Toleran Tidak Bermakna Menganut Semua Agama

0 387

“Jangan kebanyakan bergaul dengan Nings, nanti kamu jadi seperti dia.”
“Memangnya Nings kenapa?”
“Dia toleran. Dia menganut semua agama.”

Percakapan di atas diceritakan ulang oleh seorang teman, Lia, setelah sekian lama kami tak bertemu. Larangan agar tidak sering bergaul dengan saya, disampaikan oleh Ria. Seorang teman yang kami kenal bersama.

Saya memperjelas makna kalimat tersebut. Sebab ini bukan pertama sekali saya ‘dituduh’ menganut semua agama sejak saya bekerja di salah satu organisasi masyarakat sipil di Pontianak, yang banyak membahas perihal keberagaman dan mengupayakan kehidupan toleran.

“Ya, menurut Ria, kamu menganut semua agama. Karena kamu sering kampanye keberagaman.”

Makna Toleransi

Kata toleran atau toleransi familiar di Indonesia, setidaknya sejak kasus penodaan agama oleh Ahok pada 2017 silam, terkait ayat Al-Maidah.

Namun kata ini masih banyak disalahpahami maknanya. Tuduhan pada saya adalah salah satu cara pengambilan kesimpulan yang paling memprihatinkan.

Bukan karena saya tersinggung disebut menganut semua agama, tuduhan itu tak terlalu penting untuk saya bahas. Tetapi saya kira pemaknaan pada kata ‘toleran’ perlu dikritisi.

Toleran tak pernah didefinisikan sebagai ‘penganut semua agama’. Lalu apa sebenarnya makna kata toleran?

Yang paling mudah diakses adalah KBBI. Menurut KBBI toleran bermakna bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Kata toleransi memang sebuah istilah yang awalnya muncul untuk mendamaikan penganut Kristen dan Katolik sekitar abad ke-17 di Eropa.

Pemerintah menggunakan istilah ini dalam kebijakan, dan sejak saat itu, penggunaan kata toleran kerap dikaitkan pada agama, termasuk di Indonesia.

Toleransi. Foto: gctpnews.org

Tidak Hanya tentang Perbedaan Agama

Tetapi sejatinya, istilah toleran tak hanya berkaitan dengan perbedaan agama, tapi juga pada sikap dan perilaku orang lain yang berbeda dari kita. Toleransi adalah mengakui adanya perbedaan dan  juga bersikap terbuka pada yang lain.

Ketika saya tanya ulang, kenapa saya dituduh menganut semua agama? Ternyata karena saya dilihat banyak berteman dengan mereka yang agamanya berbeda, mendorong kebijakan yang mengakui keberadaan agama lain atau pihak-pihak lainnya, dan sering mengkampanyekan keberagaman.

Saya lalu menjelaskan pada Lia bahwa yang saya lakukan bukanlah perkara iman, tetapi perkara urusan vertikal antara negara dan warganya.

Sebagai contoh, meminta pemerintah untuk merekognisi keberadaan agama lain di luar enam agama yang diakui adalah amanat UU No. 12 tahun 2005 pasal 18 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama. Hal ini mencakup kebebasan untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan pengajaran.”

Jika dimaknai dari UU tersebut, kita harus menolak apabila ada pembiaran oleh negara pada tindakan intoleransi.

Misalnya, adanya pelarangan pendirian rumah ibadah oleh kelompok tertentu terhadap agama lain. Karena hal itu merupakan perilaku yang diskriminatif serta pelanggaran hak asasi.

Juga, seperti yang saya tulis di atas, agama hanyalah sebagian kecil dari urusan keberagaman yang harus kita sadari dan akui keberadaannya. Masih banyak hal lain yang harus turut kita suarakan.

Misalnya isu disabilitas, gender, ragam selera, ragam profesi, bahkan ragam makhluk hidup (konon nasib lingkungan hidup kita sedang terancam).

Hal ini harus disadari sepenuhnya, baik di dalam pikiran, maupun ketika itu mengejawantah dalam kebijakan yang seharusnya memiliki prinsip keadilan dan nondiskriminasi. []

Pegiat keberagaman, tinggal di Pontianak.

Leave A Reply

Your email address will not be published.