Pendidikan Agama Interreligius sebagai Perajut Kebhinekaan

Keberagaman Dapat Menjadi Kekuatan dan Keindahan Apabila Dirawat.

0 314

Katolikana.com—Pendidikan agama menjadi pendidikan wajib di sekolah maupun perguruan tinggi. Pendidikan agama diyakini dapat memengaruhi sikap dan perilaku siswa.

Seiring perkembangan zaman, terjadi perbedaan signifikan antara metode pendidikan agama pada zaman dahulu dan sekarang.

Eksklusif dan Berorientasi Nilai

Pendidikan Agama zaman dahulu biasanya hanya mempelajari agama masing-masing. Pendidikan Agama Katolik hanya mempelajari agama Katolik. Pendidikan Agama Muslim hanya mempelajari agama Muslim, dan lainnya.

Pendidikan yang eksklusif dan normatif dapat melahirkan pemikiran yang juga eksklusif, seperti: ‘Aku A, kamu B’ atau sikap diskriminatif terhadap teman beragama lain.

Ajaran agama yang eksklusif dapat memicu munculnya pemikiran: ‘Agamaku lebih baik dari agamamu’.

Pendidikan agama biasanya disampaikan secara teoretis dan hafalan saja. Tentunya metode seperti itu kurang memberi kontribusi dalam pembentukan karakter siswa menjadi manusia yang lebih baik.

Hal ini disampaikan oleh Anis Farikhatin, guru agama SMA PIRI Yogyakarta pada Acara Live Talkshow Merawat Kebhinekaan: ‘Pendidikan Agama untuk Kebhinekaan’ yang dipandu oleh Lukas Ispandriarno, Kamis (15/4/2021).

Selain Anis, juga hadir Guru Pendidikan Agama Katolik (PAK) SDK Karya Joseph Pontianak John Aryo Putro.

Narasumber Talkshow Merawat Kebhinekaan. Foto: Youtube

Munculnya Kesadaran

Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman suku, agama, ras. Karena itu, para pendiri Indonesia mencanangkan ‘Bhineka Tunggal Ika’ sebagai semboyan negara.

“Keberagaman dapat menjadi kekuatan dan keindahan apabila dirawat, namun dapat juga membahayakan apabila tidak dirawat lewat komunikasi dan dialog,” ujar Anis.

Anis telah mengajar Pelajaran Agama selama 30 tahun. Ia telah melewati fase ‘menutup mata’ atau mengajar dengan ‘gaya lama’, yaitu mengajar sesuai bahan pengajaran saja, tanpa memperhatikan tantangan sekitar.

Setelah era Orde Baru, globalisasi mulai masuk ke Indonesia yang menyebabkan penyebaran informasi menjadi lebih cepat lewat teknologi yang ada, juga perubahan pola pikir dan sikap masyarakat.

Kondisi tersebut membuat sekat perbedaan menjadi lebih terlihat yang selanjutnya dapat memicu maraknya konflik dan kekerasan, apalagi tak ada yang merawat perbedaan yang ada tersebut.

Hal tersebut menyadarkan Anis bahwa ada yang keliru dari pendidikan agama pada saat itu.

“Pendidikan Agama ternyata tak melulu soal buku, namun dapat menjadi perajut kebhinekaan apabila disesuaikan dengan kebutuhan,” papar Anis.

Anis menyadari Pendidikan Agama dapat menjadi pedang bermata dua.

“Apabila disampaikan dengan baik, siswa dapat menjadi saleh. Namun apabila disampaikan secara keliru, justru dapat menimbulkan sikap diskriminatif atau malah berujung konflik,” tambahnya.

Karena itu, menurut Anis, penting membuka prasangka diskriminatif pada siswa terlebih dahulu.

Anis meyakini bahwa sikap diskriminatif tidak selalu berarti jahat, karena bisa saja sikap tersebut muncul karena ketidaktahuan. Di sinilah diperlukan peran pengajar yang tepat.

Pergeseran Metode Pendidikan Agama

Kesadaran yang dialami Anis ternyata juga dialami oleh beberapa pengajar lainnya.

Para pengajar yang tergerak dalam Perkumpulan Penggerak Pendidikan Interreligius (PaPPIRus) mencanangkan pendidikan agama yang inklusif dengan konsep Bhineka Tunggal Ika dan Dasar Negara Pancasila.

Menurut Anis, Pancasila dipilih sebagai dasar karena agama mana pun memiliki nilai yang sesuai dengan nilai Pancasila, mulai dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan.

“Cara mengajarnya dengan menginternalisasi nilai Pancasila sesuai agama yang diajarkan, lalu dielaborasi dengan realita yang terjadi,” tuturnya.

Proses elaborasi melalui refleksi dapat memunculkan kesadaran para siswa untuk memberi kontribusi demi kesejahteraan bersama.

Selain itu, juga diadakan kunjungan ke tempat ibadah dan dialog dengan tokoh agama tertentu mengenai kehidupan, kemanusiaan, dan lainnya.

Tak hanya kunjungan, kadang tokoh agama diundang langsung datang ke sekolah sebagai pembicara.

Pendidikan yang lebih mengarah ke praktik tersebut memunculkan pemikiran kritis, serta sikap empati dan menghargai.

Perubahan pola pengajaran pendidikan agama tersebut tidak hanya menyenangkan para pengajar.

Terbukti siswa SMA PIRI Yogyakarta yang diajar oleh Anis sangat tertarik dan malah ketagihan untuk melakukan kunjungan dan dialog.

Metode tersebut membuat guru menjadi belajar bersama murid, bukan murid saja yang belajar dari guru.

Sayangnya, masih ada beberapa institusi pendidikan yang masih menerapkan ‘gaya lama’ Pendidikan Agama.

Hal tersebut tidak bisa disalahkan begitu saja. Tidak dimungkiri, masih ada kesulitan birokrasi, administrasi, maupun ketidaksiapan dari tenaga pengajar.

Sebagai solusi, Anis merekomendasikan buku ‘Menjadi Manusia Indonesia yang Beradab Melalui Pendidikan Agama yang Berwawasan Pancasila’ sebagai pegangan mengajar Pendidikan Agama Interreligius.

Pendidikan Agama di Sekolah Dasar

Guru Pendidikan Agama Katolik (PAK) SDK Karya Joseph Pontianak John Aryo Putro sebagai narasumber kedua menyampaikan bahwa berbeda jenjang pendidikan, maka berbeda pula metode ajarnya.

“Siswa SD yang cenderung masih lugu diajarkan penerapan pendidikan agama yang mengarah pada pemikiran dan tindakan yang pluralis, seperti menumbuhkan rasa peduli pada setiap pribadi, tak hanya yang satu agama dan satu suku saja,” ujar John Aryo Putro.

John menjelaskan, hal itu dilakukan di SDK Karya Joseph Pontianak pada masa Paskah dan Natal.

Para siswa, orangtua, dan warga sekolah mengumpulkan sumbangan lewat Aksi Puasa Pembangunan (APP) pada masa Pra Paskah dan Aksi Natal pada masa Adven.

“Sumbangan tersebut diberikan kepada pihak yang membutuhkan seperti panti asuhan, panti jompo, rumah sakit, atau instansi lainnya yang sedang memerlukan bantuan,” tambahnya.

Pemilihan distribusi sumbangan tidak berdasarkan agama maupun suku. Hal yang mau disampaikan kepada siswa, bahwa sebagai manusia perlu peduli lingkungan sekitar tanpa memandang perbedaan.

Hal ini tak hanya membahagiakan penerima sumbangan, namun juga para siswa.

Sayangnya pada masa pandemi dianjurkan mengurangi kontak fisik.

Padahal Pendidikan Agama Interreligius merupakan pembelajaran yang bersifat learning-by-doing.

Pengajar ditantang untuk memilih metode pengajaran kreatif yang sesuai.

Semoga para pengajar tak cepat lelah merawat kebhinekaan lewat metode Pendidikan Agama Interreligius.

Kontributor: Agnes Butet Hanis

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.