Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-mu, dan mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaku, kamu sekalian pembuat kejahatan.
Dikisahkan di suatu daerah yang mayoritas warganya beragama Katolik. Pada suatu kesempatan terlihat hanya sedikit dari umat wilayah tersebut yang beribadah di gereja yang terlihat cukup megah itu. Sebaliknya, malah justru banyak umat dari luar wilayah yang beribadah di gereja itu. Entah apa yang menjadi alasan mereka tidak pergi ke gereja untuk beribadah.
Seorang filsuf ateis, Friedrich Nietzsche, pernah ditanya mengapa ia mempunyai pandangan yang sangat negatif terhadap umat Kristiani. Ia menjawab: “Saya akan bisa percaya kepada Tuhan bila mereka yang mengaku Kristen, sedikitnya lebih terlihat kelakuannya sebagai orang Kristen.”
C.S. Lewis, seorang penulis Kristiani yang terkenal, pernah menulis bahwa gereja bagi dia bukanlah sarana penolong yang bisa lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, bahkan sebaliknya menjadi ‘penghambat’!
Gereja merupakan awal dalam sejarah dunia yang merupakan tempat bagi siapa pun, laki-laki atau perempuan, miskin atau kaya, hitam atau putih berkumpul menjadi satu.
Orang Yahudi yang saat itu menjadi penghalang bagi mereka yang mau berkumpul untuk beribadah kini menjadi perangkul karena dirasa orang Kristiani-lah yang mampu menghilangkan tembok-tembok perbedaan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah budaya zaman dahulu masih terjaga sampai kini? Kita justru menemukan banyak hal yang berbanding terbalik.
- Masih terlihat ada umat yang dengan santai masuk ke dalam gereja meski dia terlambat. Anehnya malah justru menerima komuni.
- Saat perayaan ekaristi berlangsung terlihat sejumlah umat dengan asyiknya membuka akun media sosial.
- Ada yang mau mengikuti perayaan ekaristi kalau pemimpinnya romo atau pastor yang mereka sukai.
- Ada sejumlah umat yang tidak membawa Alkitab karena mengandalkan Alkitab elektronik yang tersedia pada handphone mereka.
- Pakaian yang tidak sesuai dengan yang semestinya, dsb.
Gereja seakan bukan menjadi tempat yang sakral atau suci meski di sana jelas berada tubuh dan darah Kristus.
Sejumlah umat bebas melakukan apa saja di sana. Makan dan minum saat perayaan ekaristi berlangsung. Gereja menjadi tempat ajang pamer, entah itu kendaraan, status.
Gereja juga dijadikan layaknya café yang bebas ria bergosip. Ada lagi orang di gereja A seharusnya beribadah hanya di gereja A tidak bisa beribadah di gereja B. Padahal sama-sama menyembah Tuhan Yesus kristus dan menghormati Bunda Maria. Sama, tidak berbeda.
Jelas-jelas yang terjadi adalah ‘kedagingan’ kita terlihat lebih besar dibandingkan keinginan ‘roh’. Kita tidak memamerkan Yesus atau Bunda Maria melainkan hal daging yang kita bawa untuk menunjukkan siapa kita.
Gereja kadang menjadi tempat memperebutkan kekuasaan. Posisi-posisi tertentu di gereja banyak menjadi incaran. Pelayanan ibadah harus orang ini, harus orang itu, sakit menyakiti menjadi tontonan layaknya sinetron di televisi. Seru!
Hal yang seharusnya menjadi garam dan terang, justru membuat Yesus tersakiti.
Pertanyaan yang lalu muncul kembali: Mengapa harus ke gereja? Jika tidak terdapat kedamaian di sana, dari pada menambah dosa mending di rumah saja berdoa di rumah. Beres.
Di rumah kita bisa mengikuti ibadah berbahasa apa pun lewat media sosial Youtube. Mau mendengarkan renungan romo atau pastor, semua ada di Internet. Lalu mengapa harus ke gereja? Tuhan kan ada di mana-mana?
Apakah pergi ke gereja menjadi jaminan kita untuk masuk surga? Apakah menjadi keharusan kita pergi ke gereja? Bahkan tak sedikit mereka yang merasa kecewa dengan gereja dan mengalami pengalaman pahit di gereja, sehingga mereka tidak mau ke gereja atau memilih pindah gereja bahkan buruknya pindah ke agama lain.
Lalu kenapa saya harus ke gereja? Kalau yang saya temui di gereja seperti itu, dan tidak ada kedamaian di sana?

Kontributor Katolikana.com di Nabire, Papua Tengah. Gemar sepedaan dan bermusik. Alumnus FEB Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Bisa disapa via Instagram @reinaldorahawarin