OMK dan Urgensi Kecerdasan Digital

0 85
Romo Yudel Neno, Pr

Oleh Romo Yudel Neno, Pr

Katolikana.com—Di tengah gelombang revolusi digital yang mengubah wajah dunia dalam kecepatan yang nyaris tak terkejar, Orang Muda Katolik (OMK) dihadapkan pada tantangan baru yang menuntut kecerdasan yang lebih dari sekadar kemampuan mengoperasikan gawai: yakni kecerdasan digital. Sebuah kecerdasan yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga moral, spiritual, dan sosial.

Tulisan ini mencoba menempatkan refleksi atas posisi OMK dalam tiga kerangka filsafat praksis: das Sollen (apa yang seharusnya), das Sein (apa yang sedang terjadi), dan problem (tantangan yang menuntut jawaban).

Dengan pendekatan ini, kita diajak memahami bukan hanya apa yang harus dilakukan OMK, tetapi juga mengapa dan bagaimana seharusnya OMK hidup secara cerdas dan penuh tanggung jawab di era digital.

OMK sebagai Tulang Punggung Gereja dan Bangsa

OMK bukan sekadar pelengkap statistik umat, melainkan tulang punggung yang menopang keberlangsungan hidup Gereja dan masyarakat. Seperti tubuh manusia yang tegak karena tulang belakangnya kokoh, demikianlah Gereja dan bangsa akan kuat jika OMK memiliki daya tahan iman dan akal budi.

Tanpa ketangguhan iman, OMK akan mudah terseret dalam derasnya informasi yang dangkal dan sesat. Tanpa ketajaman akal budi, mereka akan kehilangan kompas dalam menavigasi kebenaran di lautan hoaks dan sensasi digital. Oleh karena itu, kecerdasan digital menjadi semacam tulang sumsum yang memberi nutrisi pada keberimanan dan daya pikir mereka.

OMK dalam Realitas Kini

OMK bukanlah generasi masa depan—mereka adalah generasi masa kini yang harus tanggap, tangguh, dan terlibat. Mereka hadir dalam dunia yang penuh perubahan cepat, dan karena itu mereka harus cepat pula dalam merespons realitas. Namun kecepatan itu harus dibingkai oleh kebijaksanaan.

  • Tanggap, karena usia muda adalah momen emas untuk belajar peka pada realitas sosial dan spiritual.
  • Tangguh, karena dunia digital adalah medan tempur yang membutuhkan pertahanan moral dan intelektual yang kuat.
  • Terlibat, karena spiritualitas kemudaannya mengharuskan mereka hadir secara aktif, bukan hanya menjadi pengamat pasif, apalagi korban dari dinamika zaman.

Namun keterlibatan yang tidak bijak justru berbahaya. OMK yang hanya sekadar “ikut-ikutan” dalam urusan viralitas, tanpa penilaian yang matang, berisiko menjadi penyebar kekacauan dan bukan pembawa terang.

Krisis Kecerdasan Digital

Krisis saat ini bukan semata-mata pada akses informasi, melainkan pada ketidaksiapan mental dan spiritual dalam menyaring informasi. Kita berada di zaman di mana sensasi lebih menarik daripada substansi, dan kuantitas lebih dipuja daripada kualitas. Ini adalah zaman di mana satu klik bisa berarti menyebarkan kebenaran—atau sebaliknya, memperluas kebohongan.

Dalam konteks ini, kecerdasan digital tidak boleh dimaknai sebagai sekadar keterampilan menggunakan teknologi, tetapi sebagai kemampuan etis untuk menyeleksi, menilai, dan memutuskan secara bertanggung jawab dalam setiap tindakan digital: tampil, klik, like, share, comment, dan view.

OMK harus mampu menjawab pertanyaan mendasar:

  • Apakah yang saya tampilkan membangun atau merusak?
  • Apakah yang saya klik menuntun pada kebaikan atau hanya memuaskan rasa ingin tahu dangkal?
  • Apakah yang saya like dan share memiliki nilai kebenaran atau sekadar viralitas palsu?
  • Apakah komentar saya berisi kebijaksanaan atau justru menyulut permusuhan?

Tanpa refleksi ini, OMK bukan hanya terseret dalam banjir algoritma, tetapi juga kehilangan identitas spiritualnya sebagai murid Kristus yang dipanggil untuk menjadi terang dan garam dunia.

Dari Teknik ke Etika, dari Skill ke Spiritualitas

Era digitalisasi—termasuk kehadiran kecerdasan buatan—membuat semuanya menjadi cepat dan instan. Namun di balik kemudahan itu tersembunyi bahaya: hilangnya memori kritis, disorientasi informasi, dan kemampuan reflektif.

OMK bisa saja tampak pintar, penuh data, dan selalu up-to-date—tetapi sesungguhnya kosong secara batiniah, seperti balon yang besar karena angin, bukan karena isi.

“OMK yang modern tetapi tanpa nilai, viral tetapi tanpa kebenaran, informatif tetapi tidak transformatif, adalah OMK yang kehilangan arah,” tulis seorang teolog muda dalam refleksi pastoralnya.

Karena itu, kecerdasan digital harus dimaknai sebagai alat kontrol internal, bukan hanya alat bantu eksternal. Ia adalah kebijaksanaan dalam berselancar di dunia digital yang sarat jebakan. Ia adalah kompas moral dalam menentukan arah klik dan ketikan.

Kecerdasan Digital sebagai Cermin Ketangguhan Iman

Menjadi OMK berarti berani berbeda. Berani tidak mengikuti arus For You Page jika itu bertentangan dengan nilai-nilai Injil. Menjadi OMK berarti tampil bijak, tampil sadar, dan tampil bertanggung jawab dalam ruang digital yang penuh godaan.

Dengan kecerdasan digital, OMK tidak hanya hadir sebagai pengguna internet, tetapi sebagai penyaksi iman dalam dunia digital. Mereka menjadi tulang punggung Gereja yang tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga kokoh secara spiritual dan cerdas secara moral.

Dunia membutuhkan OMK yang tidak sekadar eksis di ruang digital, tetapi juga mampu menyinari ruang itu dengan terang Kristus. Dan itu hanya bisa terjadi jika kecerdasan digital dihayati sebagai bagian dari hidup rohani. (*)

Penulis: Romo Yudel Neno, Pr, Sekretaris Komisi Kepemudaan Keuskupan Atambua

Leave A Reply

Your email address will not be published.