadilan banding tertinggi Vatikan dan mengeluarkan peraturan baru mengenai gaji hakim dan tunjangan pensiun.

Dalam esainya, Diddi berargumen bahwa persidangan dan sistem hukum Vatikan sendiri sudah pasti adil. Ia menegaskan bahwa Pengadilan Vatikan dan hakim-hakimnya sepenuhnya bersikap independen dan pihak pembela mempunyai setiap kesempatan untuk menyampaikan kasusnya. Dia mengatakan empat dekrit Paus hanya mengisi celah regulasi dalam kode hukum khusus Vatikan dan tidak berdampak pada hasil persidangan atau hak-hak para terdakwa.

“Meskipun Tahta Suci tidak menandatangani Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, (akan tetapi) Tahta Suci tidak menempatkan dirinya di luar komunitas internasional dan tidak mengingkari prinsip-prinsip yang menginspirasinya,” tulis Diddi.

Keempat dekrit rahasia yang disebutkan di atas ditandatangani oleh Paus pada tahun 2019 dan 2020. Empat dekrit tersebut memberikan kewenangan luas kepada jaksa Vatikan untuk melakukan penyelidikan, termasuk melalui penyadapan yang tidak terkendali dan menyimpang dari undang-undang yang ada dengan mengizinkan mereka menahan tersangka tanpa surat perintah hakim. Keberadaan dekrit-dekrit tersebut hanya terungkap sesaat sebelum persidangan, tidak pernah dipublikasikan secara resmi, tidak memberikan alasan atau kerangka waktu untuk pengawasan atau penahanan, atau pengawasan oleh hakim independen.

Diddi membantah dekrit-dekrit tersebut berdampak merugikan hak-hak tersangka. Dia mengatakan bahwa hal tersebut hanya memberikan “penafsiran otentik” oleh Paus Fransiskus terhadap norma-norma Vatikan.

Ia berpendapat bahwa keputusan tersebut hanya “mendisiplinkan beberapa aspek tertentu dari penyelidikan” dan “tidak menentukan adanya kegagalan dalam jaminan yang diberikan kepada para tersangka.”

Geraldina Boni, seorang pengacara ahli hukum kanonik yang memberikan pendapat hukum untuk pembelaan Kardinal Angelo Becciu, telah menulis bahwa keputusan tersebut jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap hak atas persidangan yang adil karena para tersangka tidak mengetahui tentang kewenangan luas yang diberikan kepada jaksa hingga saatnya mereka diadili. Salah satu terdakwa yang datang untuk dimintai keterangan bahkan dijatuhi hukuman penjara sepuluh hari oleh jaksa.

Diddi mencatat, Pengadilan Swiss dan Italia sebelumnya telah mengakui independensi dan imparsialitas sistem hukum Negara Kota Vatikan dalam menyetujui pemberian bantuan hukum dalam pembekuan aset para tersangka.

Namun putusan tersebut dikeluarkan sebelum persidangan saat ini berakhir dan keberadaan empat dekrit rahasia tersebut diketahui. Selain itu, seorang hakim Inggris memerintahkan aset salah satu tersangka dilepaskan karena ia menemukan “kekeliruan penafsiran yang mengerikan” dan kelalaian dalam kasus Diddi.

Pertanyaan tentang keadilan dan imparsialitas sistem hukum Negara Kota Vatikan dapat membawa implikasi pada Tahta Suci di kemudian hari, karena Vatikan bergantung pada negara lain untuk bekerja sama dalam penyelidikan penegakan hukum dan melaksanakan hukumannya. Negara-negara ini mungkin akan kurang bersedia bekerja sama jika mereka meragukan keadilan sistem hukum yang ada di Vatikan.

Selain itu, setiap kali Takhta Suci menandatangani kontrak komersial dengan entitas non-Vatikan, Takhta Suci menegaskan bahwa setiap sengketa kontrak akan ditangani oleh pengadilan mereka sendiri. Klausul kontrak tersebut bisa menjadi sulit untuk dinegosiasikan jika ada pertanyaan mengenai apakah pihak lain akan diperlakukan secara adil oleh Pengadilan Vatikan.

Tidak terlalu hipotetis, Tahta Suci tunduk pada tinjauan berkala oleh komisi Dewan Moneyval Eropa, yang para evaluatornya menganalisis efektivitas sistem peradilan dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Dalam perkembangan terkait, pejabat nomor tiga di Vatikan (Deputi Sekretaris Negara Vatikan, red) pada hari Senin baru saja menyelesaikan kesaksiannya selama tiga hari di pengadilan London untuk menghadapi gugatan balik yang diajukan oleh salah satu terdakwa Vatikan.

Raffaele Mincione, seorang manajer keuangan yang berbasis di London, berupaya agar Pengadilan Tinggi Inggris menyatakan bahwa ia bertindak “dengan itikad baik” dalam urusannya dengan Vatikan mengenai properti di London. Dia berharap bisa membersihkan namanya dan memperbaiki reputasi buruk dia dan perusahaannya akibat persidangan di Vatikan.

Mincione juga telah membuat pengaduan ke Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB di Jenewa dengan mengklaim bahwa Paus melanggar haknya dengan mengizinkan pengawasan melalui dekrit tersebut. Vatikan telah menolak klaim tersebut, dengan mengatakan dalam pernyataan pers bahwa penyelidikan tersebut mengikuti semua hukum yang relevan dan perjanjian internasional dan bahwa tidak ada pengawasan yang diperintahkan terhadap Mincione.

Mincione, dan terdakwa lainnya, telah mengajukan banding.

 

Sumber: ABC News

Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha

Leave A Reply

Your email address will not be published.