
Oleh Bonaventura Ricky Yosan
Katolikana.com—Menjawab panggilan imamat selalu dimulai dengan sebuah kata sederhana namun penuh makna: “Ya.” Kata ini bukan sekadar ucapan manis dalam doa atau liturgi, melainkan keputusan bebas dari hati yang dalam.
Kata “ya” itu adalah perwujudan kehendak untuk menanggapi undangan Tuhan yang hadir di tengah perjalanan hidup.
Tetapi mengatakan “ya” hanyalah permulaan; yang jauh lebih penting adalah bagaimana komitmen itu dipelihara, diteguhkan, dan diperjuangkan di setiap tahap pembinaan serta dalam setiap krisis yang mungkin muncul.
Seorang calon imam yang berani melangkah pada jalan ini sebetulnya sudah siap, setidaknya secara batin, dengan konsekuensi yang akan datang. Konsekuensi itu bisa diperkirakan, namun tidak pernah bisa dipastikan. Hidup panggilan selalu bergerak dalam dinamika yang tak terduga.
Ada hal-hal yang sejak awal dibayangkan indah dan mulia, tetapi di tengah perjalanan bisa terasa berat dan penuh pergulatan. Justru di situlah letak pentingnya penghendakkan diri: kesediaan untuk tetap berjalan, tetap belajar, dan tetap dibentuk meskipun apa yang dialami berbeda dengan yang pernah dibayangkan.
Proses yang Membentuk
Penghendakkan diri ini adalah wujud keseriusan untuk membiarkan diri ditempa. Proses pembinaan bukanlah jalan singkat; ia adalah pondasi bagi kehidupan imamat kelak. Tanpa kesediaan untuk dibentuk, semua proses akan terasa sia-sia.
Banyak calon imam mungkin jatuh pada godaan untuk tetap berada di zona nyaman, mempertahankan ego, atau menolak tantangan yang terasa berat. Padahal panggilan imamat menuntut keberanian untuk melepaskan egoisme demi menggapai cita-cita yang lebih luhur: menjadi gembala bagi umat Allah.
Lebih jauh, penghendakkan diri berarti belajar mengenali diri sendiri. Mengenali diri membantu kita untuk menerima segala kelebihan dan kelemahan, lalu mengarahkan seluruh potensi ke jalan pelayanan.
Seorang calon imam yang mampu mengenali diri akan lebih siap menghadapi kenyataan bahwa panggilannya bukan sekadar status, tetapi identitas yang melekat dalam seluruh kata dan tindakan.
Menempatkan diri sesuai dengan status ini adalah bagian dari kesaksian hidup. Sejak saat memutuskan menjadi calon imam, kata-kata dan perbuatan tidak lagi hanya mencerminkan pribadi, tetapi juga panggilan Gereja.
Panggilan yang Bersifat Universal
Panggilan imamat pada hakikatnya adalah anugerah universal. Tuhan memanggil siapa saja, tanpa memandang situasi atau latar belakang. Yang dibutuhkan hanyalah kepekaan hati dan kemantapan batin untuk menjawabnya.
Saat seorang calon imam berani berkata “ya”, ia sebenarnya sedang menerima undangan Tuhan untuk menjadi alat-Nya, menyerahkan hidup bagi Gereja, dan melayani umat-Nya.
Kesadaran ini membawa saya pada pemahaman baru bahwa hidup sebagai calon imam bukan lagi berpusat pada hal-hal duniawi, melainkan diarahkan pada hal-hal surgawi. Pilihan ini meneguhkan keyakinan saya bahwa jalan panggilan adalah jalan menuju kekudusan.
Cinta yang Membuat Indah
Apa yang menopang perjalanan ini? Cinta. Tanpa cinta, panggilan hanyalah kewajiban yang melelahkan. Tetapi dengan cinta, pergumulan justru menghadirkan keindahan. Indah bukan berarti bebas dari kesulitan, melainkan setiap pergumulan justru memberi arti dan warna.
Cinta membuat saya berani bertahan, terus melangkah, dan tetap setia meski jalannya berliku. Dengan cinta pula saya belajar menerima diri apa adanya, mengembangkan potensi yang ada, dan bermimpi tentang pelayanan yang akan datang.
Cinta pada panggilan juga mengajarkan tentang kedewasaan. Seorang calon imam mesti selesai dengan dirinya sendiri. Ia perlu berdamai dengan kelemahannya, mensyukuri kekuatannya, dan menyadari bahwa seluruh hidup adalah pemberian. Dari sinilah muncul gambaran tentang imamat yang akan dijalani kelak.
Gambaran ini tidak hanya ditentukan oleh pedoman pembinaan dari Gereja, tetapi juga oleh kesediaan pribadi untuk bermimpi dan berjuang. Tanpa gambaran ke depan, panggilan bisa kehilangan arah, berjalan sekadar mengikuti rutinitas tanpa tujuan yang jelas.
Menempatkan Diri dengan Benar
Namun pengenalan diri saja tidak cukup. Menempatkan diri juga sama pentingnya. Status sebagai calon imam tidak boleh dipahami sekadar sebagai label, tetapi harus diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
Setiap kata dan tindakan menjadi bagian dari kesaksian. Seorang calon imam dipanggil bukan hanya untuk belajar teologi atau liturgi, melainkan juga untuk menampilkan kehidupan yang mencerminkan Kristus.
Serius menjalani panggilan berarti sungguh sadar bahwa apa yang kita perjuangkan adalah hidup yang sepenuhnya dipersembahkan kepada Tuhan.
Pengalaman ini menuntun saya pada kesadaran bahwa panggilan mesti terus dipahami, dihayati, dan diperjuangkan. Semakin dipahami, semakin dihayati, semakin besar pula cinta yang lahir dari dalam hati.
Cinta Melahirkan Komitmen
Dan cinta itulah yang melahirkan komitmen yang teguh. Komitmen bukan untuk menyenangkan diri sendiri, bukan pula sekadar memenuhi harapan para pembina, melainkan untuk mempersembahkan seluruh hidup bagi Tuhan.
Hidup panggilan imamat adalah perjalanan panjang yang penuh dengan kesabaran, kerendahan hati, dan cinta yang mendalam. Penghendakkan diri adalah cara untuk tetap berjalan setia di jalan itu, meskipun ada godaan untuk berhenti atau menyerah.
Dengan kehendak yang diteguhkan cinta, panggilan imamat tidak lagi menjadi sekadar status, tetapi sebuah perjalanan seumur hidup yang dijalani dengan syukur, kesetiaan, dan penyerahan diri penuh kepada kasih Allah. (*)
Penulis: Bonaventura Ricky Yosan, Calon Imam Diosesan Keuskupan Tanjungkarang, Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik St. Thomas.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.